Opini
Opini: Surat untuk Alois A Nugroho
Ketika belajar menulis puisi, puisi-puisimu secara tidak langsung saya jadikan standar bagi latihan membuat personifikasi dan menata imaji lanskap.
Oleh: Mario F Lawi
Penyair, tinggal di Kupang
POS-KUPANG.COM - Alois yang baik, surat ini saya tulis sebagai ungkapan terima kasih, yang seharusnya bisa saya sampaikan secara langsung, tetapi tidak sempat saya lakukan di kesempatan-kesempatan sebelumnya.
Jika para penyair Romawi menulis surat sebagai salah satu bentuk penghiburan bagi orang-orang yang berduka, izinkan saya menulis surat ini untukmu di tengah suasana duka yang menyelimuti kami, para pembaca puisi-puisimu.
Menemukan puisi-puisimu di seminari menengah, dalam lembaran rubrik “Puisi” Kompas yang diterbangkan angin ke taman depan seminari, 17 tahun lalu, adalah pengalaman yang berpengaruh begitu besar terhadap hidup saya.
Karena puisi-puisi tersebut, saya menelusuri puisi-puisi lain di koran-koran yang dikoleksi perpustakaan seminari.
Penelusuran tersebut membawa saya berkenalan dengan para penyair Indonesia kontemporer, perkenalan yang menjerumuskan saya lebih jauh ke dalam khazanah puisi, khususnya puisi Indonesia.
Puisi-puisi tersebut, puisi-puisimu yang pertama kali saya baca di seminari, pernah saya selipkan dalam album foto, sebelum saya pindahkan ke buku kliping bersama puisi-puisi Kompas lainnya.
Penandanya jelas, di antara puisi-puisi di buku kliping, hanya puisi-puisimulah yang dilapisi tempelan kertas, tanda bahwa saya pernah menjadikan mereka cukup keras untuk diselipkan ke dalam album foto.
Ketika belajar menulis puisi, puisi-puisimu secara tidak langsung saya jadikan standar bagi latihan membuat personifikasi dan menata imaji lanskap.
Puisi-puisi tersebut merupakan bagian dari puisi-puisi yang saya respons ketika menulis puisi di seminari, dan beberapa di antaranya terbit sebagai bagian dari buku puisi Memoria.
Izinkan saya mengutip “Malam”, salah satu dari puisi-puisi tersebut:
bertanyalah pucuk cemara
pada bulan yang terus berkelana:
siapa saja sebenarnya
yang diam-diam
— dengan kesetiaan
dan dari kejauhan —
tidurnya selalu kauperhatikan
dan selalu kaujaga?
Puisi tersebut menggantung. Pertanyaannya tak punya jawaban, dan pertemuan pucuk cemara dan bulan adalah sepotong adegan.
Pembaca bisa melengkapinya, dengan menambahkan adegan pertemuan sebelum pertanyaan, atau bahkan menempatkan diri sebagai bagian dari jawaban.
Alois yang baik, buku puisi pertamamu, Kepada Aya Miura, baru saya miliki lima belas tahun setelah membaca puisi-puisi pertamamu.
Buku puisi tersebut jadi daftar tunggu selama bertahun-tahun, sampai akhirnya saya menemukannya dijual sebuah toko di lokapasar setahun setelah pandemi berlalu.
Dua tahun sebelumnya, saya sempat coba membelinya di lokapasar yang sama, tetapi penjualnya tak lagi aktif. Sebuah kejutan kecil, buku tersebut
pernah kauhadiahkan kepada Prof. Dr. Anton Moeliono, dengan tanda tanganmu tertera di halaman judulnya.
Meski telah mengetahui judulnya sejak SMA, melalui biodatamu di rubrik “Puisi” Kompas, Kepada Aya Miura baru saya miliki setelah kedua buku puisi terakhirmu, Kuharap Kau Menemukan Bulan, dan Anno 2020, terbit.
Engkau menyisakan tilas-tilas imajisme dan estetika haiku di dalam Kepada Aya Miura, dan judul dengan nama tokoh Jepang tersebut memperkuatnya. Puisi-puisi dalam dua buku puisimu setelahnya adalah pengembangan estetika dalam Kepada Aya Miura.
Tiga hal yang paling menonjol bagi saya adalah penggunaan kalimat-kalimat majemuk bertingkat, repetisi, dan inversi.
Inversi dalam puisi-puisimu membuat komponen-komponen kata yang sama
menghasilkan frasa, personifikasi, dan metafora yang berbeda, sekaligus menghasilkan perubahan lanskap dan perspektif.
“Suara Bulan dalam Lukisan-lukisanmu”, “Perahu dan Pagi”, “Sajak Selamat Pagi”, “Pantai Eretan pada Bulan Januari”, dan “Kuharap Kau Menemukan Bulan” adalah puisi-puisi yang cocok untuk mengenalmu di periode setelah
Kepada Aya Miura.
Alois yang baik, tema dan estetika bentuk dalam puisi-puisimu saya respons secara sadar dalam puisi berjudul “Piazza San Pietro” di buku puisi Homo Narrans.
Puisi tersebut juga dipicu oleh salah satu puisi sahabatmu, Leo Kleden. Dalam Ilusi dan Ilustrasi, antologi puisimu bersama Embun Kenyowati Ekosiwi, engkau menulis sebuah puisi untuknya.
Sisyphus, tokoh dalam satu puisi di buku Ilusi dan Ilustrasi, yang kelak kaubiakkan dalam satu puisi lain di buku Kuharap Kau Menemukan Bulan, adalah juga Sisyphus yang saya letakkan dalam “Piazza San Pietro”.
Ketika sempat menjadi pengajar di seminari, puisi-puisi dalam Kuharap Kau Menemukan Bulan saya jadikan contoh ketika membahas materi tentang priamel.
Pembahasan tersebut saya kembangkan sebagai esai, yang terbit di Pos Kupang, lalu saya sertakan dalam buku kumpulan esai.
Judul esai tersebut pun saya jadikan judul buku esai. Alois yang baik, ketika buku esai tersebut hendak terbit, saya meminta izin kepada
penerbit untuk mengutip salah satu puisimu dalam Kuharap Kau Menemukan Bulan secara lengkap, sebagai bagian dari pembahasan priamel.
Penerbit mengarahkan saya meminta izin secara langsung kepadamu, setelah memberikan alamat surelmu.
Sampai sekarang, sejak surel tersebut saya kirim pada 6 Februari, balasan tak kunjung saya terima. Di dalam surel tersebut saya meminta izinmu untuk mengutip lengkap puisi “Route Bellevue” dalam cetakan
kedua buku Menemukan Priamel di Bulan.
Cetakan pertama buku tersebut sudah diproses ketika surel balasan penerbit saya terima, dan tanpa izinmu saya tidak mungkin menyertakan
kutipan lengkap puisi tersebut dalam esai saya.
Ketika 2 April lalu teman-teman mengabarkan kepergianmu, saya tahu surel saya tak akan pernah dibalas.
Terima kasih untuk puisi-puisimu, dan maaf, surat ini begitu berantakan dan tidak tertata.
Alois yang baik, setelah mengutip lengkap satu puisimu di atas tanpa sebelumnya memperoleh izinmu, izinkan saya mengutip lengkap puisimu yang lain, dari buku Ilusi dan Ilustrasi, untuk mengantarkan kepergianmu—semoga engkau membaca surat ini dari atas sana:
Pulang
peluit tanda perpisahan telah kauembuskan
isak lembut lokomotif tua tersengal tak mampu disembunyikan
bulan di balik kaca menyeret rangkaian panjang perjalanan
yang selalu ingin sekali diceritakan, namun selalu gagu
untuk diucapkan
kenangan berserakan, daun-daun tua yang gundah
isyarat-isyarat keletihan
(kau pulang tanpa barang bawaan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.