Opini
Opini: Elektoralisme, Jalan Menuju Alienasi Mental Pascapemilu
Euforia demokrasi telah memetakan realitas paradoks yang menguakan titik lemah dan kemunduran demokrasi.
Oleh: Iron Sebho
Mahasiswa Pascasarjana Teologi Kontekstual IFTK Ledalero, Maumere.
POS-KUPANG.COM - Pertarungan elektoral lima tahunan telah usai. Kemenangan disyukuri di mana-mana, sedang pihak yang kalah menunjukkan beragam reaksi.
Reaksi yang cukup akut ialah stres dan depresi yang berujung pada penutupan akses jalan, kebencian terhadap sesama yang dicurigai berkhianat, dan menagih atribut-atribut yang diberikan selama masa kampanye.
Ruang publik dihiasi oleh orang-orang yang mengalami alienasi mental pascapemilu. Catur politik yang sukar ditebak menyisakan depresi dan saling mengalienasi satu sama lain.
Orientasi pada atribut-atribut kampanye yang diyakini dapat mendulang suara, justru menjerumuskan para caleg ke dalam lubang trauma dan penyelasan.
Pada tataran ini, kita perlu memikirkan kembali makna demokrasi yang termanifestasi dalam catur politik elektoral.
Euforia demokrasi telah memetakan realitas paradoks yang menguakan titik lemah dan kemunduran demokrasi.
Praktik demokrasi disusupi dengan atribut-atribut kampanye yang lahir dari sebuah kecemasan, dan membudayanya naluri kompetitif yang didasarkan pada prasangka.
Tradisi diskursus dan moda sosial yang menjadi basis elektoral direduksi dalam atribut kampanye yang sebenarnya memetakan defisit demokrasi.
Praktik demokrasi didominasi oleh urusan elektoral yang mengorbankan nilai-nilai sosio-kultural. Demokrasi dideskripsikan sebagai elektoralisme, yaitu keterpakuan pada agenda-agenda sempit yang menghambat sistem kerja yang lain dan lebih substansial.
Terry Karl melihat fenomena ini sebagai 'kekeliruan elektoralisme'
Kekeliruan elektoralisme dalam konteks politik di Indonesia ialah terbenamnya modal sosial ke dalam popularitas yang disokong kapitalisme.
Seseorang dapat maju sebagai calon anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif apabila memiliki sokongan dana yang besar.
Demokrasi politik, ekonomi, hukum, dan kultural direduksi ke dalam lubang elektoralisme yang berkiblat pada uang dan popularitas, sehingga kehilangan jati diri.
Elektoralisme memperalat demokrasi menjadi instrumen politik, sehingga memperkuat basis oligarki, dan mengesampingkan emansipasi rakyat.
Ritualisme demokrasi yang dipertontonkan dengan maraknya atribut-atribut kampanye yang sebenarnya hanyalah sarana dalam konstelasi elektoral telah membungkam nalar kritis dan tanggung jawab politis.
Atribut kampanye dinilai jauh lebih penting daripada diskursus
demokrasi dan modal sosial.
Modal sosial (capital sosial) yang dimaksudkan adalah gambaran dari organisasi sosial yang di dalamnya memuat norma-norma dan jaringan sosial yang memungkinkan adanya kerja sama yang baik.
Padanya masyarakat dapat bertukar pikiran, saling berbagai pengalaman, kepercayaan dan membangun dialog, saling menolong, serta menciptakan rasa percaya akan satu dan lainnya.
Pengeliminasian modal sosial sebagai spiritualitas yang merangsang daya kritis dan cita rasa kepedulian membenamkan partisipasi politik otonom, yaitu partisipasi politik yang tergelitik oleh realitas sosial.
Kecanduan Elektoral
Masa-masa sebelum tanggal pertarungan elektoral menjadi masa pencitraan untuk meraup suara rakyat.
Para caleg menggelontorkan dana yang besar demi sebuah posisi yang memiliki risiko kekalahan yang cukup besar.
Pertarungan elektoral kian dramatis pada panggung demokrasi, ketika berbagai bentuk atribut kampanye didandani sedemikian rupa. Pentas politik elektoral mengubah seseorang menjadi miliader.
Pada akhirnya atribut-atribut kampanye hanyalah sinopsis dalam cerita fiktif pertarungan elektoral.
Ini merupakan bukti adekuat dari sistem kerja elektoralisme. Elektoralisme menyebabkan kelainan saraf atau neurotik.
Menurut Sigmund Freud, simpton neurotik juga meliputi stres dan depresi.
Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kekalahan dan tekanan kekuasaan yang ingin dicapai melahirkan aksi-aksi destruktif yang ditunjukkan oleh para caleg yang gagal.
Hemat penulis, sindrom tekanan elektoralisme adalah alienasi mental. Keinginan untuk menggapai menara kekuasaan serta lumbung kekayaan dibatasi oleh suara yang tidak mencapai standar menyebabkan depresi.
Dalam konteks ini, depresi elektoral merupakan sebuah kecanduan terhadap kursi elektoral.
Gagasan kecanduan pada mulanya digunakan untuk ketagihan alkohol dan obat bius. Pada saat ini ekspansi kecanduan menjajah berbagai wilayah aktivitas, termasuk wilayah politik. Dalam konteks politik, kecanduan dapat diartikan sebagai pengulangan yang didorong oleh kegelisahan.
Anthony Giddens melihat kecanduan sebagai otonomi yang dibekukan.
Kecanduan terjadi, ketika pikiran, yang seharusnya dikendalikan oleh
otonomi, ditundukkan oleh kegelisahan (Anthony Giddens, 1999).
Kecanduan meretas jalan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada tararan ini, pertarungan elektoral tidak didasarkan pada kualifikasi moral, integritas, kapasitas, serta track record yang baik, tetapi tunduk pada uang.
Pada akhirnya citra politik diasosiasikan dengan hukum kedekatan, modal, dan identitas primordial yang bersifat apolitis. Aspirasi dan kegelisahan masyarakat kecil dibungkam oleh egoisme, uang, dan jalan sunyi menuju koalisi.
Retret Politik: Masa Depan Demokrasi
Masa depan demokrasi merupakan tanggung jawab semua warga negara. Kita perlu memikirkan kembali model politik yang ditawarkan kepada masyarakat.
Harapan akan keselamatan demokrasi perlu dibentuk melalui retret politik, yaitu menciptakan ruang sunyi politik yang tidak dicemari oleh atribut-atribut yang bersifat apolitis.
Retret politik dimulai dengan kaderisasi nalar kritis dan etika yang mumpuni dalam partai politik. Ketajaman nalar kritis diperuntukan sebagai alat melawan kekuasaan yang absolut, dan menekan rezim yang represif, serta meredam politik otoriter.
Ruang kritis perlu dipertajam di dalam lembaga politik untuk mengembangkan metode diskursus dan kepekaan sosial. Demokrasi Indonesia akan selamat apabila modal sosial menjadi imperatif dalam khazanah politik.
Partai politik perlu mengkaderisasi anggota untuk menjadi manusia yang dekat dengan rakyat, suka menolong, terlibat dalam kegiatan bersama, peduli terhadap kemanusiaan dan hak-hak masyarakat kecil.
Oleh karena itu, nalar kritis perlu dikaderisasi secara baik di semua lembaga kehidupan, terutama lembaga politik. Nalar kritis yang baik selalu terarah kepada publik, seperti yang diimpikan oleh Peter Hohendahl.
Sebagaimana halnya pada zaman pencerahan konsep kritik tidak dapat dipisahkan dari lembaga lingkup publik.
Pertimbangan-pertimbangan rasional selalu diarahkan pada publik. Komunikasi dengan masyarakat merupakan bagian integral dari sistem, sehingga menumbuhkan geliat refleksi kritis, mengundang kontradiksi, bertukar pendapat, dan aksi nyata.
Fenomena atribut-atribut kampanye dan janji-janji hanyalah alat elektoral dalam konstelasi politik. Masa depan demokrasi ada pada dedikasi untuk memperjuangkan hukum dan konstitusi, dan hak-hak rakyat menuju Indonesia yang lebih baik, harmonis, dan visioner.
Katajaman nalar perlu difungsikan dengan baik untuk menguburkan elektoralisme dan mendongkel kekuasaan yang otoriter, cuek, dan amoral.
Elektoralisme merupakan parasit dalam tubuh demokorasi. Elektoralisme menghambat peradaban demokrasi karena akan dikendalikan oleh sistem, dan menghamba pada kapitalisme.
Sejenak kita perlu merenung kembali politik elektoral. Para kader politik perlu membangun habitus baru dalam politik, yaitu penguatan modal sosial.
Modal sosial adalah investasi yang dapat menghindari seseorang dari alienasi mental pascapemilu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.