Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 18 Februari 2024, Bertobatlah dan Percayalah Pada Injil

Manusia itu terbatas. Tapi dalam dirinya ada kehendak hati yang selalu mengarahkannya  pada hal-hal besar bahkan tidak terbatas.

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO-ROMO LEO MALI
Romo Leo Mali menyampaikan Renungan Harian Katolik Minggu 18 Februari 2024 dengan judul Bertobatlah dan Percayalah Pada Injil. 

Tapi yang terjadi kerapkali justru sebaliknya. Karena Iblis datang dengan jawaban cepat dan mudah. Untuk apa buat susah diri, kalau ternyata semuanya bisa diselesaikan dengan mudah.

Dalam doa kepada Santo Mikael, kita meminta Tuhan mengusir setan kembali ke dalam api neraka. Tapi yang jelas, tetap ada di dalam hati kita, ruang kosong yang tidak terhingga, yang juga kerap menimbulkan kesepian yang menyiksa.  Akibatnya dalam suasana “kesepian eksitensial” itu, kadang tanpa sadar kita justru kembali memanggil setan.                                                                       

Reduksi atas kehendak Hati manusia.

Manusia itu terbatas. Tapi dalam dirinya ada kehendak hati yang selalu mengarahkannya  pada hal-hal besar bahkan tidak terbatas.

Kenyataan ini kerap membawa manusia pada kebuntuan. Arthur Schopenhauer (1788 – 1860) merumuskan kehendak hati manusia sebagai sebuah kehendak buta. Akibatnya manusia senantiasa gelisah dan belum selesai.

Manusia seperti diciptakan untuk tidak bahagia. Maka bunuh diri adalah alternatif terbaik. Dengan bunuh diri, manusia menentukan sendiri akhir dan batas dari kegelisahannya. 

Kalau Arthur Schopenhauer melihat kehendak manusia sebagai kehendak buta, maka Nietzsche (1844- 1900) memberi bentuk pada kehendak hati manusia yang paling kuat adalah kehendak untuk berkuasa.

Kehendak berkuasa menyanggupkan manusia menerobos semua batas. Dengan kehendak berkuasa manusia bisa mewujudkan dirinya sebagai manusia super. Dalam kontestasi pilpres baru-baru ini, kita lihat bagaimana orang berkelahi karena ingin berkuasa. Perang-perang terjadi karena keinginan untuk saling menguasai.

Bahkan untuk tujuan ini menurut Nietszche,  “Tuhan “ seperti diajarkan dalam pandangan Kristen harus dibunuh. Tuhan harus mati, supaya manusia bisa hidup bebas.

Niettzsche mengabsolutkan kehendak manusia untuk berkuasa sebagai syarat untuk menjadi manusia super. Untuk itu Tuhan harus disingkirkan, karena manusia harus menjadi yang ‘super’. Mengikuti Nietzsche, para filsuf post- Nietzsche(dalam arti tertentu post truth juga disebut post Nitzschean) berusaha membaptis era ini sebagai era kematian Tuhan. Ini upaya sadar agar dunia tidak mengenal adanya Allah.

Namun upaya membunuh Tuhan, sama halnya dengan jalan bunuh diri yang ditawarkan oleh Schopenhauer. Upaya ini akan membuat manusia menjadi yatim piatu dalam hidup di dunia ini. Sebagai anak yatim piatu, manusia tidak mempunyai rumah: Ia tidak tahu hendak pergi ke mana.  Juga ia tidak tahu  ke alamat mana harus pulang.

Reduksi atas kodrat kehendak manusia yang tidak terbatas ke dalam kerangka pikir mansuia yang terbatas, menandai dosa manusia sepanjang masa. Merenungkan kelemahan manusiawi yang melekat pada kodrat kehendak hati manusia adalah hal niscaya yang harus kita lakukan. 

Kita harus kembali menyadari bahwa kodrat dari kehendak hati manusia, adalah keterbukaan kepada sesuatu yang tidak terhingga.(Luigi Giussani, 1992)                                                                      

Mengenal kodrat kehendak hati manusia

Tapimanusia modern engganuntuk mengakui kodrat dari dinamika hati manusia seperti ini. Misalnya Hannah Arendtjustru menegaskannya sebagai “semacam pemberontakan [manusia] terhadap keberadaan manusia sebagaimana adanya [dia], sebuah anugerah cuma-cuma yang saya tidak tahu datang dari mana. (Ia berbicara dalam istilah-istilah profan), yang [manusia] ingin tukarkan, jika mungkin, dengan sesuatu yang dia telah ciptakan (Arendt, 1966).

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved