Liputan Khusus

Lipsus - Korban TPPO di Ngada NTT Terima Restitusi 

Selain pihak Kejari Ngada dan LPSK, turut hadir dalam momen tersebut, Veronika Aja dari pihak Pokja Menentang Perdagangan Manusia (MPM).

|
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/ORISGOTI
Kajari Ngada, Yoni Pristiawan Artanto, didampingi Kasipidum Arief Wahyudi dan Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo menujukan bukti rekening koran transfer restitusi dari pelaku kepada Maria Susanti Wangkeng atau Santi di Kantor Kejari Ngada, Kamis 1 Februari 2024 

Dia katakan kasus Santi menjadi pembelajaran penting bagi yang lain yang ingin bekerja di luar daerah maupun luar negeri. "Paling penting itu adalah bagaimana prosesnya. Kita harus bagaimana jalurnya dan harus resmi sehingga kita dilindungi," ujar Varonika.

 

Pelaku Komit Lunasi Restitusi

Atas seijin Agung Wibowo, Kepala Rutan Bajawa, wartawan bisa mewawancarai salah satu pelaku TPPO, Eustakius Rela di Rutan Bajawa. Mantan anggota DPRD Kabupaten Ende itu menyambut ramah kehadiran wartawan.

Setelah basa - basi sejenak, wartawan menceritakan bahwa Santi telah menerima restitusi yang transfer oleh keluarganya senilai Rp. 15.000.000. Eustakius menyimak dengan saksama.

Menurut Eustakius, sebenarnya keluarganya telah menyiapkan uang senilai Rp. 47.700.000 untuk diserahkan saat sidang putusan. Namun karena penyerahan ditunda dan uang itu kemudian dipergunakan oleh istri untuk membiayai kebutuhan keluarga dan membiayai kuliah anaknya.

Eustakius merasa belum cukup lega, karena tanggung jawabnya belum sepenuhnya ia penuhi. "Pada dasarnya saya tetap berkomitmen untuk bertanggungjawab. Itu komitmen saya," kata Eustakius.

"Sebetulnya suatu pertanyaan apa sih yang saya buat selama hidup? Inilah jalan hidup saya. Saya sebagai warga negara berusaha untuk taat hukum. Dan, sebagai orang beriman, mungkin inilah yang bisa saya lakukan untuk sesama saya," imbuhnya.

 

Cerita Santi

Didampingi, Veronika Aja, usai penyerahan restitusi, Maria , menceritakan kisahnya. Kata Veronika kepada wartawan, Maria Susanti Wangkeng memang perlu didampingi karena kurang lancar berbahasa Indonesia.

Pada Juli 2015 silam, Santi, sapaan Maria dengan berat hati pergi meninggalkan kampung halamannya, Kampung Nila. Santi mengaku ia didesak pergi ke Ende bersama Eustakius Rela oleh Stanis Mamis sanak keluarganya sendiri.

Santi sapaan akrab Maria yang kala itu masih di bawah umur (17 tahun) tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunda Santi, Hermina Toyo pun hanya menangis melihat putrinya pergi dibonceng Eus dengan sepeda motor. "Waktu itu mama lihat saya, mama hanya menangis," kenang Santi.

Dalam keluarga, Santi adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ibunya berjuang sendiri memenuhi kebutuhan keluarga, sebab ayah Santi telah meninggal dunia.

Eustakius dan Stanis Mamis sebelumnya sudah melakukan pendekatan dengan ibunda Santi. Mereka membujuk Hermina agar Santi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, dengan gaji Rp. 1.500.000 per bulan. Hermina yang sedang dililit persoalan ekonomi pun menyetujui.

Santi kala itu pergi hanya membawa sebuah kresek berisi dua helai baju miliknya. "Om Eus (sapaan akrab Eustakius Rela) waktu itu bilang sampai di Ende baru dia (Eus) yang beli baju. Tapi sudah di Ende juga, dia tidak beli," tuturnya.

Di Ende, Santi disuruh tinggal sebuah kos - kossan bersama dengan beberapa tenaga kerja lainnya. Santi lupa berapa orang. Setelah dua malam tinggal di kos - kossan mereka kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan KM Awu melalui Pelabuhan Ende.

Tiba di Jakarta Santi cs tinggal di sebuah kos - kossan, milik Eustakius Rela selama dua minggu sebelum satu per satu di antar ke rumah majikan. Dalam rentang waktu 2015- hingga September 2017, Santi bekerja pada tiga majikan berbeda sebagai pembantu rumah tangga tanpa digaji.

Santi kabur dari rumah majikan pada September 2017. "Saya kabur karena majikan marah. Waktu itu saya lari (kabur) dalam kondisi lapar dan tidak bawa pakaian. Saya lari saja tidak tau kemana," ujar Santi.

Santi yang dalam kondisi lapar dan tak tau arah, terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Santi dikira gelandangan. Santi lalu dibawa ke penampungan orang dengan gangguan jiwa dan tinggal di sana selama dua bulan. Selanjutnya Santi dibawa ke Dinas Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Sementara itu di Nagekeo, Veronika Aja di sela - sela kesibukannya mengerjakan tesis kuliah, tidak sengaja menemukan sebuah postingan di facebook yang menerangkan bahwa Santi sedang ditampung di Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Veronika Aja yang juga terlibat dalam Kelompok Kerja (Pokja) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) langsung berkoordinasi dengan rekan - rekannya berupaya memulangkan Santi ke Nagekeo.

Dari Dinas Sosial, Pokja MPM membawa Santi ke Susteran Gembala Baik di Jakarta untuk rehabilitasi selama tiga minggu. Selanjutnya pada Januari 2018 Pokja membawa pulang Santi ke Nagekeo.

Tak berhenti di situ, Pojka MPM kemudian membuat laporan kepada Polres Ngada atas dugaan Tindak Pidana Perdangaan Orang (TPPO) terhadap Santi. Kala itu Polres Nagekeo belum terbentuk.

Proses kasus ini di tangan Polisi memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih enam tahun. Kasus ini baru menemui titik terang, yakni memasuki tahap II pada 26 Juli 2023, dimana Polres Ngada menyerahkan dua tersangka dan barang bukti kepada pihak Kejari Ngada.

Dua tersangka tersebut tidak lain adalah Eustakius Rela dan Stanis Mamis. Menilik catatan pemberitaan Pos Kupang, Kapolres Ngada, AKBP Padmo Arianto saat Jumpa Pers terkait naiknya kasus ini ke tahap II, menerangkan Eustakius Rela berperan sebagai penampung, sementara Stanis Mamis sebagai perekrut.

Mengenai lamanya penanganan kasus ini, AKBP Padmo Arianto menyebut, Polres Ngada baru mulai fokus menangani kasus ini pada 2020 dengan alasan pada 2018 saat kasus itu bergulir di Polres Ngada, sedang berproses pembentukan Polres Nagekeo yang sebelumnya masuk Wilayah Hukum Polres Ngada.


Solusi Kolaboratif Cegah TPPO

Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan Ham Padma Indonesia (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia) mengatakan upaya pencegahan TPPO membutuhkan solusi kolaboratif.

Menurutnya, TPPO di NTT dan Indonesia masuk dalam kategori darurat. Menyikapi kondisi ini, kata Gabriel, wajib hukumnya ditindaklanjuti oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2024 - 2029.

Pertama, penerbitan PP Justice Collaborator TPPO. Kedua, pembentukan BNP TPPO (Badan Nasional Penangggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Gabriel merincikan, BNP TPPO diberi tanggung jawab atau tupoksi antara lain : 1. Sosialiasi secara sistemik dan masif pencegahan human trafficking mulai dari Desa melalui program GEMA HATI MIA (Gerakan Masyarakat Anti Human Trafficking dan Migrasi Aman).

2. Menyelamatan korban TPPO di Rumah Asa Indonesia (milik BNP TPPO). 3. Pendampingan psikologis korban. 5. Pendampingan kesehatan. 6. Pendampingan rohanimKeenam, program integrasi sesuai minat dan bakat korban TPPO. 7. Pendampingan hukum APH bekerjasama LPSK untuk mendapatkan hak restitusi dan hak-hak lainnya.

8. Program reintegrasi. 9. Persiapan korban menjadi penyintas untuk sosialisasi pencegahan human trafficking berdasarkan sharing pengalaman. 10. Persiapan korban menjadi pendamping bagi korban TPPO dan instruktur pelatihan kompetensi bagi korban TPPO.

Sementara itu, Greg R. Daeng, Kordinator Pelaksana Pojka MPM menyampaikan, belajar dari kasus Santi yang memakan waktu yang cukup lama memberikan refleksi tersendiri untuk semua pihak. Menurutnya, selain pembuktian yang memiliki tantangan tersendiri, juga soal komitmen APH dalam memberikan atensi serius kepada kasus TPPO.

Pojka MPM mendesak kepada seluruh jajaran APH di NTT, termasuk di wilayah kerja Kabupaten Ngada untuk secara serius melakukan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan manusia yang saat ini sudah menjadi satu fenomena serius.

Mendesak APH untuk memberikan kesempatan Justice Collaborator kepada para pelaku perdagangan manusia, agar peluang untuk membongkar jaringan/sindikat trafficking in person di NTT dapat diberangus sampe ke akar-akarnya.

"Harapan kami, dengan kasus ini menjadi rujukan bersama bahwa korban tidak hanya memperoleh keadilan dengan pelaku dimasukkan ke penjara, tetapi hak-hak lainnya juga ikut terjamin melalui fasilitasi negara," ujarnya. (orc).

 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved