Liputan Khusus

Lipsus - Korban TPPO di Ngada NTT Terima Restitusi 

Selain pihak Kejari Ngada dan LPSK, turut hadir dalam momen tersebut, Veronika Aja dari pihak Pokja Menentang Perdagangan Manusia (MPM).

|
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/ORISGOTI
Kajari Ngada, Yoni Pristiawan Artanto, didampingi Kasipidum Arief Wahyudi dan Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo menujukan bukti rekening koran transfer restitusi dari pelaku kepada Maria Susanti Wangkeng atau Santi di Kantor Kejari Ngada, Kamis 1 Februari 2024 

POS-KUPANG.COM, BAJAWA - Maria alias MSW, korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), asal Kelurahan Mbay II, Kabupaten Nagekeo, NTT, akhirnya menerima restitusi pada Kamis 1 Februari 2024.

Penyerahan restitusi itu secara simbolis dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ngada, Yoni Pristiawan Artanto bersama Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) Antonius PS Wibowo, di Kantor Kejaksaan Negeri Ngada

Acara penyerahan yang sempat tertunda sehari akibat kendala teknis akhirnya itu akhirnya dikemas dalam Jumpa Pers.

Baca juga: Terdakwa TPPO di Flores Timur Divonis 3 Tahun Penjara, JPU Nyatakan Banding

Baca juga: Mario Dandy Divonis 12 Tahun Penjara, Hakim Perintahkan Jual Rubicon dan Bayar Restitusi 

Selain pihak Kejari Ngada dan LPSK, turut hadir dalam momen tersebut, Veronika Aja dari pihak Kelompok Kerja (Pokja) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) yang mendampingi Maria.

Kajari Ngada memastikan, bahwa restitusi telah ditransfer langsung oleh pihak keluarga pelaku ke rekening bank Maria, kemarin sore, Rabu 31 Januari 2024 atau sebelum penyerahan secara simbolis. Dia menujukan bukti transfer berupa rekening koran bank.

Kajari menjelaskan, restitusi yang dibebankan kepada pelaku, Eustakius Rela (59) dan Stanislaus Mamis (66), sebenarnya senilai Rp. 47.700.000, namun baru ditransfer Rp. 15.000.000.

"Untuk kekurangannya (Rp. 32.700.000) , mereka para terdakwa ini menyatakan sanggup akan mengangsur. Dan akan kita buatkan pernyataan, nanti akan ditandatangani tim Jaksa Penuntut Umum, disaksikan pihak LPSK dan pihak terdakwa," ujar Kajari.

Permohonan restitusi sebelumnya telah dikabulkan oleh hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri  (PN) Bajawa terhadap terdakwa Eustakius Rela dan Stanis Mamis dan tertuang dalam Surat Putusan PN Bajawa, Nomor 45/Pid.Sus/PN Bajawa, tertanggal 20 Desember 2023.

Eustakius dan Stanis Mamis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Amar putusan menyatakan Eustakius dan Stanis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pengangkutan, penampungan, pengiriman dan pemindahan seseorang posisi rentan walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang berakibat tereksploitasinya orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia.

Selain menanggung restitusi, keduanya mendapat hukuman kurungan di Rutan Bajawa. Eustakius mendapat hukuman kurungan selama 4 tahun 8 bulan, dengan denda Rp. 120.000.000, sementara Stanis Mamis mendapat hukuman kurungan selama 4 dua bulan dengan dengan 120.000.000.

Kajari menyebut restitusi ini adalah perdana di Ngada dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh karena itu dia mengapresiasi LPSK dan Jaksa yang telah memproses restitusi tersebut. Kajari juga menunujuk sosok Hana Anggri Ayu, selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menurutnya, telah bekerja maksimal.

"Keberhasilan dari restitusi ini tidak lepas dari kegigihan seorang Jaksa Penuntut Umum. Ini perempuan. Satunya - satunya jaksa perempuan di Ngada. Dia sangat intens membangun komunikasi, memperjuangkan restitusi ini," ujar Kajari.

Menurut Kajari, sebagai jaksa yang berhasil menangani restitusi pertama di NTT itu, Hana bekerja maksimal. Namun, dia katakan, Kejari Ngada juga akan 'kehilangan' Hana, yang saat ini sudah mendapat SK pindah ke Kejaksaan Agung, menjadi Asisten Khusus Jaksa Agung.

 

Sempat Tertunda

Penyerahan restitusi senilai Rp. 47.700.000, kepada korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Maria oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kejaksaan Negeri Ngada yang sedianya dilakukan pada Rabu 31 Januari 2024 ditunda ke Kamis 1 Februari 2024.

Wartawan di Ngada memperoleh informasi bahwa penyerahan restitusi tersebut dilakukan Rabu 31 Januari 2024 dari Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo bersama timnya, saat tatap muka bersama wartawan di Kota Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada, Selasa malam, 29 Januari 2024.

Rabu pagi, sekitar pukul 10.00 Wita, dua staf LPSK tiba di Kantor Kejari Ngada. Sejam kemudian, menyusul Antonius PS Wibowo bersama dua staf LPSK lainnya serta Santi dan Veronika Aja, pendampingnya, menyusul.

Setelah sejenak bercengkerama dengan awak media, Antonius bersama staf  serta Santi dan Veronika Aja masuk ke dalam kantor untuk menemui Kajari Ngada dan jajaran. Pertemuan mereka berlangsung kurang lebih tiga jam setengah. Pertemuan itu berlangsung tertutup, tidak diliput awak media.

Antonius dan lainnya baru keluar dari Kantor Kejari sekitar pukul 16.00 dan langsung diwawancarai awak media. Kepada awak media Antonius memastikan, penyerahan restitusi tidak jadi dilakukan hari itu karena ada hal teknis yang belum diselesaikan.

"Info yang sudah didapat, rekening (rekening bank korban) sudah dibukakan. Kan harus transfer ke rekening korban. Pa Kejari katanya sudah ditransfer dari pihak keluarga pelaku tetapi dicek sore ini belum masuk. Tadi pa Kajari mengatakan saya dorong malam ini, nanti teman - teman suruh ke sini lagi, " ujar Antonius.

Ditanya soal sikap LPSK mengenai penundaan penyerahan restitusi, Antonius mengatakan, dirinya memahami soal teknis yang menurutnya tidak terduga. "Intinya begini, proses hukum sebelumnya itu kita sudah meminta, uang itu dititipkan ke istilah konsenering, ke lembaga tertentu," jelas Antonius.

"Tapi memang lembaga itu masih ragu untuk menerima penitipan, karena belum adanya semacam edaran tertulis resmi. Maka uang itu setelah sempat dihadirkan di depan pengadilan, sudah dibawa oleh terdakwa, pengacaranya juga sudah setuju, juga sudah ditujukan jaksa akhirnya kemudian dipegang kembali oleh keluarga," imbuhnya.

Disinggung mengenai konsekuensi hukum, jika pelaku tidak mampu atau batal mentransfer restitusi kepada korban, Antonius menegaskan dirinya optimis restitusi bisa terealisasi pada Kamis 1 Februari 2024.

Awak media kemudian menunggu Kajari Ngada, Yoni Pristiawan Artanto untuk mengkonfirmasi kendala penyerahan restitusi. Wartawan juga sempat mengirim pesan whatsApp dan menelpon namun tidak direspon. Wartawan lalu diminta oleh salah satu pegawai Kejari Ngada untuk menemui Kasipidum, Arief Wahyudi di ruang kerjanya.

Kepada awak media, Arief Wahyudi membenarkan bahwa penyerahan restitusi seharusnya dilakukan hari ini, Raju 31 Januari 2024. Namun, menurutnya, keluarga korban mengalami kendala sehingga belum mentransfer ke rekening korban.

Arief menyebut tuntutan restitusi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) senilai Rp. 47.700.000 dan nilai itu dikabulkan oleh hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Ngada pada Desember 2023 lalu.

Kata Arief, upaya tim jaksa menagih restitusi kepada keluarga pelaku sudah beberapa kali dilakukan. "Kami selaku jaksa eksekutor sudah melakukan penagihan dan ada kesanggupan dari pelaku," ujarnya.

Menurut Arief, pihaknya memberikan waktu malam ini hingga besok pagi kepada keluarga pelaku untuk mentransfer restitusi. Jika tidak ditransfer, maka tim Jaksa akan kembali turun langsung ke keluarga untuk melakukan penagihan.  


Kasus Santi Semoga Menginspirasi

Sementara itu Antonius PS Wibowo mengatakan, kasus TPPO Santi diselesaikan dengan tuntas. "Tuntasnya karena dua hal. Pertama Kajari dan jajaran berhasil meyakinkan hakim, sehingga pelaku dijatuhkan pidana. Kedua, Kajari dan jajaran berhasil meyakinkan hakim supaya pelaku membayar restitusi untuk korban dan puji Tuhan restitusinya dibayar," ujar Antonius.

Menurut Antonius, pembayaran restitusi secara dicicil memang dimungkinkan oleh Undang - Undang. LPSK, kata Antonius, berharap perkara Santi menjadi pendorong dan inspirasi bagi penanganan perkara - perkara serupa di NTT maupun di seluruh Indonesia.

"Dengan diberitakannya keberhasilan ini, menjadi penyemangat, inspirasi, bahwa Ngada bisa! Tempat lain juga semoga bisa. Menghukum pelaku dan memberikan hak restitusi kepada korban," ujar Antonius.

Restitusi terhadap korban tindak pidana ini merupakan perdana di Ngada dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Antonius, sebelumnya memang pernah terjadi restitusi terhadap seorang warga NTT, hanya saja itu terjadi di Bintan, Pengadilan Negeri Tanjung Pinang.

Antonius menguraikan, terkait kasus Santi, pihaknya menerima permohonan restitusi dari korban sendiri. Berdasarkan permohonan korban, LPSK lalu melakukan penghitungan nilai kewajaran atas kerugian korban melalui proses wawancara dan penelitian.

Selanjutnya LPSK mengajukan permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum (KPU) untuk dimohonkan kepada hakim untuk dikabulkan. Proses ini merupakan mekanisme yang mesti dilakukan dalam restitusi, selain korban juga harus memenuhi dokumen - dokumen berisi rincian restitusi dan identitas.

Antonius menjelaskan, secara norma hukum banyak korban tindak pidana yang dapat mengajukan restitusi kepada LPSK,seperti korban TPPO, korban kejahatan seksual, pengeroyokan, penganiayaan dan investasi ilegal.

Dalam kasus Maria Susanti Wangkeng, pihaknya tidak menemui kendala berarti saat penghitungan nilai kewajaran kerugian atas korban. "Penghitungan kita, Rp. 47.700.000 sama persis dengan yang dikabulkan oleh hakim," ujar Antonius.

Antonius menegaskan, LPSK menghendaki agar uang restitusi tersebut dipergunakan dengan sebaik - sebaiknya demi keberlanjutan hidup Maria dan keluarga. Dia meminta agar uang itu dipergunakan untuk investasi dan hal - hal produktif.
 

Uang Restitusi Untuk Anak

Sementara itu, Veronika Aja, dari Kelompok Kerja (Pojka) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) yang mendampingi Maria dalam kasus ini mengatakan, pihaknya bersama Maria telah mendiskusikan penggunaan uang restitusi.

Dia katakan, uang tersebut akan ditabung atau diinvestasikan untuk membiayai pendidikan anak Maria. Maria, kata Veronika saat ini telah berkeluarga dan memiliki seorang anak.

"Kalau untuk usaha produktif. Kita akan bantu lewat jalur lain. Intinya kita tetap mendorong mereka untuk punya usaha produktif," ujar Veronika.

Veronika mengukapkan dirinya dan Pokja MPM merasa sangat bahagia dan terharu. Perjuangan mereka mendampingi Maria selama kurang lebih enam tahun akhirnya membuahkan hasil yang adil.

Dia katakan kasus Santi menjadi pembelajaran penting bagi yang lain yang ingin bekerja di luar daerah maupun luar negeri. "Paling penting itu adalah bagaimana prosesnya. Kita harus bagaimana jalurnya dan harus resmi sehingga kita dilindungi," ujar Varonika.

 

Pelaku Komit Lunasi Restitusi

Atas seijin Agung Wibowo, Kepala Rutan Bajawa, wartawan bisa mewawancarai salah satu pelaku TPPO, Eustakius Rela di Rutan Bajawa. Mantan anggota DPRD Kabupaten Ende itu menyambut ramah kehadiran wartawan.

Setelah basa - basi sejenak, wartawan menceritakan bahwa Santi telah menerima restitusi yang transfer oleh keluarganya senilai Rp. 15.000.000. Eustakius menyimak dengan saksama.

Menurut Eustakius, sebenarnya keluarganya telah menyiapkan uang senilai Rp. 47.700.000 untuk diserahkan saat sidang putusan. Namun karena penyerahan ditunda dan uang itu kemudian dipergunakan oleh istri untuk membiayai kebutuhan keluarga dan membiayai kuliah anaknya.

Eustakius merasa belum cukup lega, karena tanggung jawabnya belum sepenuhnya ia penuhi. "Pada dasarnya saya tetap berkomitmen untuk bertanggungjawab. Itu komitmen saya," kata Eustakius.

"Sebetulnya suatu pertanyaan apa sih yang saya buat selama hidup? Inilah jalan hidup saya. Saya sebagai warga negara berusaha untuk taat hukum. Dan, sebagai orang beriman, mungkin inilah yang bisa saya lakukan untuk sesama saya," imbuhnya.

 

Cerita Santi

Didampingi, Veronika Aja, usai penyerahan restitusi, Maria , menceritakan kisahnya. Kata Veronika kepada wartawan, Maria Susanti Wangkeng memang perlu didampingi karena kurang lancar berbahasa Indonesia.

Pada Juli 2015 silam, Santi, sapaan Maria dengan berat hati pergi meninggalkan kampung halamannya, Kampung Nila. Santi mengaku ia didesak pergi ke Ende bersama Eustakius Rela oleh Stanis Mamis sanak keluarganya sendiri.

Santi sapaan akrab Maria yang kala itu masih di bawah umur (17 tahun) tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunda Santi, Hermina Toyo pun hanya menangis melihat putrinya pergi dibonceng Eus dengan sepeda motor. "Waktu itu mama lihat saya, mama hanya menangis," kenang Santi.

Dalam keluarga, Santi adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ibunya berjuang sendiri memenuhi kebutuhan keluarga, sebab ayah Santi telah meninggal dunia.

Eustakius dan Stanis Mamis sebelumnya sudah melakukan pendekatan dengan ibunda Santi. Mereka membujuk Hermina agar Santi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, dengan gaji Rp. 1.500.000 per bulan. Hermina yang sedang dililit persoalan ekonomi pun menyetujui.

Santi kala itu pergi hanya membawa sebuah kresek berisi dua helai baju miliknya. "Om Eus (sapaan akrab Eustakius Rela) waktu itu bilang sampai di Ende baru dia (Eus) yang beli baju. Tapi sudah di Ende juga, dia tidak beli," tuturnya.

Di Ende, Santi disuruh tinggal sebuah kos - kossan bersama dengan beberapa tenaga kerja lainnya. Santi lupa berapa orang. Setelah dua malam tinggal di kos - kossan mereka kemudian diberangkatkan ke Jakarta dengan KM Awu melalui Pelabuhan Ende.

Tiba di Jakarta Santi cs tinggal di sebuah kos - kossan, milik Eustakius Rela selama dua minggu sebelum satu per satu di antar ke rumah majikan. Dalam rentang waktu 2015- hingga September 2017, Santi bekerja pada tiga majikan berbeda sebagai pembantu rumah tangga tanpa digaji.

Santi kabur dari rumah majikan pada September 2017. "Saya kabur karena majikan marah. Waktu itu saya lari (kabur) dalam kondisi lapar dan tidak bawa pakaian. Saya lari saja tidak tau kemana," ujar Santi.

Santi yang dalam kondisi lapar dan tak tau arah, terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Santi dikira gelandangan. Santi lalu dibawa ke penampungan orang dengan gangguan jiwa dan tinggal di sana selama dua bulan. Selanjutnya Santi dibawa ke Dinas Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Sementara itu di Nagekeo, Veronika Aja di sela - sela kesibukannya mengerjakan tesis kuliah, tidak sengaja menemukan sebuah postingan di facebook yang menerangkan bahwa Santi sedang ditampung di Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta.

Veronika Aja yang juga terlibat dalam Kelompok Kerja (Pokja) Menentang Perdagangan Manusia (MPM) langsung berkoordinasi dengan rekan - rekannya berupaya memulangkan Santi ke Nagekeo.

Dari Dinas Sosial, Pokja MPM membawa Santi ke Susteran Gembala Baik di Jakarta untuk rehabilitasi selama tiga minggu. Selanjutnya pada Januari 2018 Pokja membawa pulang Santi ke Nagekeo.

Tak berhenti di situ, Pojka MPM kemudian membuat laporan kepada Polres Ngada atas dugaan Tindak Pidana Perdangaan Orang (TPPO) terhadap Santi. Kala itu Polres Nagekeo belum terbentuk.

Proses kasus ini di tangan Polisi memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih enam tahun. Kasus ini baru menemui titik terang, yakni memasuki tahap II pada 26 Juli 2023, dimana Polres Ngada menyerahkan dua tersangka dan barang bukti kepada pihak Kejari Ngada.

Dua tersangka tersebut tidak lain adalah Eustakius Rela dan Stanis Mamis. Menilik catatan pemberitaan Pos Kupang, Kapolres Ngada, AKBP Padmo Arianto saat Jumpa Pers terkait naiknya kasus ini ke tahap II, menerangkan Eustakius Rela berperan sebagai penampung, sementara Stanis Mamis sebagai perekrut.

Mengenai lamanya penanganan kasus ini, AKBP Padmo Arianto menyebut, Polres Ngada baru mulai fokus menangani kasus ini pada 2020 dengan alasan pada 2018 saat kasus itu bergulir di Polres Ngada, sedang berproses pembentukan Polres Nagekeo yang sebelumnya masuk Wilayah Hukum Polres Ngada.


Solusi Kolaboratif Cegah TPPO

Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan Ham Padma Indonesia (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia) mengatakan upaya pencegahan TPPO membutuhkan solusi kolaboratif.

Menurutnya, TPPO di NTT dan Indonesia masuk dalam kategori darurat. Menyikapi kondisi ini, kata Gabriel, wajib hukumnya ditindaklanjuti oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2024 - 2029.

Pertama, penerbitan PP Justice Collaborator TPPO. Kedua, pembentukan BNP TPPO (Badan Nasional Penangggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Gabriel merincikan, BNP TPPO diberi tanggung jawab atau tupoksi antara lain : 1. Sosialiasi secara sistemik dan masif pencegahan human trafficking mulai dari Desa melalui program GEMA HATI MIA (Gerakan Masyarakat Anti Human Trafficking dan Migrasi Aman).

2. Menyelamatan korban TPPO di Rumah Asa Indonesia (milik BNP TPPO). 3. Pendampingan psikologis korban. 5. Pendampingan kesehatan. 6. Pendampingan rohanimKeenam, program integrasi sesuai minat dan bakat korban TPPO. 7. Pendampingan hukum APH bekerjasama LPSK untuk mendapatkan hak restitusi dan hak-hak lainnya.

8. Program reintegrasi. 9. Persiapan korban menjadi penyintas untuk sosialisasi pencegahan human trafficking berdasarkan sharing pengalaman. 10. Persiapan korban menjadi pendamping bagi korban TPPO dan instruktur pelatihan kompetensi bagi korban TPPO.

Sementara itu, Greg R. Daeng, Kordinator Pelaksana Pojka MPM menyampaikan, belajar dari kasus Santi yang memakan waktu yang cukup lama memberikan refleksi tersendiri untuk semua pihak. Menurutnya, selain pembuktian yang memiliki tantangan tersendiri, juga soal komitmen APH dalam memberikan atensi serius kepada kasus TPPO.

Pojka MPM mendesak kepada seluruh jajaran APH di NTT, termasuk di wilayah kerja Kabupaten Ngada untuk secara serius melakukan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan manusia yang saat ini sudah menjadi satu fenomena serius.

Mendesak APH untuk memberikan kesempatan Justice Collaborator kepada para pelaku perdagangan manusia, agar peluang untuk membongkar jaringan/sindikat trafficking in person di NTT dapat diberangus sampe ke akar-akarnya.

"Harapan kami, dengan kasus ini menjadi rujukan bersama bahwa korban tidak hanya memperoleh keadilan dengan pelaku dimasukkan ke penjara, tetapi hak-hak lainnya juga ikut terjamin melalui fasilitasi negara," ujarnya. (orc).

 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved