Opini

Potret Kiprah Politik Jokowi dalam Bingkai Filosofi Daun Pepaya dan Gaya Kampanye Blusukan

Sebut nama Jokowi, Presiden RI ke-7 sekarang ini, terlintas sekilas dalam benak penulis tentang daun pepaya dan blusukan. Mengapa tidak?

Editor: Dion DB Putra
TribunnewsBogor.com/Muamarrudin Irfani
Presiden Jokowi blusukan di pasar Bogor beberapa waktu lalu. 

Oleh: Prof. Fransiskus Bustan
Dosen Prodi Bahasa Inggris FKIP Undana Kupang

POS-KUPANG.COM - Sebut nama Jokowi, Presiden RI ke-7 sekarang ini, terlintas sekilas dalam benak penulis tentang daun pepaya dan blusukan. Mengapa tidak?

Karena, seperti dilansir dalam buku berjudul Jokowi: Menuju Cahaya, Jokowi memilih daun pepaya sebagai filosofi perjuangan dan bulusukan sebagai gaya kampanye ketika dia tampil sebagai kandidat dalam kontestasi pesta demokrasi Pemilihan Walikota Solo tahun 2005.

Ketika Jokowi tampil pertama kali sebagai paslon Walikota dalam kontestasi pesta demokrasi Pemilihan Walikota Solo tahun 2005, tidak banyak kalangan masyarakat Kota Solo yang mengenalnya.

Mengapa? Karena tidak ada rekam jejak tentang luasan kiprahnya dalam kancah sejarah perpolitikan di negeri ini. Karena itu, tidak heran, jika hasil survey pertama oleh Anggit Noegroho, tingkat elektabilitas dan popularitas Jokowi hanya mencapai 10 persen.

Data tersebut menunjukkan, di atas kertas, Jokowi sudah kalah sebelum berlaga. Tingkat elektabilitas dan popularitasnya sangat rendah dibandingkan tingkat elektabilitas dan popularitas mitra tandingnya, termasuk petahana, saat itu.

Meski demikian, Jokowi tidak patah semangat. Secara pelan namun pasti, dia merajut takdir Sang Ilahi sebagai Sang Arsitek Agung demi menjawab panggilan hati nurani rakyat banyak dan rakyat kebanyakan di Kota Solo.

Meski dibalut berbagai kekurangan dan keterbatasan, dia tetap ikut bertandang sebagai kandidat pendatang baru dalam ajang kontestasi pesta demokrasi di Kota Solo.

Ibarat tenang-tenang mendayung, hasil survey awal yang hanya mencapai 10 persen menjadi cemeti dan sumber energi yang memberikan semangat baru bagi Jokowi untuk meracik kiat bernilai filosofis dan merancang gaya kampanye agar bisa meraih kemenangan.

Berdasarkan hasil umbar gagas dengan sekretarisnya bernama Anggit, Jokowi memilih daun pepaya sebagai filosofi perjuangan dan gaya blusukan sebagai strategi kampanye.

Mengapa daun pepaya dipilih Jokowi sebagai filosofi perjuangannya? Karena daun pepaya adalah simbol rasa pahit yang membawa kesembuhan.

Daun pepaya memang terasa pahit ketika dimakan, namun mereguk banyak manfaat untuk kesehatan setelah dimakan. Filosofi daun pepaya yang diserukan Jokowi selama masa kampanye menyiratkan pesan yang begitu sarat makna bernuansa humanis dalam membangun Kota Solo.

Menurut Jokowi, Solo mesti melakoni perjuangan yang mungkin diwarnai berbagai kepahitan untuk mengobati penyakit-penyakit di tubuhnya dengan cara membenahi kota, merevisi yang keliru, memperbaiki yang rusak.

Memang melelahkan, repot, dan terasa pahit, namun tujuannya untuk menggapai keadaan lebih baik. Pungkas kata, bersusah-susah dulu, bersenang-senang kemudian.

Itu adalah esensi isi filosofi daun pepaya yang didengungkan Jokowi selama melakukan kampanye dalam kontestasi pesta demokrasi Pemilihan Walikota Solo tahun 2005.

Lalu, mengapa jurus blusukan sebagai gaya kampanye Jokowi dan bukan jurus lain sesuai kelaziman yang diperagakan politisi kawakan?

Karena keterbatasan dana, dia tidak bisa melakukan kampanye akbar dengan menggelar panggung besar berlayar lebar di ruang terbuka dan pawai besar-besaran di ruas-ruas jalan yang digegapi berbagai gempita bunyi-bunyian.

Jurus dan gaya kampanye beraroman gegap gempita bukan selera Jokowi karena, bagi dia, kesederhanaan adalah mahkota segala keindahan.

Dengan jurus blusukan sebagai gaya kampanye yang dikemas secara maknawi dengan filosofi daun pepaya, Jokowi melakukan lawatan di berbagai tempat.

Dengan demikian, selain dapat menjangkau sudut terdalam, dia merasakan denyutan kehidupan rakyat sampai ke lorong-lorong sempit yang tidak terlihat masyarakat luar dalam hirupan atmoster kehidupan yang tidak tersentuh percikan pembangunan.

Inilah the power of blusukan sebagai gaya kampanye Jokowi sambil mendendangkan filosofi daun pepaya. Semula daun papaya memang terasa pahit ketika dimakan, tetapi membawa kesembuhan dari penyakit di kemudian hari.

Peragaan jurus blusukan dengan filosofi daun pepaya yang diterapkan Jokowi ternyata tidak menuai hampa. Sambil bertatap muka dan bersalaman dengan rakyat kebanyakan di sudut-sudut kota Solo, Jokowi iseng menghitung dalam hati besaran jumlah pemilih yang diduga akan menentukan preferensi politik mereka kepadanya.

Sesuai banyaknya warga yang sempat bersalaman selama blusukan, menurut prediksinya, dia akan meraih kemenangan dengan raupan suara sekitar 37 persen.

Prediksi itu ternyata tidak meleset. Seusai pemungutan suara digelar, pasangan Jokowi dan Rudy berhasil ke luar sebagai pemenang dengan besaran raupan suara mencapai 37 persen.

Kemenangan itu mengkaparkan beberapa kandidat lain sebagai mitra tandingnya yang sudah sekian lama melintang pukang di ranah politik di tingkat lokal, regional, dan nasional.

Karena Jokowi yang berperawakan kurus dan terkesan bertampang ndeso secara ragawi bukanlah siapa-siapa dalam pusaran politik di Kota Solo dan Indonesia saat itu, maka tidak heran jika berita kemenangannya menggema secara serempak ke seluruh pelosok Indonesia.

Banyak politisi yang merasa pintar dan tidak pintar merasa ketika melakukan kalkulasi politik dalam berbagai kontestasi pesta demokrasi di negeri ini terjerembab diterpa rasa cengang.

Sembari gigit jari, mereka menyimak dengan saksama berita kemenangan seorang anak bantaran sungai bernama Jokowi yang berhasil menjadi pemenang dengan raupan suara terbanyak dalam perhelatan politik Pemilihan Walikota Solo saat itu.

Luar biasa kucuran anugerah Tuhan untuk seorang anak bantaran sungai bernama Jokowi.

Tampilan ragawi yang seringkali disemat pesaingnya dengan predikat ndeso ternyata sosok seorang pria idaman berhati emas yang memang ditakdirkan Tuhan sebagai Arsitek Agung menjadi sosok pemimpin mewakili kaum papa.

Karena itu, tidak heran jika dari Kota Solo, Jokowi beranjak ke Jakarta dan meraih keberhasilan dalam kontestasi pilkada di DKI dan kemudian terpilih menjadi Presiden RI ke-7 menggantikan SBY.

Kepiawaian Jokowi dalam menahkodai bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk terbesar ke empat di dunia selama dua periode mengundang detak kagum para pemimpin dan masyarakat sejagat.

Seperti dikemukakan John Quincy Adams, Joko Widodo memang benar-benar sosok seorang pemimpin dan bahkan sosok seorang pemimpin benaran.

Karena berbagai tindakannya melalui tagline, kerja dan kerja, telah menginspirasi bangsa Indonesia untuk bermimpi lebih, belajar lebih, berbuat lebih dan menjadi lebih karena Indonesia memang memiliki banyak kelebihan.

Jokowi tidak suka menampilkan dagelan politik melodramatik tidak bermutu di atas pentas politik nasional demi memperoleh belas kasihan.

Meski dia seringkali disalimi kaum kadrun yang merasa kebakaran jenggot selama masa kepemimpinannya di negeri ini, Jokowi tetap tegar. Dalam menyikapi komentar miring bernada sumbang kaum kadrun, Jokowi lebih banyak bersikap diam dan tidak melakukan upaya balas dendam.

Mengapa? Karena semua itu dianggapnya hanya menguras secara sia-sia energi bangsa Indonesia.

Dalam diam yang sesekali diiringi seketul senyum khas sebagai kekhususannya,
Jokowi melakukan berbagai kesuksesan besar dalam pembangunan guna mengarak bangsa Indonesia ke luar dari kerangkeng kemangkrakan masa lalu. Dengan kesuksesan besar, Jokowi menepis komentar miring bernada sumbang kaum kadrun.

Hal ini selaras dengan pandangan Frank Sinarta yang menyatakan, the best revenge is massive success (pembalasan dendam terbaik adalah kesuksesan besar). God bless you, Jokowi. Your are the best, karena bagimu, time is work.

Sejalan dengan itu, action speaks louder than words, adalah ancangan kepemimpinanmu yang layak ditiru para pemimpin kita ke depan. Mencapai Indonesia emas tidak mungkin dicapai dengan gelegar retorika manis di atas pentas.

Kebermaknaan kata-kata manis di atas pentas mesti menyata dalam aksi. Karena jika tidak, kata-kata itu akan menjadi tunamakna. Sebagaimana dilontarkan Roman Jakobson, language without meaning is meaningless. *

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved