Berita Lembata

Lamawolo Jadi Desa Ketiga di Lembata Tetapkan Kearifan Lokal Muro Dalam Perdes

Lamawolo mengikuti jejak Desa Kolontobo dan Tapobaran yang sebelumnya juga sudah menetapkan Muro dalam perdes. 

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Penetapan Muro Lare Munung dalam perdes dilangsungkan di Kantor Desa Lamawolo, 4 September 2023 dan dihadiri langsung oleh Staf Bagian Hukum Setda Lembata, pemerintah desa, BPD, organisasi pengelola Muro, Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat dan sejumlah perwakilan masyarakat. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Lamawolo di Kecamatan Ile Ape Timur jadi desa ketiga di Kabupaten Lembata yang menetapkan peraturan desa (perdes) tentang Muro, sebuah kearifan lokal untuk menjaga kawasan laut dari eksploitasi yang berlebihan. 

Lamawolo mengikuti jejak Desa Kolontobo dan Tapobaran yang sebelumnya juga sudah menetapkan Muro dalam perdes. 

Penetapan Muro Lare Munung dalam perdes dilangsungkan di Kantor Desa Lamawolo, 4 September 2023 dan dihadiri langsung oleh Staf Bagian Hukum Setda Lembata Emilianus Laba, pemerintah desa, BPD, organisasi pengelola Muro, Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat dan sejumlah perwakilan masyarakat.

Baca juga: Wanted Cup, Turnamen Sepak Bola Terbesar di Lembata Siap Digelar Tahun 2023

Distrik Fasilitator VCA Koalisi Adaptasi - LSM Barakat, Gani Amuntoda, berujar Muro adalah salah satu bentuk konservasi di laut ataupun di darat berdasarkan hukum dan sanksi adat yang dikelola oleh masyarakat adat yang disebut Kabelen Lewo. 

"Diharapkan dengan adanya Perdes ini maka akan memperkuat proses pengelolaan dan pengawasan Muro," katanya. 

Kepala Desa Lamawolo, Antonius Ngaji menjelaskan Muro merupakan model konservasi lokal yang berkembang dalam budaya Lamaholot. Muro sendiri berarti larangan, yang menjadi bagian dari hukum adat melalui musyawarah kampung yang ditandai dengan darah hewan.

Kesepakatan ini dilakukan di Namang, tempat bertemunya tiga elemen utama yaitu tanah langun atau leluhur, tanah lolon atau manusia yang hidup dan kowa lolon atau sang pencipta.

Baca juga: Pastikan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Maksimal, Ombudsman NTT Kunjungi Lapas Lembata

Masyarakat adat di Lamaholot mengenal Muro sejak zaman dahulu. Namun, belakangan ini Muro tidak lagi dilaksanakan.

Muro yang sebagai manifestasi kedaulatan rakyat dalam menentukan pengelolaan sumber daya alamnya, harus dijalankan sebab menjadi salah satu cara yang cukup ampuh untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Di Lembata, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Barakat sejak tahun 2016 mengadvokasi sejumlah desa pesisir di Kecamatan Ile Ape, Ile Ape Timur dan Lebatukan untuk menghidupkan kembali warisan leluhur tersebut. 

Beberapa desa itu yakni Dikesare, Tapobaran, Lamawolo, Kolontobo, dan Lamatokan. Dengan pendampingan yang berkelanjutan, masyarakat adat di kelima desa ini telah menggelar ritual adat dan menerapkan Muro di kawasan laut, tempat mereka menggantungkan hidup. 

Baca juga: Perangkat Desa Wajib Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan, Pemkab Lembata Siapkan Anggaran

Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil, menjelaskan, Muro dipahami secara harafiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat. 

"Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata. Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung, kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada areal laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apa pun," katanya. 

Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembangbiak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivias manusia dalam bentuk apa pun. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved