Opini

Opini Eduardus Johanes Sahagun: Potret Keluarga Berisiko Stunting di NTT

Stunting adalah salah satu masalah genting, sehingga pemerintah menargetkan prevalensi stunting harus turun menjadi 14 persen.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
Foto ilustrasi. Penjabat Wali Kota Kupang George Hadjoh menyapa seorang anak saat menyerahkan bantuan dari Raffi Ahmad dan Kolonel Helmy Nange di Kelurahan Oepura. Sementara Eduardus Johanes Sahagun menulis opini Potret Keluarga Berisiko Stunting di NTT. 

POS-KUPANG.COM - Stunting adalah salah satu masalah genting yang kadang tidak disadari oleh sebagian besar masyarakat, sehingga pemerintah menargetkan prevalensi stunting harus turun menjadi 14 persen di tahun 2024.

Demikian pula, jumlah keluarga berisiko stunting di Indonesia, sampai saat ini masih tinggi,yaitu mencapai 21,9 juta berdasarkan hasil Pendataan Keluarga 2021 (PK-21) yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ).

Target pemerintah menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024 adalah suatu keniscayaan. Karena itu, berbagai upaya dari semua sektor dan pihak sudah dikerahkan agar bisa mencapai angka tersebut.

Salah satu upaya pencegahan dan penurunan stunting yang dicanangkan BKKBN adalah dengan melakukan pendampingan kepada sasaran yang termasuk dalam keluarga berisiko stunting.

Dalam Peraturan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN PASTI) dijelaskan bahwa keluarga berisiko stunting adalah keluarga yang memiliki satu atau lebih factor risiko stunting, yang terdiri dari keluarga yang –memiliki anak remaja puteri/calon pengantin, atau ibu hamil, atau keluarga yang memiliki anak usia 0-23 bulan/anak usia 24-59 bulan, berasal dari keluarga miskin, pendidikan orang tua rendah, sanitasi lingkungan buruk, dan air minum tidak layak.

Baca juga: Optimalkan Potensi Lokal Tangani Stunting di NTT

Dengan kata lain, keluarga berisiko stunting adalah keluarga, yang jika tidak diberikan intervensi serius sejak dini, maka akan berpotensi melahirkan generasi stunting.

Jika dalam sebuah keluarga terdapat satu atau lebih faktor risiko stunting, semisal, memiliki remaja anemia, atau memiliki ibu hamil KEK, maka potensi melahirkan anak stunting tentu ada.

Ditambah lagi, jika keluarga tersebut memiliki sanitasi buruk, atau jamban yang tidak sehat, juga memiliki korelasi yang signifikan terhadap kelahiran bayi stunting.

Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting:

Pertama, praktek pengasuhan yang dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta sesudah melahirkan;

Kedua, pelayanan ANC-Antenatal Care dan Postnatal Care yang kurang berkualitas;

Ketiga, akses ke makanan bergizi yang masih kurang, karena harga makanan bergizi yang relative mahal;

Baca juga: Penjabat Wali Kota Kupang Apresiasi Kegiatan Social Movement Cegah Stunting Pos Kupang

Keempat, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi berulang yang berdampak pada perkembangan anak.

Melihat faktor-faktor penentu yang mempengaruhi terjadinya stunting, maka penanganan permasalahan stunting harus dilakukan secara paripurna, komprehensif, terpadu dan bersifat multi sektoral dengan mengintensifkan pendampingan terhadap keluarga yang berisiko melahirkan bayi stunting.

Fokus pendampingan kepada keluarga berisiko stunting harus dilakukan dari hulu, mulai pada periode remaja serta calon pengantin, pada masa kehamilan dan pada masa pasca persalinan, serta terus didampingi hingga anak berusia 5 tahun.

Pendampingan pada masa-masa tersebut merupakan upaya agar segenap intervensi sensitive maupun intervensi spesifik yang diberikan dapat dipastikan sampai kepada penerima manfaat dan mempunyai dampak nyata dengan menurunnya angka prevalensi stunting.

Sebagai ketua percepatan penurunan stunting, BKKBN tentu lebih banyak bekerja dalam ranah intervensi sensitif. Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan.

Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.

Baca juga: Terima Bantuan Penanganan Stunting dari Raffi Ahmad, Lurah Oepura Ucap Terima Kasih

Di NTT sendiri, berdasarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2021 (PK-21) yang dilakukan BKKBN, dan sudah dilakukan pemuktahiran data keluarga di tahun 2022, diketahui bahwa jumlah keluarga sasaran yang patut didampingi sebanyak 639.998 keluarga. Di mana, sasaran yang terkategori keluarga berisiko stunting sebanyak 431.247 keluarga.

Jika dilakukan penapisan, maka diperoleh keluarga berisiko stunting yang memiliki fasilitias kesehatan (jamban/sanitasi) yang tidak sehat/buruk di NTT sebanyak 271.027 keluarga.

Ditambah lagi dengan Pasangan Usia Subur (PUS) terkategori dalam ‘4Terlalu’ (4T) yang masih cukup tinggi. Yang dimaksud dengan 4T adalah Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Dekat, Terlalu Banyak.

Terlalu Muda, misalnya Ibu hamil pertama usia kurang dari 21 tahun secara fisik kondisi rahim dan panggul belum berkembang secara optimal.

Terlalu Tua, misalnya ibu hamil pertama pada usia kurang lebih 35 tahun dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayinya.

Terlalu Dekat, yang dimaksud di sini adalah jarak antara kehamilan pertama dengan berikutnya kurang dari 2 tahun yang menyebabkan dapat menghambat proses persalinan seperti gangguan kekuatan kontraksi, kelainan letak, dan posisi janin.

Baca juga: Angka Stunting di Kabupaten Sumba Timur Turun

Terlalu Banyak (anak), misalnya ibu pernah hamil dan melahirkan lebih dari 2 kali yang menyebabkan dapat menghambat proses persalinan, seperti gangguan kontraksi, kelainan letak dan posisi janin, perdarahan pasca persalinan.

Keluarga kita mungkin bisa masuk dalam kelompok berisiko stunting jika PUS-nya bukan merupakan peserta KB modern. Program BKKBN dalam upaya mengatasi agar keluarga kita tidak masuk dalam kategori keluarga berisiko stunting adalah dengan mengatur kehamilan, sehingga jarak kelahiran pun teratur.

Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan KB modern. Jika melihat data PK-21, diketahui bahwa jumlah keluarga di NTT yang belum menggunakan KB modern sebanyak 350,096 keluarga.

Angka ini masih tergolong cukup besar, sehingga perlu kerja ekstra dari BKKBN NTT dan semua mitra terkait agar PUS yang termasuk dalam 4T dan tidak menggunakan KB modern, bisa segera mendapat Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dari Bidan maupun Penyuluh KB (PKB) di lapangan.

Selain PKB, BKKBN juga memiliki tenaga lini lapangan bernama Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang terdiri dari Bidan, Kader TP PKK dan Kader KB.

Ketiga orang dalam tim ini memiliki tugas mendampingi semua sasaran yang terkategori dalam keluarga berisiko stunting. Ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Butuh kerja sama lintas sektor agar keluarga NTT tidak berisiko melahirkan anak stunting.

Baca juga: Keluarga Penerima Manfaat Minta Pos Kupang Terus Selenggarakan Program Cegah Stunting 

Dari sini, jelaslah bahwa bentuk sosialisasi BKKBN kepada masyarakat tidak hanya mengenai program Keluarga Berencana (KB), tetapi juga ditambah dengan sosialisasi tentang pemberdayaan ketahanan keluarga, sebab keluarga memiliki peran penting dalam pembangunan, di mana persemaian nilai-nilai agama, kemanusiaan, keadilan sosial dan nilai moral secara praktis akan bertumbuh dalam keluarga.

Stunting bukan persoalan mengenai panjang/tinggi badan menurut umur. Panjang atau tinggi badan seorang anak itu hanya merupakan ‘tanda’ dari sebuah masalah besar di baliknya, yakni masalah kualitas kognisi/otak anak di masa mendatang.

Karena itu, perlulah kita menjaga agar anak-anak kita tidak mengalami stunting. Cara terbaik yang bisa dilakukan dalam upaya pencegahan adalah dimulai dari dalam keluarga kita masing-masing. Keluarga sebagai tempat semua nilai dan potensi anak dikembangkan, haruslah tidak terjerat masalah kesehatan, khususnya stunting.

Mungkin saja saat ini kita sedang masuk dalam kategori keluarga berisiko stunting. Akan tetapi, kita masih punya waktu untuk terus berbenah, menjaga agar potensi stunting dalam keluarga kita itu hilang bahkan terputus selamanya. Inilah harapan besar kita semua sebagai satu keluarga besar NTT.

Keluarga NTT tidak boleh menjadi keluarga yang berisiko stunting, tetapi harus menjadi keluarga yang ber-aktor penting dalam pencegahan stunting. Salam Sehat. Cegah Stunting itu Penting! (Penulis adalah Widyaiswara pada Perwakilan BKKBN NTT)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved