Opini
Opini Peter Tan: Politik Identitas dan Populisme Islam di Indonesia
Menanggapi politik identitas, Fakultas Filsafat Unwira Kupang mengadakan seminar bertajuk Politik Identitas dalam Proses Berdemokrasi.
POS-KUPANG.COM - Menanggapi politik identitas dan perdebatan seputarnya, Fakultas Filsafat Unwira Kupang mengadakan seminar nasional bertajuk “Politik Identitas dalam Proses Berdemokrasi di Indonesia” (Sabtu, 13/5/2023).
Seminar ini menghadirkan tiga narasumber yang kompeten dengan sudut pandang mereka yang khas: Dr. Budi Munawar-Rachman dari perspektif filsafat Islam, Dr. Boni Hargens dari perspektif ilmu politik, dan Dr. Norbertus Jegalus dari perspektif filsafat politik.
Politik identitas adalah model pendekatan politik di mana sekelompok orang mendasarkan pandangan dan agenda politik mereka pada identitas partikular seperti agama, ras, etinisitas, gender, dan lain-lain.
Sebagaimana dikatakan Boni Hargens dalam seminar tersebut, istilah politik identitas dalam kajian literatur akademis adalah istilah yang diperdebatkan.
Beberapa orang memahami politik identitas sebagai gerakan sosial baru, sementara yang lain melihatnya sebagai salah satu ideologi dalam masyarakat kontemporer. Dalam kenyataan, gerakan politik identitas memiliki baik penentang maupun pendukung di berbagai negara.
Baca juga: Opini Thomas Dohu: Pemilih Pemilu Serentak 2024
Politik Identitas
Para penentang politik identitas mendasarkan pandangan mereka pada argumen bahwa penyebaran sentimen identitas dalam politik telah menciptakan polarisasi dan kebencian antarkelompok yang merusak demokrasi.
Klaim itu tak keliru sebab memang secara global, dalam empat dekade terakhir, demokrasi di seluruh dunia terjungkal ke jurang krisis.
Penyebabnya adalah bangkitnya gerakan populis sayap kanan yang mempropagandakan kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas: imigran, non-pribumi, orang hitam, perempuan, LGBT, kelompok minoritas agama dan etnis.
Sentimen itulah yang diprovokasi propaganda populis Trump di AS, Victor Orban di Hungaria, Le Pen di Prancis, dukungan terhadap Brexit di Inggris, hingga propaganda politik Islam di tanah air sejak 2014.
Dalam diskursus filsafat politik kontemporer, politik identitas tak selalu negatif bagi demokrasi. Dalam konteks masyarakat multikultural, perjuangan menegakkan identitas dari tirani mayoritas adalah gerakan sosial yang penting yang selaras cita-cita demokrasi akan keadilan dan kesetaraan antarmanusia.
Charles Taylor misalnya berbicara tentang identitas sebagai subjek kolektif kelompok dalam perjuangan mendapatkan pengakuan sosial. politik identitas penting ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu membentuk aliansi politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.
Baca juga: Opini Maksimus Ramses Lalongkoe: Mencari Kontestan Kontes Gagasan
Gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan LGBT adalah beberapa contoh. Selama ada orang yang terpinggirkan, dikorbankan, atau ditindas karena identitasnya, politik identitas diperlukan.
Kelihatan bahwa dalam politik, identitas tidak perlu dilampaui. Di dunia yang tidak adil, di mana segmen masyarakat tertentu ditindas oleh orang lain, mencoba melampaui identitas bukan solusi.