Opini

Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi

Setiap menjelang Pemilu, suhu politik di negeri tercinta ini mulai memanas. Ibarat memasuki musim kemarau. Iklim politik menjadi semakin ‘panas'.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Peran Elite Mematangkan Demokrasi. 

Dalam buku “Bung Karno The Untold Stories”, Bung Hatta mengunjungi Bung Karno di kala ia terbujur tak berdaya di tempat tidur. Melihat kondisi Bung Karno yang demikian, sambil menggenggam erat tangan Bung Karno, Bung Hatta pun tak kuasa menahan tangis.

Lima hari setelah kunjungan tersebut, Bung Karno pun pergi untuk selama-lamanya, demikian dikisahkan Rakhmat Nur Hakim (Kompas.com 18/6/2021).

Ini cuma sekadar cerita pertemanan yang berbeda pandangan tetapi tidak saling bermusuhan. Sikap demikian juga dapat ditemukan dalam diri Gus Dur. Dengan terus terang Gus Dur, dalam acara Kick Andy yang ditayang Metrotv, mengatakan, yang pantas jadi musuhnya cuma satu yaitu Soeharto. Akan tetapi Gus Dur tidak menganggap Soeharto sebagai musuh.

Deskripsi di atas dengan jelas mengatakan bahwa para tokoh bangsa walau berbeda pandangan, namun mereka saling berteman, saling melengkapi. Perbedaan pendapat di antara mereka dipandang sebagai cara menjernihkan pemikiran, memurnikan gagasan.

Bagi mereka, teman adalah kawan dalam pertengkaran ide. Sikap rasionalitas lebih diutamakan daripada sentimentalitas.

Kepandaian Beretorika

Jika dilihat dari setumpuk gelar akademis sebagian elit dengan berbagai jabatan keren yang sedang dan pernah dipegangnya, dapat dikatakan bahwa mereka memiliki kemampuan retorika yang tak dapat ditandingi oleh orang biasa-biasa saja.

Retorika yang demonstratif demikian tampak dalam penampilan mereka ketika berada di atas podium terlebih di masa-masa kampanye.

Ada pula yang mencoba meniru gaya Bung Karno yang dijuluki ‘singa podium’. Suara mereka sungguh melengking dan memekakkan telinga, dengan dimeriahkan lantunan merdu suara artis nasional disertai musik membahana terasa menghipnotis. Seolah dunia hanya milik mereka.

Dalam menggugah hati para pemilih demi meraih suara sebanyak mungkin, mereka pun dengan lantang menyatakan perang terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, memperjuangkan sistem birokrasi yang bersih, jujur, transparan dan akuntabel sesuai semangat reformasi.

Tak ketinggalan di setiap kegiatan kemasyarakatan, apa pun bentuknya, mereka berusaha meluangkan waktu dan berjuang agar bisa hadir. Lebih dari itu, mereka menyelenggarakan kegiatan amal melalui kegiatan pelayanan sosial di antaranya layanan pengobatan gratis, menyalurkan bantuan bagi korban bencana alam.

Cerita-cerita tersebut hendak memberi kesan bahwa mereka adalah pihak yang amat peduli terhadap nasib rakyat terutama mereka yang paling tidak beruntung, rentan dan terpinggirkan.

Dengan kata lain, segala ucapan dan tindak tanduk mereka sungguh-sungguh mencerminkan kepedulian dan perjuangannya hanya untuk rakyat.

Ringkasnya, pada saat-saat seperti itu rakyat menjadi ‘anak emas’, ‘pilihan utama’. Bagi mereka rakyat menjadi yang pertama dan utama dalam perjuangannya lepas dari kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok.

Dalam formula Konsili Vatikan II, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kaum miskin dan siapa saja yang menderita adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan mereka (bdk. GS. Art. 1).

Baca juga: Dibanding Puan Maharani, Peluang Ganjar Pranowo Lebih Besar Diusung PDIP Pada Pilpres 2024

Bila dibahasakan dalam rumusan etis-injili yang lebih radikal, seperti yang diucapkan Yesus (Nabi Isa) yang mengutip teks Nabi Yesaya, kira-kira demikian, “aku (baca: kaum elite) datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, membebaskan orang-orang yang tertindas.” (bdk. Luk. 4:18-19)

Sudah umum pula diketahui bahwa dalam kesempatan seperti itu, rakyat itu ibarat ‘gula’ yang selalu dikerubuti oleh semut (baca: elit dan/atau politisi). Ini bukan hanya dongeng tetapi fakta yang terjadi di negeri ini. Cerita dan fakta ini selalu berulang dalam setiap Pemilu dan Pilkada.

Namun setelah menempati kursi kekuasaan dan menikmati enaknya ‘keistimewaan’ sebagai ‘pejabat negara’, rakyat pun dilupakan. Mereka sibuk membagi-bagi ‘kue’ (proyek) bagi tim sukses.

‘Kue’ yang seharusnya dinikmati rakyat hanya tinggal janji kampanye.

Ditambah lagi dengan penegakan hukum yang belum maksimal, korupsi di pelbagai tingkatan dan dimensi kehidupan, kebangkitan oligarki despotik dan transaksional, kemerosotan tata kelola pemerintahan serta kehidupan partai yang tidak sehat (Azyumardi Asra, Kompas 18/3/2021). Dengan kata lain, retorika yang radikal itu cuma ditunjukkan di atas ‘mimbar’.

Kalau dihubungkan dengan demokrasi, kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai kemerosotan demokrasi (Azyumardi Asra, kompas 18/3/2021).

Lalu, apa yang dibuat?

Pertanyaan ini menuntun orang terutama pihak-pihak terkait (elite) untuk bukan hanya berpikir lebih serius tetapi jauh lebih penting adalah menerjemahkannya dalam langkah-langkah dan tindakan konkrit.

Alasan mereka menjadi fokus perhatian tulisan ini telah saya kemukakan di atas. Lagipula mereka telah diberi wewenang oleh konstitusi. Sebab konstitusi adalah bentuk konkrit dari kontrak sosial, demikian John Lock (1632-1704).

Ada pula kesan yang sangat kuat bahwa tulisan ini bermaksud menyudutkan mereka, mematikan karier mereka. Lalu saya dianggap sebagai pihak yang paling berkompeten dalam memberikan penilaian.

Saya harus mengakui bahwa kesan itu, di luar kapabilitas saya. Maksud tulisan ini lebih sebagai sebuah keprihatinan dan kegelisahan dengan melihat fakta-fakta seperti yang telah dipaparkan di atas.

Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah meningkatkan keadaban publik, ujar Azyumardi Asra. Keadaban publik, jelas Azyumardi Asra, yakni norma, standar atau ukuran sosial, budaya, dan agama tentang perilaku individu dan komunitas. Sebab keadaban publik adalah pemandu cara berpikir dan bertindak warga.

Keadaban publik harus dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang jelas yang mengikat seluruh warga. Dengan kata lain, keadaban publik adalah basis material, sedangkan hukum adalah basis formal.

Secara intrinsik, keadaban publik berada dalam satu garis lurus dengan pendidikan. Itulah sebabnya, ketika Sjahrir dan Hatta, pada waktu mendirikan partai politik, lebih memfokuskan perhatiannya pada pencerahan anggota dan warga melalui pendidikan politik. Dalam konteks ini, mereka sudah lebih dahulu berpikir melampaui zamannya.

Dengan kata lain, tindakan antisipatif sudah mulai dilakukan oleh Sjahrir dan Hatta. Tujuannya adalah agar orang tidak jatuh dalam pragmatisme politik.

Dengan demikian politik tidak direduksi dalam usaha merebut kekuasaan semata dengan menghalalkan segala cara.
Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah terciptanya kesejahteraan bersama. Politik adalah soal tata kelola hidup bersama yang lebih baik dan berperikemanusiaan.

Baca juga: Partai Ummat Tak Punya Pilihan Lain di Pilpres 2024 Selain Anies Baswedan, Begini Kata Benny Suharto

Hannah Arendt membahasakan politik sebagai seni mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun hidup bersama (Haryatmoko, 2003).

Pendidikan politik memungkinkan keadaban politik. Dalam bahasa Azyumardi Asra, keadaban politik adalah cara berperilaku dan bertindak sesuai norma politik seperti digariskan dalam sistem politik, regulasi politik, konvensi politik, dan political correctness.

Keadaban politik juga adalah perkara kepantasan, kepatutan, dan kelaziman sosial, budaya, dan agama yang berhubungan dengan perilaku dan tindakan politik individu, atau kelompok, dan partai politik.

Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: kalau kaum elite mampu dan dapat menunjukkan jati diri kemanusiaannya dengan melestarikan keadaban publik dan mematuhi hukum, niscaya para kawula (sebagai kelompok mayoritas, namun lemah) mengikuti. Sebab terdapat adagium yang mengatakan, ikan itu membusuk dimulai kepala.

(Penulis adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved