Opini

Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi

Setiap menjelang Pemilu, suhu politik di negeri tercinta ini mulai memanas. Ibarat memasuki musim kemarau. Iklim politik menjadi semakin ‘panas'.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Peran Elite Mematangkan Demokrasi. 

Arti yang mirip dapat ditemukan pula dalam catatan Wikipedia yang mengartikannya dengan amarah atau gangguan jiwa.

Amarah seorang fanatik diluapkan kepada mereka yang tidak memiliki pandangan yang sama dengannya.

Bagi kaum fanatik, memaksa orang lain untuk mengikuti pandangannya adalah hal yang lumrah. Dengan demikian mereka yang berbeda pandangan dianggap sebagai musuh. Kalau dilihat sebagai musuh artinya harus disingkirkan. Sebab musuh adalah lawan dari teman.

Bentuk ekstrem dari permusuhan adalah perang.

Baca juga: Anies Didorong Gandeng Mahfud MD di Pilpres 2024, Partai Demokrat Angkat Bicara: Itu Urusan Capres

Dalam terminus pertemanan terdapat dialog, diskusi, komunikasi yang aktif, saling melengkapi, saling menghidupkan dan saling menyelamatkan.

Model militan dalam pertemanan adalah damai. Meski berbeda pandangan, tapi tetap rukun.

Gambaran ini bertolak belakang dengan istilah permusuhan. Sebab yang ada hanyalah saling melenyapkan, membinasakan dan sejenisnya.

Dirumuskan dengan bahasa sederhana, permusuhan mematikan kritik, memupuk kebencian, menyimpan dendam.

Pertemanan memelihara kritik, merawat perdamaian, menjunjung kebebasan. Dalam pertemanan ada penghargaan.

Belajar pada Soekarno, Hatta, Sjahrir

Kisah pertemanan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lain pada zaman kemerdekaan dapat dijadikan rujukan.

Meski mereka berbeda pendapat, dan bahkan dalam hal tertentu perbedaan pendapat itu menjadi polemik hingga dimuat di surat kabar pada waktu itu, tetapi mereka tetap berteman. Sebab mereka adalah kawan seperjuangan.

Dalam buku “Sejarah Tokoh Bangsa” (Yanto Bashri & Retno Suffatni [ed.], 2004), dikisahkan Sjahrir, misalnya. Saat Sjahrir masih berada dalam tahanan karena dipenjara Soekarno di Keagungan, pada waktu lebaran, ia berpesan kepada Dr. Soedarsono, “Apa pun kritik kita kepada Soekarno, kita tidak boleh lupa bahwa dialah yang mepersatukan kita sebagai bangsa. Itulah jasanya.”

Ketika di antara para tahanan politik membicarakan bagaimana sikap mereka jika dipanggil ke istana, mereka bersikap tidak mau datang sebelum dibebaskan. Namun Sjarir berpendapat lain, “Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai Presiden saya.”

Kemudian kisah Soekarno dan Hatta (yang dijuluki dwitunggal) yang sering berbeda pandangan. Walau demikian perbedaan itu tidak merusak hubungan persahatan di antara keduanya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved