Opini

Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi

Setiap menjelang Pemilu, suhu politik di negeri tercinta ini mulai memanas. Ibarat memasuki musim kemarau. Iklim politik menjadi semakin ‘panas'.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Peran Elite Mematangkan Demokrasi. 

Oleh Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Setiap menjelang Pemilihan Umum, suhu politik di negeri tercinta ini mulai memanas. Ibarat memasuki musim kemarau. Iklim politik menjadi semakin ‘panas’ terutama pada masa kampanye.

'Panasnya’ pun berada di atas rerata ‘suhu normal’. Jika menggunakan analogi iklim di Indonesia yang hanya mengenal dua musim, maka deskripsi tersebut menemukan momentumnya yang tepat pada kondisi suhu di puncak musim kemarau.

‘Panas’ itu menggerahkan, membuat tidak nyaman.

Dikatakan menggerahkan karena ucapan yang ‘disemburkan’ dari mulut segerombolan elite sangat mengusik ‘akal sehat’. Terdapat kesan bahwa apa yang terucap itu tanpa melalui proses berpikir logis, rasional (baca: akal sehat), terlontar begitu saja secara spontan.

Sebab jika menggunakan metode (sistem) berpikir ‘akal sehat’, tentu juga akan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya termasuk risiko terburuk yang akan terjadi.

Padahal bila menelisik latar belakang pendidikannya, mereka memiliki gelar akademis yang mentereng dengan sejumlah pengalaman yang mumpuni pula di bidangnya masing-masing.

Bahkan beberapa gelar akademik berjejer apik di depan dan di belakang namanya. Gelar-gelar itu pun melahirkan decak kagum terutama di kalangan rakyat ‘kebanyakan’ yang cuma mengenyam pendidikan rendah.

Dengan demikian dapat dikatakan, mereka adalah kaum cendekiawan terdidik.

Baca juga: Hasil Survei Terbaru, Elektabilitas Prabowo Lewati Ganjar Pranowo

Deskripsi elite di sini mandapat afirmasi dalam definisi menurut KBBI yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok, (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb).

Dengan lebih menyoroti kaum elite dalam tulisan ini, bukan berarti kelompok rakyat jelata lepas dari atensi saya.

Argumentasinya adalah pertama, mereka acapkali tampil di ruang publik sambil berpetuah ria.

Kedua, apa yang mereka katakan kerapkali menjadi rujukan.

Ketiga, kumpulan elite ini walaupun sedikit, tapi cukup (bila tidak dikatakan sangat) memberi kontribusi besar bagi pengambil kebijakan yang menentukan nasib banyak orang.

Polarisasi dan Keterbelahan

Deskripsi tentang keterbelahan itu tampak dalam beberapa Pemilu yang sudah dilaksanakan. Yang paling menonjol adalah Pemilu 2019 yang hanya memunculkan dua kandidat yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Pada waktu itu, rakyat Indonesia benar-benar terbelah dalam dua kubu. Setiap kubu memberikan dukungan kepada jagoannya masing-masing. Bahkan dukungan itu diperlihatkan dalam sikap pembelaan yang berlebihan.

Akibatnya masing-masing kubu tergelincir dalam pertentangan dan perbedaan yang sangat tajam. Keterbelahan itu mandapatkan afirmasinya dalam terminus ‘kampret’ dan ‘cebong’.

Sebutan ‘kampret’ dialamatkan kepada pendukung Prabowo, sedangkan penyematan ‘cebong’ dikenakan pada simpatisan Jokowi (detik.com 17/12/2020).

Kondisi tersebut di atas ditemukan juga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dan Kepala Desa. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, misalnya, banyak berseliweran isu SARA, dan sejumlah kasus yang muncul pun berkaitan dengan SARA.

Menurut Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah Pilkada terburuk karena tidak mampu mengedepankan rasionalitas (Wikipedia).

Dampak lebih jauh dari pertentangan dan perbedaan itu adalah sikap permusuhan yang berujung pada saling menyingkirkan antarkubu.

Baca juga: Opini - Kepemimpinan Visioner

Upaya penyingkiran yang paling ekstrem ditampakkan dalam konflik antarpendukung. Dengan formula yang ekstrem, kedua belah pihak saling menyingkirkan, saling meniadakan, saling membinasakan.

Tindakan saling meniadakan ditunjukkan dalam aksi tawuran, pemblokiran jalan, pencegatan, pembakaran rumah, toko, kantor pemerintah, dan kendaraan bermotor.

Acapkali konflik tersebut menimbulkan kerugian materil maupun moril yang tidak sedikit.

Menurut catatan Kompas.com, konflik Pemilihan Kepala Daerah paling parah adalah yang terjadi di Kabupaten Yalimo, Papua. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang warga Yalimo mengungsi di Wamena dan sekitarnya (kompas.com 27/8/2021).

Fanatisme

Sikap para pendukung yang demikian dijustifikasi dalam terminologi fanatisme bila merujuk pada etimologinya. Sebab mereka terpesona, tergila-gila pada figur pilihannya.

Semua hal yang berkaitan dengan sosok pilihannya diamini begitu saja entah ucapan, perilaku, sikap maupun tindakannya, tanpa sikap kritis.

Kata fanatisme berasal dari bahasa Latin fānātĭcus yang artinya terpesona/terilhami oleh daya kedewaan, keranjingan, kerasukan, tergila-gila (Kamus Latin-Indonesia, Drs. K. Prent c. m, dkk, 1969).

Arti yang mirip dapat ditemukan pula dalam catatan Wikipedia yang mengartikannya dengan amarah atau gangguan jiwa.

Amarah seorang fanatik diluapkan kepada mereka yang tidak memiliki pandangan yang sama dengannya.

Bagi kaum fanatik, memaksa orang lain untuk mengikuti pandangannya adalah hal yang lumrah. Dengan demikian mereka yang berbeda pandangan dianggap sebagai musuh. Kalau dilihat sebagai musuh artinya harus disingkirkan. Sebab musuh adalah lawan dari teman.

Bentuk ekstrem dari permusuhan adalah perang.

Baca juga: Anies Didorong Gandeng Mahfud MD di Pilpres 2024, Partai Demokrat Angkat Bicara: Itu Urusan Capres

Dalam terminus pertemanan terdapat dialog, diskusi, komunikasi yang aktif, saling melengkapi, saling menghidupkan dan saling menyelamatkan.

Model militan dalam pertemanan adalah damai. Meski berbeda pandangan, tapi tetap rukun.

Gambaran ini bertolak belakang dengan istilah permusuhan. Sebab yang ada hanyalah saling melenyapkan, membinasakan dan sejenisnya.

Dirumuskan dengan bahasa sederhana, permusuhan mematikan kritik, memupuk kebencian, menyimpan dendam.

Pertemanan memelihara kritik, merawat perdamaian, menjunjung kebebasan. Dalam pertemanan ada penghargaan.

Belajar pada Soekarno, Hatta, Sjahrir

Kisah pertemanan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lain pada zaman kemerdekaan dapat dijadikan rujukan.

Meski mereka berbeda pendapat, dan bahkan dalam hal tertentu perbedaan pendapat itu menjadi polemik hingga dimuat di surat kabar pada waktu itu, tetapi mereka tetap berteman. Sebab mereka adalah kawan seperjuangan.

Dalam buku “Sejarah Tokoh Bangsa” (Yanto Bashri & Retno Suffatni [ed.], 2004), dikisahkan Sjahrir, misalnya. Saat Sjahrir masih berada dalam tahanan karena dipenjara Soekarno di Keagungan, pada waktu lebaran, ia berpesan kepada Dr. Soedarsono, “Apa pun kritik kita kepada Soekarno, kita tidak boleh lupa bahwa dialah yang mepersatukan kita sebagai bangsa. Itulah jasanya.”

Ketika di antara para tahanan politik membicarakan bagaimana sikap mereka jika dipanggil ke istana, mereka bersikap tidak mau datang sebelum dibebaskan. Namun Sjarir berpendapat lain, “Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai Presiden saya.”

Kemudian kisah Soekarno dan Hatta (yang dijuluki dwitunggal) yang sering berbeda pandangan. Walau demikian perbedaan itu tidak merusak hubungan persahatan di antara keduanya.

Dalam buku “Bung Karno The Untold Stories”, Bung Hatta mengunjungi Bung Karno di kala ia terbujur tak berdaya di tempat tidur. Melihat kondisi Bung Karno yang demikian, sambil menggenggam erat tangan Bung Karno, Bung Hatta pun tak kuasa menahan tangis.

Lima hari setelah kunjungan tersebut, Bung Karno pun pergi untuk selama-lamanya, demikian dikisahkan Rakhmat Nur Hakim (Kompas.com 18/6/2021).

Ini cuma sekadar cerita pertemanan yang berbeda pandangan tetapi tidak saling bermusuhan. Sikap demikian juga dapat ditemukan dalam diri Gus Dur. Dengan terus terang Gus Dur, dalam acara Kick Andy yang ditayang Metrotv, mengatakan, yang pantas jadi musuhnya cuma satu yaitu Soeharto. Akan tetapi Gus Dur tidak menganggap Soeharto sebagai musuh.

Deskripsi di atas dengan jelas mengatakan bahwa para tokoh bangsa walau berbeda pandangan, namun mereka saling berteman, saling melengkapi. Perbedaan pendapat di antara mereka dipandang sebagai cara menjernihkan pemikiran, memurnikan gagasan.

Bagi mereka, teman adalah kawan dalam pertengkaran ide. Sikap rasionalitas lebih diutamakan daripada sentimentalitas.

Kepandaian Beretorika

Jika dilihat dari setumpuk gelar akademis sebagian elit dengan berbagai jabatan keren yang sedang dan pernah dipegangnya, dapat dikatakan bahwa mereka memiliki kemampuan retorika yang tak dapat ditandingi oleh orang biasa-biasa saja.

Retorika yang demonstratif demikian tampak dalam penampilan mereka ketika berada di atas podium terlebih di masa-masa kampanye.

Ada pula yang mencoba meniru gaya Bung Karno yang dijuluki ‘singa podium’. Suara mereka sungguh melengking dan memekakkan telinga, dengan dimeriahkan lantunan merdu suara artis nasional disertai musik membahana terasa menghipnotis. Seolah dunia hanya milik mereka.

Dalam menggugah hati para pemilih demi meraih suara sebanyak mungkin, mereka pun dengan lantang menyatakan perang terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, memperjuangkan sistem birokrasi yang bersih, jujur, transparan dan akuntabel sesuai semangat reformasi.

Tak ketinggalan di setiap kegiatan kemasyarakatan, apa pun bentuknya, mereka berusaha meluangkan waktu dan berjuang agar bisa hadir. Lebih dari itu, mereka menyelenggarakan kegiatan amal melalui kegiatan pelayanan sosial di antaranya layanan pengobatan gratis, menyalurkan bantuan bagi korban bencana alam.

Cerita-cerita tersebut hendak memberi kesan bahwa mereka adalah pihak yang amat peduli terhadap nasib rakyat terutama mereka yang paling tidak beruntung, rentan dan terpinggirkan.

Dengan kata lain, segala ucapan dan tindak tanduk mereka sungguh-sungguh mencerminkan kepedulian dan perjuangannya hanya untuk rakyat.

Ringkasnya, pada saat-saat seperti itu rakyat menjadi ‘anak emas’, ‘pilihan utama’. Bagi mereka rakyat menjadi yang pertama dan utama dalam perjuangannya lepas dari kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok.

Dalam formula Konsili Vatikan II, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kaum miskin dan siapa saja yang menderita adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan mereka (bdk. GS. Art. 1).

Baca juga: Dibanding Puan Maharani, Peluang Ganjar Pranowo Lebih Besar Diusung PDIP Pada Pilpres 2024

Bila dibahasakan dalam rumusan etis-injili yang lebih radikal, seperti yang diucapkan Yesus (Nabi Isa) yang mengutip teks Nabi Yesaya, kira-kira demikian, “aku (baca: kaum elite) datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, membebaskan orang-orang yang tertindas.” (bdk. Luk. 4:18-19)

Sudah umum pula diketahui bahwa dalam kesempatan seperti itu, rakyat itu ibarat ‘gula’ yang selalu dikerubuti oleh semut (baca: elit dan/atau politisi). Ini bukan hanya dongeng tetapi fakta yang terjadi di negeri ini. Cerita dan fakta ini selalu berulang dalam setiap Pemilu dan Pilkada.

Namun setelah menempati kursi kekuasaan dan menikmati enaknya ‘keistimewaan’ sebagai ‘pejabat negara’, rakyat pun dilupakan. Mereka sibuk membagi-bagi ‘kue’ (proyek) bagi tim sukses.

‘Kue’ yang seharusnya dinikmati rakyat hanya tinggal janji kampanye.

Ditambah lagi dengan penegakan hukum yang belum maksimal, korupsi di pelbagai tingkatan dan dimensi kehidupan, kebangkitan oligarki despotik dan transaksional, kemerosotan tata kelola pemerintahan serta kehidupan partai yang tidak sehat (Azyumardi Asra, Kompas 18/3/2021). Dengan kata lain, retorika yang radikal itu cuma ditunjukkan di atas ‘mimbar’.

Kalau dihubungkan dengan demokrasi, kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai kemerosotan demokrasi (Azyumardi Asra, kompas 18/3/2021).

Lalu, apa yang dibuat?

Pertanyaan ini menuntun orang terutama pihak-pihak terkait (elite) untuk bukan hanya berpikir lebih serius tetapi jauh lebih penting adalah menerjemahkannya dalam langkah-langkah dan tindakan konkrit.

Alasan mereka menjadi fokus perhatian tulisan ini telah saya kemukakan di atas. Lagipula mereka telah diberi wewenang oleh konstitusi. Sebab konstitusi adalah bentuk konkrit dari kontrak sosial, demikian John Lock (1632-1704).

Ada pula kesan yang sangat kuat bahwa tulisan ini bermaksud menyudutkan mereka, mematikan karier mereka. Lalu saya dianggap sebagai pihak yang paling berkompeten dalam memberikan penilaian.

Saya harus mengakui bahwa kesan itu, di luar kapabilitas saya. Maksud tulisan ini lebih sebagai sebuah keprihatinan dan kegelisahan dengan melihat fakta-fakta seperti yang telah dipaparkan di atas.

Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah meningkatkan keadaban publik, ujar Azyumardi Asra. Keadaban publik, jelas Azyumardi Asra, yakni norma, standar atau ukuran sosial, budaya, dan agama tentang perilaku individu dan komunitas. Sebab keadaban publik adalah pemandu cara berpikir dan bertindak warga.

Keadaban publik harus dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang jelas yang mengikat seluruh warga. Dengan kata lain, keadaban publik adalah basis material, sedangkan hukum adalah basis formal.

Secara intrinsik, keadaban publik berada dalam satu garis lurus dengan pendidikan. Itulah sebabnya, ketika Sjahrir dan Hatta, pada waktu mendirikan partai politik, lebih memfokuskan perhatiannya pada pencerahan anggota dan warga melalui pendidikan politik. Dalam konteks ini, mereka sudah lebih dahulu berpikir melampaui zamannya.

Dengan kata lain, tindakan antisipatif sudah mulai dilakukan oleh Sjahrir dan Hatta. Tujuannya adalah agar orang tidak jatuh dalam pragmatisme politik.

Dengan demikian politik tidak direduksi dalam usaha merebut kekuasaan semata dengan menghalalkan segala cara.
Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah terciptanya kesejahteraan bersama. Politik adalah soal tata kelola hidup bersama yang lebih baik dan berperikemanusiaan.

Baca juga: Partai Ummat Tak Punya Pilihan Lain di Pilpres 2024 Selain Anies Baswedan, Begini Kata Benny Suharto

Hannah Arendt membahasakan politik sebagai seni mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun hidup bersama (Haryatmoko, 2003).

Pendidikan politik memungkinkan keadaban politik. Dalam bahasa Azyumardi Asra, keadaban politik adalah cara berperilaku dan bertindak sesuai norma politik seperti digariskan dalam sistem politik, regulasi politik, konvensi politik, dan political correctness.

Keadaban politik juga adalah perkara kepantasan, kepatutan, dan kelaziman sosial, budaya, dan agama yang berhubungan dengan perilaku dan tindakan politik individu, atau kelompok, dan partai politik.

Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: kalau kaum elite mampu dan dapat menunjukkan jati diri kemanusiaannya dengan melestarikan keadaban publik dan mematuhi hukum, niscaya para kawula (sebagai kelompok mayoritas, namun lemah) mengikuti. Sebab terdapat adagium yang mengatakan, ikan itu membusuk dimulai kepala.

(Penulis adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved