Opini

Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi

Setiap menjelang Pemilu, suhu politik di negeri tercinta ini mulai memanas. Ibarat memasuki musim kemarau. Iklim politik menjadi semakin ‘panas'.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Peran Elite Mematangkan Demokrasi. 

Deskripsi tentang keterbelahan itu tampak dalam beberapa Pemilu yang sudah dilaksanakan. Yang paling menonjol adalah Pemilu 2019 yang hanya memunculkan dua kandidat yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Pada waktu itu, rakyat Indonesia benar-benar terbelah dalam dua kubu. Setiap kubu memberikan dukungan kepada jagoannya masing-masing. Bahkan dukungan itu diperlihatkan dalam sikap pembelaan yang berlebihan.

Akibatnya masing-masing kubu tergelincir dalam pertentangan dan perbedaan yang sangat tajam. Keterbelahan itu mandapatkan afirmasinya dalam terminus ‘kampret’ dan ‘cebong’.

Sebutan ‘kampret’ dialamatkan kepada pendukung Prabowo, sedangkan penyematan ‘cebong’ dikenakan pada simpatisan Jokowi (detik.com 17/12/2020).

Kondisi tersebut di atas ditemukan juga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dan Kepala Desa. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, misalnya, banyak berseliweran isu SARA, dan sejumlah kasus yang muncul pun berkaitan dengan SARA.

Menurut Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah Pilkada terburuk karena tidak mampu mengedepankan rasionalitas (Wikipedia).

Dampak lebih jauh dari pertentangan dan perbedaan itu adalah sikap permusuhan yang berujung pada saling menyingkirkan antarkubu.

Baca juga: Opini - Kepemimpinan Visioner

Upaya penyingkiran yang paling ekstrem ditampakkan dalam konflik antarpendukung. Dengan formula yang ekstrem, kedua belah pihak saling menyingkirkan, saling meniadakan, saling membinasakan.

Tindakan saling meniadakan ditunjukkan dalam aksi tawuran, pemblokiran jalan, pencegatan, pembakaran rumah, toko, kantor pemerintah, dan kendaraan bermotor.

Acapkali konflik tersebut menimbulkan kerugian materil maupun moril yang tidak sedikit.

Menurut catatan Kompas.com, konflik Pemilihan Kepala Daerah paling parah adalah yang terjadi di Kabupaten Yalimo, Papua. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang warga Yalimo mengungsi di Wamena dan sekitarnya (kompas.com 27/8/2021).

Fanatisme

Sikap para pendukung yang demikian dijustifikasi dalam terminologi fanatisme bila merujuk pada etimologinya. Sebab mereka terpesona, tergila-gila pada figur pilihannya.

Semua hal yang berkaitan dengan sosok pilihannya diamini begitu saja entah ucapan, perilaku, sikap maupun tindakannya, tanpa sikap kritis.

Kata fanatisme berasal dari bahasa Latin fānātĭcus yang artinya terpesona/terilhami oleh daya kedewaan, keranjingan, kerasukan, tergila-gila (Kamus Latin-Indonesia, Drs. K. Prent c. m, dkk, 1969).

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved