Refleksi Teologis Devosi Maria
Devosi Kepada Maria, Tuan Ma di Larantuka, Flores Timur
DEVOSI kepada Perawan Suci Maria pada dasarnya sudah hidup, bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan umat beriman Kristiani dari dulu sampai sekarang.
Para misionaris yang telah menaburkan benih iman di berbagai tanah misi, termasuk di Larantuka (Flores Timur) 500-an tahun yang lalu tak pernah lupa mewartakan kebenaran iman gerejawi ini. Bagi para misionaris yang pernah berkarya di Larantuka (Dominikan, Jesuit, Serikat Sabda Allah, dll.), Allah yang mereka wartakan kepada umat adalah Dia yang telah memilih seorang makhluk ciptaan untuk menjadi jalan keselamatan bagi manusia. Dia telah menjadi Bunda dari semua orang yang mencari dan merindukan keselamatan melalui Putra-Nya. Dia adalah Perawan Suci Maria yang melalui Fiat-nya telah menyerahkan diri kepada Allah (bdk. Luk 1:26-38). Oleh karena ketaatannya, Allah berkenan menjadi manusia, lahir dari rahimnya yang suci, dan ia menjadi Bunda yang paling diberkati di antara segala wanita seperti yang diserukan oleh Elizabet (bdk. Luk 1:42). Ia menyebut dirinya sebagai pribadi yang dihormati dan dimuliakan oleh segala keturunan sebagai “yang berbahagia” (bdk. Luk 1:48).
Bagi umat Larantuka, pewartaan iman tentang siapakah Maria yang disampaikan oleh para misionaris, khususnya para misionaris Dominikan dalam sejarah misi mereka, telah melahirkan suatu sikap iman umat yang amat mendalam terhadapnya. Selain ia dihormati dan diimani sebagai Bunda Allah yang telah melahirkan Putra Ilahi, Yesus Kristus, Maria diyakini dan dialami pula sebagai seorang pribadi (Ibu) yang sangat dekat, peka, dan bersatu erat dengan hidup mereka. Dia juga adalah “Ibu rohani” mereka (bdk. Yoh 19:26-27) seperti yang ditegaskan oleh Uskup Larantuka, Mgr, Frans Kopong Kung, Pr (2002 - ). Devosi padanya tidak pernah terpisah dari kedekatan dan cinta mereka. Itulah sebabnya devosi yang dijalankan di Larantuka tak terpisah dari konteks pengalaman rohani umat beriman lokal yang telah menerima dan mengalami Maria sebagai «Ibu» yang memiliki peran besar dalam sejarah iman mereka.
Itulah sebabnya, sekalipun Maria yang dihormati di Larantuka dipersepsi pula sebagai “Ratu” (Reinha), namun ia hadir di tengah konteks kehidupan umat sebagai figur yang merakyat dan samasekali tidak bergaya feodalistik yang hanya melayani kepentingan para pemimpin (bdk. A. K. RITAN, 2015:87). Ratu yang merakyat ini diterima dan menyatu dengan kehidupan umat. Dalam dirinya terlukis suatu gambaran seorang pribadi yang setia menemani Putranya ke Kalvari, sebuah tempat di mana ia menyaksikan serta mengalami cinta yang mendalam dari Putranya, Yesus pada Bapa-Nya (bdk. Yoh 19:25-27; Phil 2:6-11).
Maria, yang diwartakan oleh para misionaris bagi umat Larantuka adalah seorang Bunda yang telah menerima Sang Sabda (Yesus) dalam rahimnya, melahirkan, memelihara dan mendidikNya sampai pada akhirnya turut merasakan betapa hebatnya penderitaan Putranya. Maria, “Tuan Ma” adalah Bunda Allah (Theotókos), seorang “Ma” (Mama/Ibu) yang turut mengalami penderitaan Putranya terkasih. Dari sebab itu, umat lokal memandang dan menyakininya sebagai Bunda yang berdukacita yang secara khas disapa sebagai “Tuan Ma” (Mater Dolorosa). Ini merupakan suatu sapaan yang paling menyentuh di hati umat setempat di samping sapaan lain sebagai Reinha Rosari yang juga memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan iman umat lokal.
Sejak penyerahan tongkat Kerajaan Larantuka oleh Raja Fransisco Ola Adobala Diaz Viera Godinho (1665) ke tangan Maria, mulai saat itu secara tradisi seorang Raja disebut sebagai servus Mariae (abadi Maria) (bdk. H. MONTEIRO, 2020:18). Ini berarti yang menjadi “Raja” atau “Ratu” dari Kerajaan Larantuka kala itu ialah Maria seperti yang dikatakan pula oleh keturunan raja, Don Martinus. Ketika seorang raja memberikan dirinya dipimpin oleh Maria, secara otomatis seluruh kerajaannya berada di bawah naungan dan perintah Maria.
Pola seperti ini memang kemudian diikuti oleh penyerahan Keuskupan Larantuka pada 1954 ke dalam bimbingan, perlindungan Maria, Reinha (Maria Protegente) sebagaimana yang dilakukan oleh Mgr, Gabriel Manek, SVD, uskup pertama Larantuka (1951-1961). Dengan tindakan penyerahan ini, maka Maria menjadi “Ratu” yang memimpin dan membimbing seluruh umat di Keuskupan Larantuka (bdk. E. JEBARUS, 2017:134).
Pola penyerahan diri pada Maria seperti ini memang bukan suatu praktik iman yang baru, sebab hal ini juga telah lama dihayati di mana-mana di dalam Gereja.
Maria, “Tuan Ma”: Kebanggaan dan Simbol Identitas
Kehadiran Maria, “Tuan Ma” yang diberi penghormatan khusus dalam tradisi Semana Santa bukan sekadar sebuah unsur tambahan pada iman Kristiani umat Larantuka, melainkan suatu kepastian. Kehadirannya di sana justru telah menjadi kebanggaan umat dan simbol identitas kekristenan Gereja lokal.
Berkenaan dengan ini, Mgr. Kherubim Parera, SVD, uskup emeritus (1985-2018) dalam homilinya pada perayaan 500 tahun Semana Santa menekankan aspek tersebut. Ia berkata: Tuan Ma telah menjadi kebanggaan umat Katolik di sini. Setiap Jumat Agung, kota Reinha penuh sesak dengan para peziarah, insan-insan beriman yang ingin merayakan misteri penderitaan Yesus bersama Tuan Ma atas dasar keyakinan “Dengan Cinta keibuannya, ia memperhatikan saudara-saudara dari Puternya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan” (LG no. 62). Dan sebagaimana bagi seluruh Gereja, demikian pula secara khusus bagi warga kota Reinha “Santa Perawan menyandang gelar pembela, pembantu, penolong dan pengantara” …. (B. TUKAN (ed.), 2020:37).
Sebagai Bunda Allah, “Tuan Ma” adalah figur yang sangat dihormati oleh umat lokal, ia dijunjung tinggi karena keutamaannya sebagai seorang “Bunda” (bdk. Yoh 2:3-5; Luk 1:39-45; Luk 2:19) dan imannya yang besar pada Allah (bdk. Luk 1:38; 1:46b-55). Dia juga telah menjadi “Tuan Ma” yang tidak hanya berhenti menemani ziarah Salib Putranya, tetapi juga secara luar biasa ikut mendampingi, memelihara seluruh umat Putranya sebagai seorang “Ibu Rohani” (bdk. Yoh 19:26-27). Dalam konteks ini Maria, “Tuan Ma” hadir sebagai “Ma -Mama” (Ibu) yang turut pula memelihara, menjaga dan melindungi umat Larantuka dan Gereja lokal dalam ziarah rohani mereka.
Dalam arti ini, sebutan Maria Protegente yang dinyatakan Mgr. Gabriel Manek, SVD pada wanita Nazaret ini pantas mendapat arti dan makna yang penting, baik bagi keuskupan lokal, maupun bagi Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR) yang ia dirikan. Maria tidak hanya telah menjadi Bunda Allah yang melahirkan ke tengah dunia seorang Putra yang terkasih, akan tetapi juga menjadi seorang “Tuan Ma” yang turut melihat, mengalami penderitaan Putranya dan ikut pula merasakan penderitaan putra-putrinya tersebut.
Akhir Kata
Berkat kesetiaan dan cinta yang besar pada Maria, “Tuan Ma” praktik devosional Marial yang dihidupi umat lokal tetap eksis sampai hari ini. Maria yang berdukacita yang direnungkan secara khusus umat di Larantuka pada hari-hari Semana Santa menurut hematku, di satu sisi menjadi titik permenungan bagi seluruh umat lokal dan para peziarah lainnya. Dukacita Maria menjadi dukacita mereka. Penghormatan terhadapnya yang dihayati dalam tradisi Semana Santa menunjukkan suatu sikap devosional Marial yang begitu mendalam dan penuh makna akan peran dan kehadiran Maria, “Tuan Ma” dalam ziarah hidup mereka.
Sebagai seorang Bunda yang baik dan amat dikasihi, umat terpanggil untuk belajar dari Maria, “Tuan Ma”. Satu hal yang pasti ialah bahwa mereka belajar mendekatkan diri pada Yesus (Tuan Ana) melalui Ibunya, “Tuan Ma”. Mereka juga dapat belajar menyerahkan suka-duka hidup padanya. Devosi yang mendalam pada Maria, “Tuan Ma”, pada akhirnya tidak hanya sekedar sebuah bentuk ulah kesalehan umat yang dilakukan demi pemuasan dahaga spiritual belaka, akan tetapi devosi tersebut mesti selalu mentransformasi hidup setiap orang dalam kehidupannya setiap hari sebagai umat Kristiani yang berkualitas.
Selamat Pekan Suci (Semana Santa) – Dari Portugal, April 2023
Fidel Wotan, SMM, Imam Montfortan Indonesia yang sedang Studi doktoral di Pontifica Teologica, “Marianum” – Roma
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.