Refleksi Teologis Devosi Maria

Devosi Kepada Maria, Tuan Ma di Larantuka, Flores Timur

DEVOSI kepada Perawan Suci Maria pada dasarnya sudah hidup, bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan umat beriman Kristiani dari dulu sampai sekarang.

|
Editor: Frans Krowin
POS-KUPANG.COM
Devosi kepada Bunda Maria, Tuan Ma di Flores Timur (Flotim). 

Dengan kata lain, kehadiran patung tersebut melampaui kategori benda mati yang bukan hanya dijadikan objek penghormatan secara fisik, melainkan telah menjadi sebuah ikon yang hidup. Patung itu telah menjadi gambaran sebuah identitas religiusitas masyarakat lokal yang merupakan harmonisasi antara religiusitas mereka sebagai orang Lamaholot dengan keyakinan baru yang diterima pasca pewartaan Injil oleh para misionaris asing (bdk. D. S. KELEN, 2018:146).

Sejak awal, patung “Tuan Ma” hanya diyakini sebagai objek sakral tanpa ada kaitannya dengan identitas keagamaan Katolik. Sesudah umat lokal menerima pewartaan Injil para misionaris Dominikan Portugis, kehadiran patung “Tuan Ma” kemudian dimengerti, diterima, dan diyakini umat setempat sebagai Ibunda Juruselamat.

Bagi umat Larantuka, “Tuan Ma” telah hidup dan menyatu dengan mereka. Ia telah masuk dan menetap di tengah-tengah kediaman umat dan menjadi bagian penting dari peziarahan iman mereka. Wajah sang Bunda yang tampak sedih (berduka) – selain menampakan kesedihan, kedukaan mendalam atas kematian Putranya – wajah “Tuan Ma” dalam arti tertentu merepresentasi aneka “wajah penderitaan” umat lokal dalam perjalanan sejarah hidup mereka.

Tentang ini, S. Kelen menulis: Wajah perempuan yang berduka seperti pada patung itu justeru merupakan bahasa kolektif tentang situasi penderitaan dan duka yang harus dialami masyarakat Lamaholot oleh karena berkecamuknya perang demi perang sepanjang sejarah hidup masyarakat Lamaholot (D. S. KELEN, 2018:151). Kehadiran “Tuan Ma” bagi umat Larantuka khususnya dan Flores Timur umumnya sebagai masyarakat Lamaholot merupakan berkat tersendiri.

Jikalau ditelusuri lebih jauh sebetulnya dengan adanya patung “Tuan Ma” yang ditemukan di pantai oleh seorang pemuda, Resiona pada 500 tahun lebih yang lalu, religiusitas masyarakat lokal (berbudaya Lamaholot) justru diperteguh, dipertajam atau dibaharui. Dari narasi sejarah diketahui bahwa patung itu dijadikan sebagai objek pemujaan masyarakat lokal kala itu jauh sebelum masuknya Agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris Portugis.

Setelah Injil diwartakan oleh para misionaris, umat lokal mulai menerima, mengakui serta membaharui keyakinan primitif mereka. Mereka percaya bahwa objek (patung) yang dihormati selama bertahun-tahun sebelum kedatangan misionaris Portugis sebagai benda sakral adalah Ibunda Yesus Kristus. Berdasarkan pemahaman dan kearifan lokal (Lamaholot), objek itu diyakini pula sebagai representasi dari kehadiran alam semesta yang terungkap dalam diri figur «wanita».  Figur «wanita» ini amat dihormati dalam sistem religi awal masyarakat Larantuka.

Secara kultural sebetulnya pandangan tentang penghormatan terhadap figur “wanita” yang dimaksud di sini tidak bisa terlepas pula dari konsep berpikir masyarakat Lamaholot yang lebih mengarah pada sisi feminitas. Dikatakan bahwa masyarakat Lamaholot mengakui diri sebagai keturunan dari seorang perempuan bernama Wato Wele. Kepada “wanita” ini mereka mesti memberikan penghormatan dalam ritusritus serta upeti atau persembahan. Menurut penjelasan A. Fernandez, Wato Wele menjadi tempat mereka menyampaikan segala persoalan dan kebutuhan hidup (A. FERNANDEZ, 2020: 94).

Dia yang dihormati dalam tradisi keagamaan lokal kemudian dikenal dan diterima, diimani sebagai pribadi yang sangat dihormati pula dalam Agama Katolik yang dianut oleh umat setempat. Jadi, dari catatan sejarah tentang “Tuan Ma” dikatakan bahwa kehadiran Maria dalam rupa patung “Tuan Ma” sangat cocok bagi alam pemikiran dan konsep religiusitas masyarakat Lamaholot.

Singkatnya, kehadirannya di tengah masyarakat Lamaholot dapat diterima karena selaras dengan alam pemikiran dan konsep mereka tentang figur “wanita” yang dihormati dalam kebudayaan mereka. Hanya saja ada satu hal yang patut dicatat bahwa kehadiran patung “Tuan Ma” tidak bisa dilihat sebagai pengganti peran “wanita” yang dihormati dalam kebudayaan Lamaholot tersebut.

Kehadiran “Tuan Ma” sebagai seorang “Ibu” yang telah diterima dan mendapat tempat di hati umat berkat pewartaan Injil sebelumnya, justru mentransformasi dan menyempurnakan religiusitas asli orang Larantuka akan peran seorang “wanita” (bdk. A. FERNANDEZ, 2020:94). Dalam hal ini, kehadiran Maria, “Tuan Ma” memainkan peran yang jauh lebih penting dalam mendatangkan dan melahirkan keselamatan yang hadir dalam diri Putranya, Yesus (Tuan Ana).

Keberadaan Maria, “Tuan Ma” menunjukkan suatu proses harmonisasi nilai-nilai budaya Lamaholot dengan nilai-nilai Agama Katolik. Pada poin ini, A. Fernandez dkk., mengatakan bahwa proses harmonisasi yang dimaksudkan tersebut merupakan proses penyetaraan ke-Lamaholot-an dan ke-Katolik-an dalam satu hal yang sama, yaitu tradisi “Tuan Ma”.

Dikatakan bahwa ini amat penting karena Tradisi Tuan Ma bukan hanya tradisi budaya semata ataupun tradisi religius semata. Akan tetapi, tradisi tersebut merupakan Tradisi Budaya Religius (A. FERNANDEZ – D. TIRTO – I. MALIK, 2021: 296). Ini artinya tradisi Semana Santa di Larantuka dengan “Tuan Ma” sebagai salah satu ikon, figur penting di samping “Tuan Ana”, Putranya, tidak hanya menjadi bagian dari suatu realitas budaya lokal, akan tetapi menjadi sebuah bagian utuh pula dari tradisi keagamaan.

Harmonisasi tersebut menurut para peneliti terintegrasi secara nyata dalam patung “Tuan Ma” itu sendiri dan dalam aneka ritus yang dijalankan pada hari-hari perayaan Semana Santa di Larantuka.

Devosi kepada Maria, Tuan Ma di Flores Timur oleh Fidel Wotan SMM
Devosi kepada Maria, Tuan Ma di Flores Timur oleh Fidel Wotan SMM (POS-KUPANG.COM)

“Tuan Ma” Berada di Tengah Bukan Sebagai Pusat

Keyakinan akan peran Maria sebagai Bunda Allah tetap diwarisi dan dihidupi umat Katolik di seluruh dunia. Kehadirannya di tengah-tengah Gereja memang selalu menjadi unsur penting, dia memang berada di tengah umat, namun bukan sebagai pusat keselamatan. Dengan demikian, ia bukanlah tujuannya, tetapi jalan yang dipakai Allah untuk berjumpa dengan manusia. Jalan yang sama ini juga dipakai oleh Gereja untuk berjumpa dan bersatu dengan-Nya.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved