Refleksi Teologis Devosi Maria
Devosi Kepada Maria, Tuan Ma di Larantuka, Flores Timur
DEVOSI kepada Perawan Suci Maria pada dasarnya sudah hidup, bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan umat beriman Kristiani dari dulu sampai sekarang.
Pengantar
DEVOSI kepada Perawan Suci Maria pada dasarnya sudah hidup, bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan umat beriman Kristiani dari dulu sampai sekarang. Apa yang disebut dengan praktik devosi (penghormatan) terhadap Maria dalam iman Katolik pada dasarnya merupakan elemen penting dalam kehidupan Gereja dan menjadi unsur hakiki bagi kehidupan umat beriman.
Namun, sebagai bagian dari suatu kesalehan umat (popular piety), praktik sebuah devosi samasekali tidak menggantikan peran utama liturgi, sebab bagaimana pun juga “liturgi” jauh lebih unggul dari segala bentuk doa Kristiani lainnya.
Ringkasnya, liturgi lebih bersifat “absolut”, sedangkan ulah kesalehan atau kesalehan umat bersifat “fakultatif” (bdk. Directory on Popular Piety and the Liturgy no. 11).
Dengan ini, sekalipun devosi kepada Maria bukanlah suatu keharusan, namun praktik ini amat membantu pertumbuhan iman seseorang. Dalam konteks ini, devosi kepada Maria bukanlah suatu kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan. Umat beriman sangat membutuhkannya untuk pertumbuhan iman mereka.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyajikan beberapa butir permenungan teologis tentang penghormatan umat Larantuka dan umat lainnya (para peziarah) terhadap figur Maria, “Tuan Ma” sebagaimana yang dihidupi umat lokal dalam tradisi Semana Santa.
Saya tidak bermaksud mengupas sejarah tradisi Semana Santa dan bagaimana itu dilaksanakan di Larantuka, Flores Timur atau bernarasi tentang sejarah munculnya “Tuan Ma” di sana, sebab tentang itu sudah ada banyak tulisan yang menyorotinya.
Apa yang disajikan dalam tulisan ini hanyalah sebuah refleksi teologis tentang praktik devosi kepada Maria yang dihormati di Larantuka. Devosi marial berciri Kristosentris Bagi Gereja Katolik, kehadiran Maria di tengah-tengah umat memainkan peran yang penting dan tak dapat diabaikan. Perannya itu secara biblis dapat ditemukan dan secara historis dapat diverifikasi (bdk. A. AMATO, 2011:342).
Siapa pun yang mengecualikan Maria dari kehidupannya sebagai umat Kristiani, itu sama artinya mengabaikan Allah dan rencana keselamatan-Nya (bdk. Yes 7:14; Luk 1:26-38; Gal 4:4-5). Atau seperti kata seorang kudus Prancis, Santo Louis de Montfort (1673-1716) bahwa tidak mungkin seorang Kristiani menyembah Kristus tanpa memberi penghormatan pada Maria, Bundanya.
Artinya, adalah suatu kebohongan, jikalau di satu pihak seorang pengikut Kristus mengimani-Nya secara mendalam sebagai Juruselamat, tetapi di pihak lain ia tidak memberi sedikit pun ruang atau penghormatan pada Ibu-Nya yang terkasih. Maria memang berada di tengah-tengah kehidupan iman Kristiani, namun dia bukanlah pusatnya, sebab yang menjadi pusat dari iman Kristiani ialah “Kristus”.
Dari sebab itu, devosi kepada Maria yang tidak berciri kristosentris (Kristus menjadi pusatnya) bukanlah devosi yang sejati. Jadi, devosi apapun bentuk dan modelnya yang tidak berpusat pada Kristus pantas dijauhi seperti kata Santo Montfort. Baginya, tak ada seorang pun yang menghormati Yesus, Putranya tanpa pada saat yang sama mengabaikan Maria, sebab ia melihat bahwa seorang yang melakukan penghormatan terhadap Maria semata-mata demi menghormati Putranya secara lebih sempurna (bdk. MONTFORT, BS 62, 94).
“Semana Santa”: suatu harmonisasi budaya dan agama Setiap tahun umat Larantuka mengadakan secara khusus praktik devosi Marial yang dihayati dalam tradisi Semana Santa (Indonesia: Pekan Suci). Setelah beberapa tahun hajatan keagamaan dan budaya ini dihentikan karena pandemi Covid-19, tradisi yang unik ini kembali dilaksanakan pada Pekan Suci 2023.
Tradisi ini dikenal luas sebagai sebuah warisan iman yang telah hidup, bertumbuh, dan berkembang secara luar biasa dalam perjalanan panjang hidup umat lokal. Pada poin ini, patutlah disyukuri bahwa melalui kehadiran Persaudaraan Awam (Confreria Reinha Rosari), kelompok Mama Muji dan para Suku Semana, serta peran Gereja Lokal, tradisi ini tetap diwariskan dan dipelihara dengan baik.
Sebagai sebuah warisan iman yang dibawa oleh para misionaris Dominikan Portugis dan sekaligus warisan budaya lokal, praktik devosi Marial yang dipraktikkan umat setempat sejatinya menampakkan suatu model iman tertentu. Penghormatan pada Maria, “Tuan Ma” (harafiah: Tuan dan Mama dan bisa diterjemahkan menjadi Bunda Tuhan) memang menunjukkan suatu fakta bahwa figur wanita Nazaret ini memiliki tempat yang istimewa di tengah kehidupan umat lokal.
Sebutan Maria, “Tuan Ma” hanya menjadi berarti apabila itu diakitkan dengan “Tuan Ana” yang adalah Putranya sendiri, sebab antara Yesus dan Maria Ibu-nya memiliki kesatuan yang erat dan tak terpisahkan. Kehadiran “Tuan Ma” bagi umat Larantuka khususnya dan umat Katolik di wilayah Keuskupan Larantuka pada hakikatnya bukan sekedar sebuah patung biasa, melainkan diyakini sebagai seorang pribadi yang hadir dalam kehidupan mereka.
Dengan kata lain, kehadiran patung tersebut melampaui kategori benda mati yang bukan hanya dijadikan objek penghormatan secara fisik, melainkan telah menjadi sebuah ikon yang hidup. Patung itu telah menjadi gambaran sebuah identitas religiusitas masyarakat lokal yang merupakan harmonisasi antara religiusitas mereka sebagai orang Lamaholot dengan keyakinan baru yang diterima pasca pewartaan Injil oleh para misionaris asing (bdk. D. S. KELEN, 2018:146).
Sejak awal, patung “Tuan Ma” hanya diyakini sebagai objek sakral tanpa ada kaitannya dengan identitas keagamaan Katolik. Sesudah umat lokal menerima pewartaan Injil para misionaris Dominikan Portugis, kehadiran patung “Tuan Ma” kemudian dimengerti, diterima, dan diyakini umat setempat sebagai Ibunda Juruselamat.
Bagi umat Larantuka, “Tuan Ma” telah hidup dan menyatu dengan mereka. Ia telah masuk dan menetap di tengah-tengah kediaman umat dan menjadi bagian penting dari peziarahan iman mereka. Wajah sang Bunda yang tampak sedih (berduka) – selain menampakan kesedihan, kedukaan mendalam atas kematian Putranya – wajah “Tuan Ma” dalam arti tertentu merepresentasi aneka “wajah penderitaan” umat lokal dalam perjalanan sejarah hidup mereka.
Tentang ini, S. Kelen menulis: Wajah perempuan yang berduka seperti pada patung itu justeru merupakan bahasa kolektif tentang situasi penderitaan dan duka yang harus dialami masyarakat Lamaholot oleh karena berkecamuknya perang demi perang sepanjang sejarah hidup masyarakat Lamaholot (D. S. KELEN, 2018:151). Kehadiran “Tuan Ma” bagi umat Larantuka khususnya dan Flores Timur umumnya sebagai masyarakat Lamaholot merupakan berkat tersendiri.
Jikalau ditelusuri lebih jauh sebetulnya dengan adanya patung “Tuan Ma” yang ditemukan di pantai oleh seorang pemuda, Resiona pada 500 tahun lebih yang lalu, religiusitas masyarakat lokal (berbudaya Lamaholot) justru diperteguh, dipertajam atau dibaharui. Dari narasi sejarah diketahui bahwa patung itu dijadikan sebagai objek pemujaan masyarakat lokal kala itu jauh sebelum masuknya Agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris Portugis.
Setelah Injil diwartakan oleh para misionaris, umat lokal mulai menerima, mengakui serta membaharui keyakinan primitif mereka. Mereka percaya bahwa objek (patung) yang dihormati selama bertahun-tahun sebelum kedatangan misionaris Portugis sebagai benda sakral adalah Ibunda Yesus Kristus. Berdasarkan pemahaman dan kearifan lokal (Lamaholot), objek itu diyakini pula sebagai representasi dari kehadiran alam semesta yang terungkap dalam diri figur «wanita». Figur «wanita» ini amat dihormati dalam sistem religi awal masyarakat Larantuka.
Secara kultural sebetulnya pandangan tentang penghormatan terhadap figur “wanita” yang dimaksud di sini tidak bisa terlepas pula dari konsep berpikir masyarakat Lamaholot yang lebih mengarah pada sisi feminitas. Dikatakan bahwa masyarakat Lamaholot mengakui diri sebagai keturunan dari seorang perempuan bernama Wato Wele. Kepada “wanita” ini mereka mesti memberikan penghormatan dalam ritusritus serta upeti atau persembahan. Menurut penjelasan A. Fernandez, Wato Wele menjadi tempat mereka menyampaikan segala persoalan dan kebutuhan hidup (A. FERNANDEZ, 2020: 94).
Dia yang dihormati dalam tradisi keagamaan lokal kemudian dikenal dan diterima, diimani sebagai pribadi yang sangat dihormati pula dalam Agama Katolik yang dianut oleh umat setempat. Jadi, dari catatan sejarah tentang “Tuan Ma” dikatakan bahwa kehadiran Maria dalam rupa patung “Tuan Ma” sangat cocok bagi alam pemikiran dan konsep religiusitas masyarakat Lamaholot.
Singkatnya, kehadirannya di tengah masyarakat Lamaholot dapat diterima karena selaras dengan alam pemikiran dan konsep mereka tentang figur “wanita” yang dihormati dalam kebudayaan mereka. Hanya saja ada satu hal yang patut dicatat bahwa kehadiran patung “Tuan Ma” tidak bisa dilihat sebagai pengganti peran “wanita” yang dihormati dalam kebudayaan Lamaholot tersebut.
Kehadiran “Tuan Ma” sebagai seorang “Ibu” yang telah diterima dan mendapat tempat di hati umat berkat pewartaan Injil sebelumnya, justru mentransformasi dan menyempurnakan religiusitas asli orang Larantuka akan peran seorang “wanita” (bdk. A. FERNANDEZ, 2020:94). Dalam hal ini, kehadiran Maria, “Tuan Ma” memainkan peran yang jauh lebih penting dalam mendatangkan dan melahirkan keselamatan yang hadir dalam diri Putranya, Yesus (Tuan Ana).
Keberadaan Maria, “Tuan Ma” menunjukkan suatu proses harmonisasi nilai-nilai budaya Lamaholot dengan nilai-nilai Agama Katolik. Pada poin ini, A. Fernandez dkk., mengatakan bahwa proses harmonisasi yang dimaksudkan tersebut merupakan proses penyetaraan ke-Lamaholot-an dan ke-Katolik-an dalam satu hal yang sama, yaitu tradisi “Tuan Ma”.
Dikatakan bahwa ini amat penting karena Tradisi Tuan Ma bukan hanya tradisi budaya semata ataupun tradisi religius semata. Akan tetapi, tradisi tersebut merupakan Tradisi Budaya Religius (A. FERNANDEZ – D. TIRTO – I. MALIK, 2021: 296). Ini artinya tradisi Semana Santa di Larantuka dengan “Tuan Ma” sebagai salah satu ikon, figur penting di samping “Tuan Ana”, Putranya, tidak hanya menjadi bagian dari suatu realitas budaya lokal, akan tetapi menjadi sebuah bagian utuh pula dari tradisi keagamaan.
Harmonisasi tersebut menurut para peneliti terintegrasi secara nyata dalam patung “Tuan Ma” itu sendiri dan dalam aneka ritus yang dijalankan pada hari-hari perayaan Semana Santa di Larantuka.

“Tuan Ma” Berada di Tengah Bukan Sebagai Pusat
Keyakinan akan peran Maria sebagai Bunda Allah tetap diwarisi dan dihidupi umat Katolik di seluruh dunia. Kehadirannya di tengah-tengah Gereja memang selalu menjadi unsur penting, dia memang berada di tengah umat, namun bukan sebagai pusat keselamatan. Dengan demikian, ia bukanlah tujuannya, tetapi jalan yang dipakai Allah untuk berjumpa dengan manusia. Jalan yang sama ini juga dipakai oleh Gereja untuk berjumpa dan bersatu dengan-Nya.
Para misionaris yang telah menaburkan benih iman di berbagai tanah misi, termasuk di Larantuka (Flores Timur) 500-an tahun yang lalu tak pernah lupa mewartakan kebenaran iman gerejawi ini. Bagi para misionaris yang pernah berkarya di Larantuka (Dominikan, Jesuit, Serikat Sabda Allah, dll.), Allah yang mereka wartakan kepada umat adalah Dia yang telah memilih seorang makhluk ciptaan untuk menjadi jalan keselamatan bagi manusia. Dia telah menjadi Bunda dari semua orang yang mencari dan merindukan keselamatan melalui Putra-Nya. Dia adalah Perawan Suci Maria yang melalui Fiat-nya telah menyerahkan diri kepada Allah (bdk. Luk 1:26-38). Oleh karena ketaatannya, Allah berkenan menjadi manusia, lahir dari rahimnya yang suci, dan ia menjadi Bunda yang paling diberkati di antara segala wanita seperti yang diserukan oleh Elizabet (bdk. Luk 1:42). Ia menyebut dirinya sebagai pribadi yang dihormati dan dimuliakan oleh segala keturunan sebagai “yang berbahagia” (bdk. Luk 1:48).
Bagi umat Larantuka, pewartaan iman tentang siapakah Maria yang disampaikan oleh para misionaris, khususnya para misionaris Dominikan dalam sejarah misi mereka, telah melahirkan suatu sikap iman umat yang amat mendalam terhadapnya. Selain ia dihormati dan diimani sebagai Bunda Allah yang telah melahirkan Putra Ilahi, Yesus Kristus, Maria diyakini dan dialami pula sebagai seorang pribadi (Ibu) yang sangat dekat, peka, dan bersatu erat dengan hidup mereka. Dia juga adalah “Ibu rohani” mereka (bdk. Yoh 19:26-27) seperti yang ditegaskan oleh Uskup Larantuka, Mgr, Frans Kopong Kung, Pr (2002 - ). Devosi padanya tidak pernah terpisah dari kedekatan dan cinta mereka. Itulah sebabnya devosi yang dijalankan di Larantuka tak terpisah dari konteks pengalaman rohani umat beriman lokal yang telah menerima dan mengalami Maria sebagai «Ibu» yang memiliki peran besar dalam sejarah iman mereka.
Itulah sebabnya, sekalipun Maria yang dihormati di Larantuka dipersepsi pula sebagai “Ratu” (Reinha), namun ia hadir di tengah konteks kehidupan umat sebagai figur yang merakyat dan samasekali tidak bergaya feodalistik yang hanya melayani kepentingan para pemimpin (bdk. A. K. RITAN, 2015:87). Ratu yang merakyat ini diterima dan menyatu dengan kehidupan umat. Dalam dirinya terlukis suatu gambaran seorang pribadi yang setia menemani Putranya ke Kalvari, sebuah tempat di mana ia menyaksikan serta mengalami cinta yang mendalam dari Putranya, Yesus pada Bapa-Nya (bdk. Yoh 19:25-27; Phil 2:6-11).
Maria, yang diwartakan oleh para misionaris bagi umat Larantuka adalah seorang Bunda yang telah menerima Sang Sabda (Yesus) dalam rahimnya, melahirkan, memelihara dan mendidikNya sampai pada akhirnya turut merasakan betapa hebatnya penderitaan Putranya. Maria, “Tuan Ma” adalah Bunda Allah (Theotókos), seorang “Ma” (Mama/Ibu) yang turut mengalami penderitaan Putranya terkasih. Dari sebab itu, umat lokal memandang dan menyakininya sebagai Bunda yang berdukacita yang secara khas disapa sebagai “Tuan Ma” (Mater Dolorosa). Ini merupakan suatu sapaan yang paling menyentuh di hati umat setempat di samping sapaan lain sebagai Reinha Rosari yang juga memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan iman umat lokal.
Sejak penyerahan tongkat Kerajaan Larantuka oleh Raja Fransisco Ola Adobala Diaz Viera Godinho (1665) ke tangan Maria, mulai saat itu secara tradisi seorang Raja disebut sebagai servus Mariae (abadi Maria) (bdk. H. MONTEIRO, 2020:18). Ini berarti yang menjadi “Raja” atau “Ratu” dari Kerajaan Larantuka kala itu ialah Maria seperti yang dikatakan pula oleh keturunan raja, Don Martinus. Ketika seorang raja memberikan dirinya dipimpin oleh Maria, secara otomatis seluruh kerajaannya berada di bawah naungan dan perintah Maria.
Pola seperti ini memang kemudian diikuti oleh penyerahan Keuskupan Larantuka pada 1954 ke dalam bimbingan, perlindungan Maria, Reinha (Maria Protegente) sebagaimana yang dilakukan oleh Mgr, Gabriel Manek, SVD, uskup pertama Larantuka (1951-1961). Dengan tindakan penyerahan ini, maka Maria menjadi “Ratu” yang memimpin dan membimbing seluruh umat di Keuskupan Larantuka (bdk. E. JEBARUS, 2017:134).
Pola penyerahan diri pada Maria seperti ini memang bukan suatu praktik iman yang baru, sebab hal ini juga telah lama dihayati di mana-mana di dalam Gereja.
Maria, “Tuan Ma”: Kebanggaan dan Simbol Identitas
Kehadiran Maria, “Tuan Ma” yang diberi penghormatan khusus dalam tradisi Semana Santa bukan sekadar sebuah unsur tambahan pada iman Kristiani umat Larantuka, melainkan suatu kepastian. Kehadirannya di sana justru telah menjadi kebanggaan umat dan simbol identitas kekristenan Gereja lokal.
Berkenaan dengan ini, Mgr. Kherubim Parera, SVD, uskup emeritus (1985-2018) dalam homilinya pada perayaan 500 tahun Semana Santa menekankan aspek tersebut. Ia berkata: Tuan Ma telah menjadi kebanggaan umat Katolik di sini. Setiap Jumat Agung, kota Reinha penuh sesak dengan para peziarah, insan-insan beriman yang ingin merayakan misteri penderitaan Yesus bersama Tuan Ma atas dasar keyakinan “Dengan Cinta keibuannya, ia memperhatikan saudara-saudara dari Puternya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan” (LG no. 62). Dan sebagaimana bagi seluruh Gereja, demikian pula secara khusus bagi warga kota Reinha “Santa Perawan menyandang gelar pembela, pembantu, penolong dan pengantara” …. (B. TUKAN (ed.), 2020:37).
Sebagai Bunda Allah, “Tuan Ma” adalah figur yang sangat dihormati oleh umat lokal, ia dijunjung tinggi karena keutamaannya sebagai seorang “Bunda” (bdk. Yoh 2:3-5; Luk 1:39-45; Luk 2:19) dan imannya yang besar pada Allah (bdk. Luk 1:38; 1:46b-55). Dia juga telah menjadi “Tuan Ma” yang tidak hanya berhenti menemani ziarah Salib Putranya, tetapi juga secara luar biasa ikut mendampingi, memelihara seluruh umat Putranya sebagai seorang “Ibu Rohani” (bdk. Yoh 19:26-27). Dalam konteks ini Maria, “Tuan Ma” hadir sebagai “Ma -Mama” (Ibu) yang turut pula memelihara, menjaga dan melindungi umat Larantuka dan Gereja lokal dalam ziarah rohani mereka.
Dalam arti ini, sebutan Maria Protegente yang dinyatakan Mgr. Gabriel Manek, SVD pada wanita Nazaret ini pantas mendapat arti dan makna yang penting, baik bagi keuskupan lokal, maupun bagi Kongregasi Puteri Reinha Rosari (PRR) yang ia dirikan. Maria tidak hanya telah menjadi Bunda Allah yang melahirkan ke tengah dunia seorang Putra yang terkasih, akan tetapi juga menjadi seorang “Tuan Ma” yang turut melihat, mengalami penderitaan Putranya dan ikut pula merasakan penderitaan putra-putrinya tersebut.
Akhir Kata
Berkat kesetiaan dan cinta yang besar pada Maria, “Tuan Ma” praktik devosional Marial yang dihidupi umat lokal tetap eksis sampai hari ini. Maria yang berdukacita yang direnungkan secara khusus umat di Larantuka pada hari-hari Semana Santa menurut hematku, di satu sisi menjadi titik permenungan bagi seluruh umat lokal dan para peziarah lainnya. Dukacita Maria menjadi dukacita mereka. Penghormatan terhadapnya yang dihayati dalam tradisi Semana Santa menunjukkan suatu sikap devosional Marial yang begitu mendalam dan penuh makna akan peran dan kehadiran Maria, “Tuan Ma” dalam ziarah hidup mereka.
Sebagai seorang Bunda yang baik dan amat dikasihi, umat terpanggil untuk belajar dari Maria, “Tuan Ma”. Satu hal yang pasti ialah bahwa mereka belajar mendekatkan diri pada Yesus (Tuan Ana) melalui Ibunya, “Tuan Ma”. Mereka juga dapat belajar menyerahkan suka-duka hidup padanya. Devosi yang mendalam pada Maria, “Tuan Ma”, pada akhirnya tidak hanya sekedar sebuah bentuk ulah kesalehan umat yang dilakukan demi pemuasan dahaga spiritual belaka, akan tetapi devosi tersebut mesti selalu mentransformasi hidup setiap orang dalam kehidupannya setiap hari sebagai umat Kristiani yang berkualitas.
Selamat Pekan Suci (Semana Santa) – Dari Portugal, April 2023
Fidel Wotan, SMM, Imam Montfortan Indonesia yang sedang Studi doktoral di Pontifica Teologica, “Marianum” – Roma
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.