Berita Lembata
Puluhan Tahun Pakai Pestisida Kimia, Petani di Wuakerong Lembata Kini Terapkan Pertanian Organik
Pestisida itu pertama kali dia beli di toko. Setelah itu dia sering mendapat pestisida dan pupuk kimia dari pemerintah daerah.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Yohanes Osias sudah tak ingat lagi sejak kapan dia memakai racun pestisida kimia untuk memusnahkan hama dan rumput di pematang kebunnya di Desa Wuakerong, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata.
Tetapi, petani berusia 58 tahun ini memperkirakan mulai memakai pestisida kimia sejak tahun 2000 atau dua dasawarsa yang lalu.
Pestisida itu pertama kali dia beli di toko. Setelah itu dia sering mendapat pestisida dan pupuk kimia dari pemerintah daerah.
Baca juga: Tidak Perlu Pakai Pestisida Kimia, Daun Mimba danTanaman Serai Bisa Kendalikan Hama di Lembata
Satu-satunya alasan dia menggunakan racun adalah efek instannya. Racun pestisida mempu mematikan rumput dan hama dalam waktu singkat. Yohanes rupanya tidak menyadari dampak buruk penggunaan pestisida kimia yang berlebihan bagi keberlangsungan lingkungan dan produksi pertanian.
“Selama ini saya tidak tahu (dampak buruk dari pestisida kimia), jadi saya semprot saja,” ujar Osias saat ditemui di kebun demplot program INCIDENT Catholic Relief Services (CRS) dan LSM Barakat di desa Riabao, Kecamatan Nagawutung, Sabtu, 25 Maret 2023.
Osias baru benar-benar sadar bahaya dari pestisida kimia saat mendapat pendampingan dari CRS dan LSM Barakat melalui program INCIDENT.
Baca juga: Satu Keluarga Tewas di Bekasi Korban Pembunuhan, Racun Pestisida Dimasukkan ke Dalam Kopi
Bukan hanya pestisida kimia sebenarnya. Osias juga baru tahu kalau bibit jagung hibrida yang sudah sejak lama dia tanam, hanya cocok untuk pakan ternak. Bukan untuk dikonsumsi manusia.
“Mendapat bimbingan dari CRS dan LSM Barakat ini sudah menyadarkan kami khususnya untuk saya pribadi, bahwa pestisida kimia itu bahaya sekali. Saya tinggalkan pestisida mulai musim tanam tahun ini,” paparnya.
Dia berkomitmen menerapkan pola pertanian yang lebih ramah lingkungan sebagaimana yang sudah diajarkan oleh CRS dan LSM Barakat.
“Saya baru sadar, sangat sadar kalau dengan pestisida itu kan cacing dan binatang musuh alami lainnya itu mati. Sehingga jagung ini benar benar hidup hanya dengan bantuan pupuk kimia dari pemerintah saja yang juga merusak tanah,” Osias mengakui.
Penggunaan pestisida juga berpengaruh pada menurunnya hasil produksi pertanian beberapa tahun terakhir. Osias sudah melihat fenomena ini dan menyatakan dengan tegas menolak menggunakan zat-zat kimia yang merusak ekosistem di sekitar.
Pengakuan yang sama juga berasal dari petani asal desa Riabao, Andreas Ope Odung (61) yang sudah memakai pestisida kimia sejak tahun 1994. Racun pestisida itu awalnya dibeli sendiri di toko. Alasannya seperti Osias, racun pestisida lebih cepat basmi hama dan mematikan rumput.
Baca juga: Pemda Lembata Perlu Rancang Pertanian Organik Bebas Residu Pestisida
Kini dia sudah beralih ke bahan-bahan organik. Tidak lagi memakai racun kimia. Andreas bahkan dipilih oleh CRS dan LSM Barakat sebagai Lead Farmer dalam program INCIDENT yang gencar mengkampanyekan isu perubahan iklim.
“Ketika ikut program ini, saya baru sadar (pestisida kimia) itu buruk dan berbahaya. Sekarang saya pakai pola konservasi dengan prinsip dasar mengolah tanah seringan-ringannya dengan bahan-bahan organik. Sekarang saya sedang kampanyekan ini,” pungkas Andreas.
Dalam pelatihan pengolahan pupuk organik di kebun demplot di desa Riabao, peneliti Piter Pulang dan para fasilitator dari CRS dan LSM Barakat menunjukkan secara langsung bahaya penggunaan pestisida kimia bagi tanah dan tumbuhan.
Baca juga: Balitbangda Sumba Timur Sarankan Pengendalian Belalang Kembara Gunakan Pestisida Nabati
Pada salah satu sesi, mereka menyiapkan alat peraga bola lampu yang sudah dialiri listrik, dan sampel cairan tanaman gamal, kelor, urin manusia, abu dapur, lamtoro, kotoran sapi, tanah kebun dan tanah pematang.
Semua cairan sampel organik itu diisi di dalam gelas minuman kemasan. Kemudian, ujung kawat positif negatif bola lampu dimasukkan ke dalam masing-masing cairan tersebut. Para petani langsung melihat pada cairan yang mana bola lampunya menyala paling terang dan redup atau tidak menyala sama sekali. Pada dua sampel yakni tanah kebun dan tanah pematang, bola lampu sama sekali tak bernyala.
Piter Pulang menjelaskan, tanah yang baik harus selalu mengandung unsur Nitrogen, Fosfor dan Kalium.
Nitrogen penting untuk pertumbuhan batang dan daun, Fosfor merangsang pertumbuhan akar, bunga, buah dan biji, Kalium menambah daya tahan tanaman pada hama dan penyakit. Pada percobaan itu, cairan yang bisa sebabkan lampu bernyala berarti punya ketiga unsur tadi.
Baca juga: Panganan Rumput Laut Desa Wuakerong Lembata Makin Dikenal, Pesanan Mulai Berdatangan Dari Luar Pulau
“Kenapa pada sampel cairan tanah kebun dan pematang lampunya redup atau tidak menyala sama sekali? Karena, tanah ini tidak ada unsur Nitrogen, Fosfor dan Kalium sama sekali. Kalau, karbon (kutub positif) saja dia tidak nyala karena bahan negatifnya (NPK) sudah tidak ada. Ini yang biasa disebut ikatan ionik,” papar Piter di hadapan para petani.
Aliran listrik hanya mengaktifkan karbon positif dan negatif. Tapi dalam sampel tanah kebun, unsur negatifnya (nitrogen, fosfor dan kalium) sudah tidak ada lagi.
Artinya tanah kebun itu sudah kering total, tidak ada lagi bakteri yang bisa menguraikan bahan-bahan nitrogen, fosfor dan kalium. Alasannya, zat pestisida kimia sudah terlalu banyak terkandung dalam tanah.
Untuk memulihkan kembali tanah yang sudah sangat tercemar pestisida, CRS dan LSM Barakat mengajak petani untuk menjaga humus dan air tetap terjaga di dalam kebun.
“Prinsipnya air dan humus tidak boleh keluar dari kebun,” pesan Piter. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.