Opini
Opini Ovan Baylon: Hacker dan Kolonialisasi Digital
Di era disrupsi digital, manusia mengalami ambivalensi ketika titik tertentu bergelut di dalam jagat digital, yakni antara optimis dan pesimis.
POS-KUPANG.COM - Di era disrupsi digital, manusia mengalami ambivalensi ketika titik tertentu bergelut di dalam jagat digital, yakni antara optimis dan pesimis.
Manusia semacam terkondisi dalam suatu dikotomi. Sebab, di satu sisi, manusia dijayakan oleh beragam platform-platform digital seperti Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya sehingga ia merasa terhibur dan terbantu karena hanya dengan memerankan jarinya untuk bekerja.
Di sisi lain, manusia merasa terkolonialisaai (terjajah) oleh sesama anggotanya, yakni para pengguna platform digital lainnya, salah satunya pembajak/peretas (Hacker) sehingga menimbulkan beragam perasaan emosional, seperti marah, sedih, kecewa dan huru-hara sehingga pada akhirnya ia merasa tidak nyaman.
Sisi yang kedua menyiratkan bahwa relasi antara sesama pengguna di dalam dunia digital tengah mengalami situasi yang chaos, yakni pengguna yang satu menyerang pengguna yang lain sehingga pada titik tertentu pihak penyerang ( hacker ) merasa menang karena dilatarbelakangi pengetahuan yang mahir, sedangkan pihak yang diserang akan terkalah dan menjadi korban yang terus dieksekusi.
Dengan situasi tersebut, dunia digital seolah menyediakan ruang bagi siapa saja untuk bertingkah liberal sehingga menjadi dalih bagi pihak dominan termasuk para hacker untuk mengobjektifikasi pihak lain sebagai objek yang dijajah.
Baca juga: Mahfud MD Akui Data Negara Dibocorkan Bjorka, Pemerintah Lakukan Emergency Response
Hacker dan Kolonialisasi Digital
Sepertinya sangat optimis ketika hacker diklaim sebagai kolonialis karena pada dasarnya karakteristiknya ialah merampas, membajak dan meretas akun milik pengguna lain sehingga menciptakan ketidaknyamanan bagi korban.
Disebut penjajah karena merupakan cerminan dari tindakan para kolonialis pada umumnya yang merenggut korban tanpa mempertimbangkan sisi moralitas.
Penjajah cenderung merelativisasi tindakannya atau terlepas dari penilain moral. Selain itu, karakteristik korban penjajahan biasanya identik dengan sikap korban yang pasrah terhadap keadaan. Ciri korban seperti ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat biasa.
Terbentuknya kata kolonialisme itu sendiri sebenarnya berangkat dari catatan historis ketika terjadi pertimpangan antara beberapa negara dunia, dimana negara dominan menguasai negara yang dianggap kurang stabil dalam menata kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk Indonesia.
Pada masa itu, karakteristik negara kolonialis identik dengan sikap jumawa yang terlalu menganggap diri sebagai tuan atas yang lain. Negara yang dijajah hanya mampu bersikap pasrah kendati tetap berupaya agar terbebas dari belenggu jajahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, praktik kolonialisasi semacam dihidupkan kembali di abad ke-21 ini yang ditopang oleh kemajuan teknologi digital. Dunia digital seolah menghidupkan kembali praktik kolonial yang semestinya telah terhanyut dalam kenyataan sejarah.
Klaim ini terkonfirmasi ketika ruang digital sebagai produk teknologi digital tengah berada dalam situasi yang menggemparkan karena diramaikan dengan sikap para hacker yang terlalu dominan, yakni merampas secara massif atas hak akun milik orang lain.
Baca juga: Hacker Bjorka Telah Teridentifikasi, Kini Menko Polhukam Kantongi Motif dan Alasan Pelaku
Praktik kolonialisasi digital artinya proses penjajahan yang termanifestasi melalui jagat digital dan hacker diklaim sebagai salah satu aktor utamanya. Kolonialisasi digital (maya) berbeda dengan penjajahan yang terjadi dalam dunia presen (nyata).
Perbedaan ini ditinjau dari perangkat yang digunakan penjajah dan implikasinya bagi korban. Misalnya, dalam penjajahan dunia nyata, meriam (parang, senjata, pisau, dan lain-lain) dapat dilihat dan implikasinya secara langsung menggerus fisik dan psikis korban, sedangkan dalam penjajahan digital, meriam yang dipakai pelaku tak terlihat karena terpisah secara geografis (jarak-jauh) dan implikasinya cendrung merenggut psikis atau mental korban.
“Kolonialisasi digital artinya proses penjajahan yang termanifestasi melalui jagat digital dan hacker diklaim sebagai salah satu aktor utamanya”.
Identitas, motif dan tujuan para hacker biasanya tidak diketahui jelas sehingga sulit dideteksi. Selain itu, mereka cenderung introvert menjejakki jalan gelap. Bahkan, ia melampaui keahlian pengguna lain sehingga ia menjadi semacam tuan atas pengguna lain dalam jagat digital.
Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, Gmail, dan lain sebagainya merupakan platform-platform digital yang sering menjadi medan sentrum hacker bermain atau bertingkah liberal. Siapa saja yang memiliki akun pada platform tersebut, pada titik tertentu pernah di-hack.
Korban yang terperangkat biasanya tidak hanya dialami masyarakat biasa, tetapi bisa dialami oleh lembaga-lembaga penting, seperti pemerintahan, pendidikan, kesehatan dan perusahaan. Selain itu, orang-orang terkenal, seperti artis, penyanyi dan figur-figur terkenal lainnya juga mengalami hal serupa.
Baca juga: Bareskrim Usut Peretasan Data Pemerintah oleh Bjorka
Fakta mengenai serangan dalam dunia digital (serangan siber) tidak bisa terselipkan dari ranah publik ketika hal tersebut tersingkap dalam catatan tahunan dari pelbagai pihak.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dikutip dari (https://aptika.kominfo.go.id), mencatat hingga April 2022, serangan siber di Indonesia mencapai angka 100 juta kasus. Jenis serangan siber yang banyak ditemukan BSSN didominasi oleh serangan ransomware dan malware.
Pada 13 September 2022, di bagian Headline Liputan6.com, menyingkap sebuah kasus tentang serangan siber yang dilakukan hacker terkenal Bjorka yang diduga meretas akun milik pemerintah Indonesia.
Nama Bjorka mulai jadi buah bibir ketika menjual 1,3 miliar data registrasi SIM prabayar yang berisi nomor handphone warga Indonesia di forum breached.to, pada 31 Agustus 2022. Sontak aksinya itu bikin geram warganet Indonesia yang khawatir menjadi korban kebocoran data.
Dalam unggahannya, Bjorka mengklaim data yang dimilikinya tersebut berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun, pihak Kominfo membantahnya. Hacker Bjorka pun terus melancarkan aksinya dengan menyerang pemerintah Indonesia.
Meski akun Twitter dan saluran Telegram-nya telah hilang dari platform, ia tak berhenti. Bahkan Bjorka memperluas jaringannya dengan membuka saluran Telegram private dan akun Twitter baru.
Baca juga: Pemuda Penjual Es Jadi Tersangka, Bantu Hacker Bjorka Buat Grup Telegram
Lebih lanjut, Bjorka terpantau telah membocorkan data pengguna IndiHome, KPU, registrasi SIM prabayar, dan dokumen rahasia Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia juga rajin melakukan doxing (mengungkap data pribadi ke publik) terhadap sejumlah pejabat Indonesia melalui saluran Telegramnya.
Pejabat publik yang menjadi korbannya adalah Menkominfo Johnny G. Plate, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan.
Lalu, Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwoprandjono, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Mendagri Tito Karnavian, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (Bdk. https://www.liputan6.com).
Secara langsung para korban merasa kehilangan akan propertinya, dalam hal ini akun yang dimilikinya, apalagi di dalamnya termuat data penting. Lebih dari itu, korban mengalami tekanan psikis yang tinggi apalagi ia merasa di-doxing, data pribadinya dibocorkan ke ruang publik.
Dalam tulisan ini, penulis tidak secara langsung memberikan solusi bagaimana mengambil sikap untuk berkonfrontasi terhadap perilaku para hacker, tetapi penulis sekadar memberi nama tentang fenomena jagat digital dewasa ini yang pada waktu tertentu terjadi semacam praktik kolonialisme antara sesama penggunanya.
Dengan demikian, hingga pada bagian akhir dari ulasan ini penulis tidak menekankan aspek yang menonjol dalam memberi solusi.
Penulis sekadar mengklaim bahwa dunia digital sebenarnya tengah menimbulkan suatu dikotomi di mana terbentuknya dua kategori, yakni semacam ada pihak penyerang dan korban. (Penulis tinggal di Maumere, NTT)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.