Berita NTT
Pegiat Desa Lintas Sektor dan Lintas Daerah Bangun Diskusi Bahas Jabatan Kepala Desa 9 Tahun
Lembata menjelaskan bahwasannya wacana perpanjangan masa jabatan itu tidak menjadi urgensi dalam pembenahan desa.
Penulis: Ray Rebon | Editor: Rosalina Woso
Rezim teknokrasi dan birokratis dalam desa selama ini memang telah mengekslusikan desa. Demokrasi desa dibabat habis oleh nalar negara yang birokratis dan teknokratis. Kemandirian desa patut dipertanyakan, karena kades bekerja sesuai nalar dari pemerintahan di atasnya.
Hal ini dipertgeas oleh Vinsen Bureni sebagai Direktur Bengkel Appek. Ia menjelaskan bahwa sudah 17 tahun bengkel ApPek terlibat dalam advokasi desa di NTT. Dan terlibat dalam sejarah penyusunan UU Desa.
Salah satu landasan penting lahirnya UU Desa adalah adanya asas kemandirian melalui pengakuan. Desa bisa merencanakan, menganggarkan dan menguruskan masyarakat desa. Namun nyatanya paska UU Desa maka kepala mengalami persoalan desa vs nasional.
Banyak sekali aturan yang membuat kebingungan bagi Pemdes. Dan itu persoalan harus diselesaikan lintas depertemen agar tidak merepotkan pemerintah desa.
Selain itu desa juga sangat penting melakukan penguatan kelembagaan-kelembagaan di desa misalnya BPD atau Lembaga nonformal lainnya.
Baca juga: Keluarga Korban Kasus Dugaan Perkosaan di Lembata Datangi Kantor Polisi, Minta Pelaku Segera Ditahan
"Selama keterlibatan bengkel Appek harus jujur kita katakan bahwa BPD itu tidak berfungsi sebagai mitra atau teman dari Kepala Desa dan Aparatnya," ujarnya.
Persoalan-persoalan itulah yang harus diselesaikan ke depannya. Revisi UU Desa harus kesana sasarannya. Bukan malah focus pada perpanjangan masa jabatan.
Vinsen juga menegaskan bahwa menyuarakan perpanjangan jabatan merupakan orang yang belum mampu menyelesaikan persoalan selama 6 tahun.
Dalam diskusi semua pemateri bersekapat bahwa penetrasi dan determinisme negara terhadap desa begitu kuat. Desa jadinya mengalami berbagai persoalan dimana kemandiriannya diabaikan begitu saja oleh negara sendiri.
Gori Sadhan selaku Dosen STPMD “APMD” Yogyakarta menjelaskan bahwa dalam UU Desa itu banyak praktek anti desa, tekonkratisasi desa mematikan demokrasi desa. Rencana pembangunan desa hanya kamuflase. Kemudian terjadi kooptasi yang dilakukan negara terhadap pemerintah desa.
Baca juga: Kapolres Manggarai Barat Diduga Aniaya Anggota, Kapolda NTT: Itu Cuma Salah Paham
Goris melanjutkan hingga kini ada 18 program yang dijalankan desa dan itu kepentingan dari kementrian sectoral.
Katakanlah isu stunting itu yang seharusnya diselesaikan oleh negara, malahan diselesaikan oleh desa. Begitu juga dengan SGDs Desa. Program-program ini merupakan kepentingan kementrian.
Jadi, kata dia kepala desa hanya menjalankannya. Dan banyak dari program ini tidak sesuai dengan kebutuhan desa.
Sehingga wacana perpanjangan masa jabatan itu tidak menjadi penting soal berapa tahunnya.
Kalau 9 tahun juga baik selama itu sesuai dengan kebutuhan desa dan desa juga diberikan kemandirian yang utuh dalam arti tidak ada kepentingan negara di desa.
Ia juga menekankan bahwa kita sebagai pegiat desa harus menghindari pola pikir negara itu desa, des aitu negara. Pola pikir inilah yang menjadikan desa dikooptasi terus oleh negara.(*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Dinkes Belu Gandeng IJTI NTT Tanam 1.000 Pohon di Lokasi Longsor |
![]() |
---|
Kadin Tanggapi Pemberitaan Bank NTT dari Modal Inti Hingga Masalah Hukum |
![]() |
---|
Keluarga Besar Jurnalis NTT Gelar Natal Bersama |
![]() |
---|
Satu Tahun Tribun Flrores, Begini Harapan Wakil Ketua DPRD NTT Inche Sayuna |
![]() |
---|
Kanwil Kemenkumham NTT Gelar Upacara Peringatan HBI ke-73 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.