Berita Nasional

Romahurmuziy Mantan Terpidana Korupsi Jadi Ketua Mapertim PPP, Pengamat : Tidak Berpihak

Romahurmuziy,mantan terpidana kasus korupsi diberi jabatan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2020-2025

Editor: Ryan Nong
KOMPAS.com/ANATRA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Romahurmuziy (kiri) mendapat pelukan saat tiba untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (20/1/2020). 

JAKARTA, POS-KUPANG.COM - Romahurmuziy, mantan terpidana kasus korupsi diberi jabatan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan (Mapertim) DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2020-2025.

Kembalinya Romy - sapaan Romahurmuziy ke kancah politik setelah islah dengan PPP menuai berbagai kritikan. PPP dinilai permisif dengan perilaku koruptif.

Apalagi, PPP tak menutup kemungkinan jika Romy hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024.

Ktitik atas Kembalinya Romahurmuziy ke PPP salah satunya diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, langkah itu menunjukkan bahwa PPP tak berpihak pada publik kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi.

Padahal, menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, salah satu tujuan pembentukan parpol yakni memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat.

"Bagaimana mungkin hal ini bisa tercapai untuk membela kepentingan masyarakat jika di dalam struktur kelembagaan partai politik masih menempatkan mantan terpidana korupsi sebagai jajaran struktural partai politik," kata Kurnia, Selasa, 3 Januari 2023.

Baca juga: Mardiono Jadi Plt Ketua Umum PPP, Siap Mundur dari Watimpres

Tak hanya itu, Pasal 11 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 13 huruf e juncto Pasal 31 Ayat (1) UU Partai Politik menyebutkan bahwa fungsi partai politik adalah sebagai sarana pendidikan politik, tidak hanya bagi anggotanya, tetapi juga untuk masyarakat.

Menurut Kurnia, mustahil fungsi ini berjalan dengan baik jika ada mantan terpidana korupsi di jajaran struktural partai.

"Bagaimana mungkin mereka akan mendidik masyarakat dengan konteks politik berintegritas jika mereka tidak bisa memberikan contoh yang baik ketika memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi untuk masuk ke jajaran struktural partai politik," ujarnya.

Kurnia mengatakan, bergabungnya mantan terpidana korupsi ke struktur parpol menggambarkan institusi partai politik di Indonesia masih permisif dengan praktik korupsi. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.

Konsekuensinya, penanganannya tidak bisa menggunakan cara-cara biasa. Tak hanya menjalani proses hukum di persidangan dan lembaga pemasyarakatan, setelah bebas, pelaku tindak pidana korupsi harus diberi efek jera tambahan, yakni tidak diperkenankan masuk ke wilayah politik.

Kurnia menyebutkan, partai politik bukan institusi swasta. Menurut Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, parpol dikategorikan sebagai badan publik.

Kembali merujuk UU Partai Politik, disebutkan peran serta negara, bahwa keuangan parpol bersumber dari bantuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Baca juga: PPP Rekomendasikan Anies Baswedan Jadi Calon Presiden 2024: Perubahan Itu Nyata di DKI Jakarta

Halaman
123
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved