Breaking News

Satpol PP Ende dan Manajemen Birokrasi “Ngao”

Video 28 anggota Satpol PP Ende pesta minuman keras (miras) dan pesta dansa viral di media sosial beberapa waktu lalu.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Pelaksana Tugas Eman Tadji diduga kuat melangkahi kewenangan seorang Kadis definitif menerima anggota baru Satpol PP tanpa sebuah proses yang transparan, akuntabel dan profesional berbasis tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Kantor Pol PP menjadi tumpukan “pesanan” semua elite birokrasi dan legislatif atas nama keluarga, kroni dan tim sukses. Fenomena anomali dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Ende ini merupakan masalah sangat serius.

Proses perekrutan yang amburadul ini patut diduga merefleksikan kualitas pimpinan Satpol PP Ende yang berada jauh di bawah standar regulasi negara. Apalagi jabatan pimpinan hanya pelaksana tugas tapi salahgunakan kewenangan melebihi kepala dinas definitif.

Fakta ini merupakan kesalahan fatal dan bupati harusnya menghentikan proses ini dan kalau sudah diangkat, mestinya diberhentikan karena tidak legal. Hal ini hanya mungkin kalau bupati tidak punya “titipan.”

Publik berhak menduga, jabatan-jabatan birokratis lebih menjadi ruang “bagi jatah” yang menihilkan kualitas, profesionalisme, integritas, moralitas dan etika publik. Orang yang tidak hanya hidup menuruti hasrat tapi mendayagunakan akal sehat, akan merasa malu karena kualitas, profesionalisme dan integritasnya dihina hingga ke titik nadir.

Pembangkangan Regulasi

Beberapa pihak internal memang sudah mewanti-wanti soal hal ini karena Pemda di Indonesia sudah dilarang untuk mengangkat tenaga honorer (kontrak daerah).

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 menyatakan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pengangkatan tenaga honorer di lingkup Satpol PP Ende justru membuktikan bahwa Pemkab Ende tidak paham regulasi di negeri ini. Bahkan, patut diduga, dengan sadar membangkang terhadap aturan negara.

PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja justru lebih menekankan kontrak berdasarkan kegiatan atau program.

Pasal 1 menyatakan: Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah pengelolaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja untuk menghasilkan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pasal 4 (1) menyatakan: Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. (2) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.

Regulasi negara ini menandaskan bahwa seleksi PPPK dilakukan dengan pertimbangan integritas dan moralitas. Kiblatnya adalah penyederhanan birokrasi melalui mekanisme penyetaraan jabatan administrasi ke jabatan fungsional.

Penekanannya adalah miskin struktur, kaya fungsi. Artinya, prioritas pada kualitas dan kompetensi, bukan kuantitas.

Pertanyaannya adalah sejauhmana penetapan kebutuhan atau proyeksi kebutuhan pegawai untuk Kabupaten Ende? Fokusnya tentu tampak pada alokasi formasi pengadaan CPNSD dan PPPK untuk tahun 2021. Apakah ada korelasi agar dapat menjawabi dinamika yang sedang terjadi?

Alasan kontekstual adalah proses rekrutmen ini terjadi di tahun anggaran berjalan sehingga sampai dengan saat ini tidak ada alokasi dukungan anggaran untuk tenaga baru itu.

Kalau dianggarkan dalam perubahan APBD, maka Pemda harus menyiapkan anggaran minimal Rp500 juta untuk membayar honor mereka selama kurang lebih enam bulan (Juli-Desember) dan pada tahun anggaran mendatang, APBD harus menyiapkan anggaran minimal Rp1 miliar untuk keperluan yang sama itu.

Padahal kehadiran anggota baru Pol PP tidak urgen di tengah wabah pandemi Covid-19 yang kian ganas ini. Rakyat menderita dalam tekanan hidup tak menentu tapi Pemkab Ende bersama DPRD tidak peka dan kehilangan sensitivitas.

Pemerintah dan DPRD justru menitipkan “barangnya” untuk dibiayai anggaran daerah yang harusnya diperuntukkan bagi penanganan Covid-19.

Anomali Kekuasaan

Anomali kekuasaan tampak dalam praktik perekrutan tenaga honorer ilegal yang hampir merata di semua organisasi perangkat daerah (OPD). Ada dugaan, tenaga honorer menumpuk mulai dari “gedung putih”, Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), Dinas Perhubungan, Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Dinas Koperasi dan UKM, Bagian Umum Setda Ende, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Satpol PP.

Ada dugaan sangat kuat, semua tenaga honorer itu rata-rata titipan “elite” dan anggota DPRD. Tidak ada proses perekrutan yang transparan dan profesional. Manajemen Ngao dalam sekejap memunculkan wajah-wajah baru berseragam pegawai.

Pertanyaannya adalah mekanisme apa yang dipakai dalam proses perekrutan ini? Jika soal kebutuhan, apa dasar hukum melakukan penetapan kebutuhan tersebut dan konsekuensi pengadaan tenaga penunjang tersebut?

Pemerintah memiliki mekanisme CPNSD dan PPPK, kenapa tidak analisa kebutuhan pegawai di setiap OPD dan diusulkan ke BKPSDM sehingga bisa diusulkan formasinya?

Mengapa perekrutan dilakukan diam-diam? Apakah hanya karena punya kuasa atau sekadar mengakomodasi titipan dan dengan sadar melakukan penyimpangan prosedural?

Konsekuensi dari perekrutan ini adalah pembebanan anggaran untuk gaji/insentif atau apa pun sebutannya, lalu mau pakai biaya dari celah mana? Masa cleaning service, Satpol PP dan sopir bisa puluhan orang?

Model manajemen kepegawaian Ende saat ini memang sudah sering dikritisi banyak orang yang peka dan peduli. Hal ini sangat berdampak pada kinerja Pemda Ende.

Evaluasi Kemendagri atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) menempatkan Ende sebagai kabupaten pada level papan menengah ke bawah dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi NTT.

Hingga beberapa tahun lalu, kinerja penyelenggaraan Pemda Ende berdasarkan evaluasi Kemenpan RB menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan.

Tahun 2019, kepatuhan pelayanan publik di Kabupaten Ende berdasarkan penilaian Ombudsman RI, berada pada zona merah. Data dan informasi yang demikian sepertinya ditutup rapat dan apabila kita buka ke ruang publik, pasti ada yang malah tersinggung, bahkan marah.

Tapi kalau ada secuil keberhasilan yang tidak berdampak signifikan bagi rakyat akan tayang bertahun-tahun di layar videotron depan jalan layang “seolah-olah” di perempatan jalan masuk bandara.

Di titik ini, rakyat Ende mesti diberitahu secara terbuka bahwa pemerintah daerah kita sekarang ini sudah sangat dikuasai oleh gerombolan politisi-birokrat oportunis. Mereka sudah menjadikan berbagai hal sebagai komoditas politik.

Birokrasi sebagai ruang kerja profesional seolah disulap mengikuti hasrat titipan politik. Kita tidak pernah akan diyakinkan bahwa kondisi pengap birokrasi Ende akan segera berubah, siapa pun wakil bupatinya, apalagi kalau wakil bupati itu juga hasil ngao sesama rekan anggota DPRD. Nonsense! *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved