Satpol PP Ende dan Manajemen Birokrasi “Ngao”

Video 28 anggota Satpol PP Ende pesta minuman keras (miras) dan pesta dansa viral di media sosial beberapa waktu lalu.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Satpol PP Ende dan Manajemen Birokrasi “Ngao”

Oleh Steph Tupeng Witin
Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2018)

POS-KUPANG.COM - Video 28 anggota Satpol PP Ende pesta minuman keras (miras) dan pesta dansa viral di media sosial beberapa waktu lalu. Video ini tayang di Kompas 20 Juli 2021. Kabupaten Ende di bawah kepemimpinan Bupati Achmad Djafar “tenar” di seluruh dunia.

Kelakuan buruk “anggota baru” ini memantik kemarahan publik. Mereka tergabung dalam Satgas Covid-19 yang mesti memberi teladan taat protokol kesehatan.

Pelaksana Tugas (Plt) Kasat Pol PP, Eman Tadji meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, ada 21 anggota menjalani pembinaan fisik, 4 orang jalani tahanan dan 3 orang dipecat.

Persoalan ini tidak sesederhana meminta maaf dengan memakai masker, memberikan sanksi pembinaan fisik dan pemecatan. Pasalnya, 28 orang itu adalah “anggota baru” Satpol PP Ende yang proses penerimaannya patut diduga merupakan hasil dari Manajemen Birokrasi Ngao Kabupaten Ende. Ngao itu bahasa Lio artinya: bisik-bisik (baku bisik).

Proses rekrutmen anggota baru Satpol PP Ende ini sedang menjadi perbincangan hangat publik Ende di media sosial, tapi aneh bin ajaib bahwa tidak ada satu pun media online atau cetak yang “menyentuhnya.” Rupanya Manajemen Birokrasi Ngao sukses karena bisik-bisiknya bukan biasa lagi.

Publik menduga kuat proses rekrutmen anggota Pol PP yang baru ini melibatkan elite birokrasi khususnya “elite” dan lingkarannya, pimpinan dan anggota DPRD, tim sukses Pilkada dan sebagainya.

Bahan titipan adalah anak, ponakan, keluarga, tim sukses. Bahkan ada dugaan menakjubkan: ada oknum pekerja media lokal juga berpartisipasi menitipkan “orangnya.”

Proses rekrutmen ini berjalan masif selama Eman Tadji menjadi Sekretaris dan kini Pelaksana Tugas (Plt) Pol PP Ende. Proses rekrutmen ini sangat “keterlaluan” karena melampaui kewenangan seorang kepala dinas definitif.

Eman Tadji hanyalah seorang pelaksana tugas. Tapi siapa yang bisa mengontrol apalagi menghentikan laju si pelaksana tugas untuk melancarkan roda Manajemen Birokrasi Ngao di Pol PP Ende?

Pada titik ini, kita bisa memahami perilaku anggota baru Satpol PP hasil besutan Manajemen Birokrasi Ngao itu. Proses yang kehilangan kewarasan nurani di tengah derita rakyat akibat pandemi Covid-19.

Lokasi pesta miras di kantor Satpol PP Ende semakin menegaskan bahwa pimpinan Satpol PP Ende tidak memiliki kewibawaan apa pun. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari proses perekrutan yang hanya bermodal “baku bisik” lalu antar berkas ke ruangan pimpinan, bisik-bisik agak lama, selanjutnya berkas diantar ke sekretariat dengan catatan: sudah diterima.

Esoknya, hasil bisik-bisik kemarin di ruang pimpinan itu berinkarnasi (menjelma) menjadi staf baru Satpol PP Ende dengan pakaian dinas lengkap. Apakah pakaian dinas itu juga hasil kerja dengan manajemen sistem kebut semalam (SKS)?

Jika kita telusuri lebih intens, bisa saja kita akan menemukan sebuah “bisnis besar” di balik manajemen birokrasi Kabupaten Ende. Simpul-simpulnya selalu sama: elite birokrasi, orang dekat pimpinan dan anggota DPRD, keluarga pejabat birokrasi, tim sukses Pilkada, teman diskusi ngao, sesama penilep uang rakyat (Gratifikasi PDAM Ende, dana Covid-19, rekan pungli di Dinas PKO, penadah uang Dinas PKO yang hilang misterius), (mungkin) gerombolan pembunuh Ansel Wora di Pulau Ende dan sejenisnya.

Gerombolan inilah yang sedang “berpesta pora” di semua lini kehidupan Ende yang terepresentasi dalam fakta pesta miras dan dansa kampung di Kantor Satpol PP yang viral itu.

Alam Ende memiliki kearifan dan kecerdasan istimewa yang pada “waktunya” akan membuka mata kesadaran kita. Pesta pora di atas air mata dan derita rakyat kecil, khususnya selama wabah pandemi Covid-19 ini akan menjadi viral seperti contoh tak terbantahkan di halaman Kantor Satpol PP Ende itu.

Secuil Kronologi

Wacana penambahan anggota Satpol PP mengemuka sejak tahun 2019. Kasat Pol PP kala itu adalah Abraham Badu. Maka dibuatlah analisa perhitungan jumlah polisi pamong praja Kabupaten Ende dengan merujuk pada Permendagri Nomor 60 tahun 2012 tentang Kriteria Penghitungan Jumlah Polisi Pamong Praja Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil analisa atas indikator kriteria umum dan indikator kriteria teknis, di Kabupaten Ende semestinya ada anggota Pol PP minimal 251 orang dan maksimal 350 orang.

Menurut perhitungan riil, berdasarkan kondisi akhir tahun 2019, Pemkab Ende membutuhkan anggota Pol PP sebanyak 199 orang.

Desakan kebutuhan itu mestinya tidak sampai melupakan amanat regulasi bahwa anggota Pol PP adalah pegawai negeri sipil (PNS). Tidak ada satu regulasi pun yang membuka ruang perekrutan tenaga honorer.

Kita temukan pendasaran formal itu melalui dua regulasi yang mestinya tidak boleh diabaikan.

Pertama, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 256 (1) Polisi pamong praja adalah jabatan fungsional pegawai negeri sipil yang penetapannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Polisi pamong praja diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. (3) Polisi pamong praja harus mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional.

(4) Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Kementerian.

(5) Kementerian dalam melakukan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung.

(6) Polisi pamong praja yang memenuhi persyaratan dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan polisi pamong praja diatur dengan peraturan pemerintah.

Kedua, Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Bab IV tentang Sumber Daya Manusia.

Pasal 15 (1) berbunyi: Anggota Satpol PP diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

(2) Pegawai negeri sipil Satpol PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pejabat pimpinan tinggi pratama; b. pejabat administrasi; dan c. pejabat fungsional Pol PP.

(3) Pegawai negeri sipil Satpol PP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat memiliki kualifikasi pejabat PNS.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, sambil tetap memperhatikan basis regulasi negara, beberapa daerah merekrut tenaga kontrak daerah yang dinamakan Banpol.

Atas dasar itu maka disiapkan beberapa opsi untuk memenuhi kebutuhan personel ini yaitu (1) rekrut terbuka dan (2) mengalihkan sebagian tenaga honorer dari SKPD yang ada. Analisa ini sudah disampaikan kepada beberapa pihak. Salah satunya adalah institusi DPRD Ende.

Selama tahun 2020, pada masa kepemimpinan Eman Tadji sebagai Sekretaris merangkap Pelaksana Tugas Satpol PP, rencana rekrutmen ini seolah hanya menjadi diskusi terbatas di kalangan aparat Satpol PP.

Meskipun pada tahun 2020 ada beberapa tenaga kontrak yang masuk kantor dengan membawa nama dan rekomendasi pejabat ini dan pejabat itu. Bahkan ada yang mengaku sebagai tim sukses.

Komunikasi intens pun dilakukan dengan anggota dewan. Resmi dalam rapat atau pun sekadar silaturahim.

Sejak saat itu mulai bermunculan wajah baru di kantor Pol PP. Ada yang membawa lamaran dan langsung bertemu pelaksana tugas di ruangannya. Setelah keluar dari ruangan pelaksana tugas, lamaran langsung diserahkan ke sekretariat dan dinyatakan diterima.

Besoknya yang bersangkutan datang mulai bekerja. Bahkan sudah berpakaian lengkap atribut tanpa pernah ada proses perekrutan secara terbuka, orientasi atau pembinaan. Malah anggota baru itu langsung diikutsertakan dalam operasi penertiban.

Mudah sekali kan jadi aparat Pol PP mengenakan seragam dengan atribut mentereng? Petani kampung saja mesti mengikuti “orientasi” bersama ayahnya sejak kecil agar tahu dan kenal “medan.”

Proses perekrutan yang berbasis “baku bisik” itu menyembulkan fakta pengalaman menarik. Ada orang  yang datang membawa lamaran dari anaknya dan tanpa malu-malu mengaku sebagai tim sukses.

Ada juga yang berperilaku seperti calo tenaga kerja. Mereka datang membawa beberapa orang plus map lamaran dan tanpa risih secuil pun langsung bertemu Eman Tadji di ruangannya. Ada juga yang terang-terangan mengaku sebagai anak, ponaan, orang dekat dari anggota DPRD.

Begitulah proses perekrutan penerima gaji pajak rakyat Ende dengan manajemen birokrasi ngao di Kantor Pol PP hingga saat ini yang menghadirkan 70-an wajah baru yang kemudian tenar pesta miras dan dansa di halaman kantor itu.

Pelaksana Tugas Eman Tadji diduga kuat melangkahi kewenangan seorang Kadis definitif menerima anggota baru Satpol PP tanpa sebuah proses yang transparan, akuntabel dan profesional berbasis tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Kantor Pol PP menjadi tumpukan “pesanan” semua elite birokrasi dan legislatif atas nama keluarga, kroni dan tim sukses. Fenomena anomali dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Ende ini merupakan masalah sangat serius.

Proses perekrutan yang amburadul ini patut diduga merefleksikan kualitas pimpinan Satpol PP Ende yang berada jauh di bawah standar regulasi negara. Apalagi jabatan pimpinan hanya pelaksana tugas tapi salahgunakan kewenangan melebihi kepala dinas definitif.

Fakta ini merupakan kesalahan fatal dan bupati harusnya menghentikan proses ini dan kalau sudah diangkat, mestinya diberhentikan karena tidak legal. Hal ini hanya mungkin kalau bupati tidak punya “titipan.”

Publik berhak menduga, jabatan-jabatan birokratis lebih menjadi ruang “bagi jatah” yang menihilkan kualitas, profesionalisme, integritas, moralitas dan etika publik. Orang yang tidak hanya hidup menuruti hasrat tapi mendayagunakan akal sehat, akan merasa malu karena kualitas, profesionalisme dan integritasnya dihina hingga ke titik nadir.

Pembangkangan Regulasi

Beberapa pihak internal memang sudah mewanti-wanti soal hal ini karena Pemda di Indonesia sudah dilarang untuk mengangkat tenaga honorer (kontrak daerah).

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 menyatakan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pengangkatan tenaga honorer di lingkup Satpol PP Ende justru membuktikan bahwa Pemkab Ende tidak paham regulasi di negeri ini. Bahkan, patut diduga, dengan sadar membangkang terhadap aturan negara.

PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja justru lebih menekankan kontrak berdasarkan kegiatan atau program.

Pasal 1 menyatakan: Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah pengelolaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja untuk menghasilkan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pasal 4 (1) menyatakan: Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. (2) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.

Regulasi negara ini menandaskan bahwa seleksi PPPK dilakukan dengan pertimbangan integritas dan moralitas. Kiblatnya adalah penyederhanan birokrasi melalui mekanisme penyetaraan jabatan administrasi ke jabatan fungsional.

Penekanannya adalah miskin struktur, kaya fungsi. Artinya, prioritas pada kualitas dan kompetensi, bukan kuantitas.

Pertanyaannya adalah sejauhmana penetapan kebutuhan atau proyeksi kebutuhan pegawai untuk Kabupaten Ende? Fokusnya tentu tampak pada alokasi formasi pengadaan CPNSD dan PPPK untuk tahun 2021. Apakah ada korelasi agar dapat menjawabi dinamika yang sedang terjadi?

Alasan kontekstual adalah proses rekrutmen ini terjadi di tahun anggaran berjalan sehingga sampai dengan saat ini tidak ada alokasi dukungan anggaran untuk tenaga baru itu.

Kalau dianggarkan dalam perubahan APBD, maka Pemda harus menyiapkan anggaran minimal Rp500 juta untuk membayar honor mereka selama kurang lebih enam bulan (Juli-Desember) dan pada tahun anggaran mendatang, APBD harus menyiapkan anggaran minimal Rp1 miliar untuk keperluan yang sama itu.

Padahal kehadiran anggota baru Pol PP tidak urgen di tengah wabah pandemi Covid-19 yang kian ganas ini. Rakyat menderita dalam tekanan hidup tak menentu tapi Pemkab Ende bersama DPRD tidak peka dan kehilangan sensitivitas.

Pemerintah dan DPRD justru menitipkan “barangnya” untuk dibiayai anggaran daerah yang harusnya diperuntukkan bagi penanganan Covid-19.

Anomali Kekuasaan

Anomali kekuasaan tampak dalam praktik perekrutan tenaga honorer ilegal yang hampir merata di semua organisasi perangkat daerah (OPD). Ada dugaan, tenaga honorer menumpuk mulai dari “gedung putih”, Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), Dinas Perhubungan, Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Dinas Koperasi dan UKM, Bagian Umum Setda Ende, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Satpol PP.

Ada dugaan sangat kuat, semua tenaga honorer itu rata-rata titipan “elite” dan anggota DPRD. Tidak ada proses perekrutan yang transparan dan profesional. Manajemen Ngao dalam sekejap memunculkan wajah-wajah baru berseragam pegawai.

Pertanyaannya adalah mekanisme apa yang dipakai dalam proses perekrutan ini? Jika soal kebutuhan, apa dasar hukum melakukan penetapan kebutuhan tersebut dan konsekuensi pengadaan tenaga penunjang tersebut?

Pemerintah memiliki mekanisme CPNSD dan PPPK, kenapa tidak analisa kebutuhan pegawai di setiap OPD dan diusulkan ke BKPSDM sehingga bisa diusulkan formasinya?

Mengapa perekrutan dilakukan diam-diam? Apakah hanya karena punya kuasa atau sekadar mengakomodasi titipan dan dengan sadar melakukan penyimpangan prosedural?

Konsekuensi dari perekrutan ini adalah pembebanan anggaran untuk gaji/insentif atau apa pun sebutannya, lalu mau pakai biaya dari celah mana? Masa cleaning service, Satpol PP dan sopir bisa puluhan orang?

Model manajemen kepegawaian Ende saat ini memang sudah sering dikritisi banyak orang yang peka dan peduli. Hal ini sangat berdampak pada kinerja Pemda Ende.

Evaluasi Kemendagri atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) menempatkan Ende sebagai kabupaten pada level papan menengah ke bawah dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi NTT.

Hingga beberapa tahun lalu, kinerja penyelenggaraan Pemda Ende berdasarkan evaluasi Kemenpan RB menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan.

Tahun 2019, kepatuhan pelayanan publik di Kabupaten Ende berdasarkan penilaian Ombudsman RI, berada pada zona merah. Data dan informasi yang demikian sepertinya ditutup rapat dan apabila kita buka ke ruang publik, pasti ada yang malah tersinggung, bahkan marah.

Tapi kalau ada secuil keberhasilan yang tidak berdampak signifikan bagi rakyat akan tayang bertahun-tahun di layar videotron depan jalan layang “seolah-olah” di perempatan jalan masuk bandara.

Di titik ini, rakyat Ende mesti diberitahu secara terbuka bahwa pemerintah daerah kita sekarang ini sudah sangat dikuasai oleh gerombolan politisi-birokrat oportunis. Mereka sudah menjadikan berbagai hal sebagai komoditas politik.

Birokrasi sebagai ruang kerja profesional seolah disulap mengikuti hasrat titipan politik. Kita tidak pernah akan diyakinkan bahwa kondisi pengap birokrasi Ende akan segera berubah, siapa pun wakil bupatinya, apalagi kalau wakil bupati itu juga hasil ngao sesama rekan anggota DPRD. Nonsense! *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved