Opini Pos Kupang
Urgensi Utang untuk Siapa?
Perubahan makro pembangunan NTT, yang direncanakan berlangsung secara evolutif, bertahap dan terencana
Oleh : Habde Adrianus Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pendiri Institut Kebijakan Publik dan Penganggaran (KUPANG Institute)
POS-KUPANG.COM - Perubahan makro pembangunan NTT, yang direncanakan berlangsung secara evolutif, bertahap dan terencana dalam suatu kerangka waktu, tiba-tiba mengalami percepatan dan menjelma menjadi sebuah obsesi lompatan perubahan besar.
Seperti, ambisi pemerintah provinsi dan kabupaten NTT untuk mengakselerasi investasi infrastruktur (social-based bukan commercial-based), kini semakin banyak menghadapi supresi (tekanan) terutama pembiayaannya. Sebuah masalah yang sangat kompleks tapi diputuskan dengan pendekatan struktural.
Padahal, pendekatan struktural saja merupakan simplikasi yang berlebihan dari sebuah masalah yang sangat kompleks. Meski pun begitu, solusi yang telah diambil untuk mengatasi supresi adalah utang.
Baca juga: Promo Alfamart Terbaru Rabu 9 Juni 2021, Ada Diskon 30%, Popok Bayi Diskon 25%
Baca juga: Anies Baswedan Puja Puji Mendiang Presiden Soeharto Sampai Sebut Sederet Kalimat Ini, Tentang Apa?
Karena itu, terbaca dalam APBD NTT 2020, pemerintah provinsi NTT, telah mendapat pembiayaan utang yang digunakan untuk belanja infrastruktur, sebesar Rp 420 miliar. (VN, 20/03/2020).
Sedangkan, untuk tahun anggaran 2021, pemerintah provinsi NTT merencanakan utang lagi sebesar Rp.1,5 T.
Sementara itu, kebijakan utang juga dilakukan masing-masing pemerintah kabupaten pada tahun 20021, seperti : Sikka, Rp. 216,45 M; Alor, Rp. 150 M; Lembata, Rp. 400 M; Manggarai Timur, Rp. 150 M; dan Manggarai Barat, Rp. 1,8 T. (VN, 05/06/2021).
Tampak menguatnya tren pergeseran paradigma pembiayaan pembangunan daerah melalui utang. Tidak ada yang salah dari semangat dan kebijakan utang.
Tetapi komoditi publik, masalah eksternalitas, dan kepentingan publik sangat perlu diidentifikasi dan diverifikasi secara lebih ketat.
Baca juga: Apresiasi Pemda Malaka
Baca juga: Tangis Pilu Calon Jemaah Haji Asal Rembang, Kecewa 3 Kali Gagal, Kini Hanya Bisa Ikhlas dan Bersabar
Sebab, kebijakan utang yang tuntas sebenarnya harus diikuti berbagai tindakan kebijakan lanjutan, baik ke atas maupun ke bawah. Pesan teoritis seperti ini sangat penting untuk diperhatikan.
Hegemonik Pembangunan
Merancang pembangunan, sejatinya bersumbu pada: Pertama, kecenderungan melihat pembangunan sebagai proses linier yang berjalan ke depan dengan ukuran kuantitatif. Kedua, pembangunan sebagai proses dan sekaligus realitas sosial-ekonomi yang bersifat sintetis-komprehensif dengan tolok ukur kualitatif.
Namun, kenyataannya pembangunan menjadi bersifat hegemonik, mengungkung dan tidak boleh ditawar. Oleh sebab itu, tidak mengherankan walau dampak negatif pembangunan nampak di depan mata, orang masih saja berteriak "pembangunan jalan terus, membangun perlu pengorbanan".
Dan itu tanpa mempertanyakan lagi apakah korban tersebut memang harus ada atau diadakan, dan siapa yang rela menjadi korban.
Dengan kata lain, pembangunan menekankan pada rasionalitas instrumental yang lebih menekankan pada logika linier yang justifikasinya dari para teknokrat yang merasa paling otoritatit dalam merumuskan arah dan strategi pembangunan.
Dalam situasi seperti itu, maka pandangan terhadap esensi pembangunan bersifat sepihak. Hal ini dikarenakan konsep pembangunan lantas sama sekali tidak menggunakan titik berangkat yang sama sebagaimana pandangan Hugo Kalembu anggota DRD NTT, bahwa kebijakan utang akan membebani rakyat, sebaliknya, Gubernur NTT, menegaskan, tidak ada daerah yang bangkrut karena pinjaman daerah, (SelatanIndonesia.com, 03/06/2021).
Kebenaran dan kekeliruan argumentasi utang di sini menjadi dua kata yang tidak bisa lagi kita lihat sekedar kontradiktif. Mengapa? Karena, kekeliruan pun ternyata bisa dimaknai secara positif dalam pengertian keseharian.
Oleh karena itu, cukup beralasan jika mempertanyakan urgensi, makna dan manfaat kebijakan utang dalam konteks kemampuan sumberdaya NTT. Mengingat, utang bukan sebagai satu variabel kunci penggerak utama pembiayaan pembangunan yang bersifat otonom. Pada titik ini, selalu terbuka ruang koreksi mendasar atas asumsi kebijakan utang.
Simplifikasi Utang
Berutang sebagai tambahan modal untuk ditanamkan dalam suatu aset investasi atau dalam bahasa keuangan sering disebut dengan margin lending atau investment leverage. Konsep ini pada dasarnya adalah menggunakan modal dari pihak lain untuk mengharapkan potensi keuntungan investasi yang lebih besar.
Dalam konteks berutang sebagai tambahan belanja dalam APBD, perlu dipahami bahwa utang selalu punya tiga dimensi. Pertama, besarannya dan sumbernya. Kedua, efektifitas penggunaannya.
Ketiga, utang secara langsung membebani anggaran pemerintah, sebab, bukan output perekonomian.
Mengingat, APBD, merupakan instrumen fiskal yang memiliki fungsi alokasi dan distribusi yang tepat, tidak saja mendorong pertumbuhan tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.
Sehingga, apabila terjadi gagal fiskal yakni suatu kondisi dimana postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan daerah tak memenuhi disiplin dan kepatutan ekonomi yang digariskan aturan (APBD). Seperti, susutnya penerimaan, dikompensasi dengan pengurangan belanja dan tambahan belanja utang, untuk menambal kas daerah.
Di lain pihak, melemahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan melemahnya penerimaan daerah, karena pajak dan retribusi sangat tergantung pada pendapatan masyarakat dan ekspektasinya ke depan. Lebih jauh, penggunaan angka pertumbuhan PDRB pada asumsi makro APBD sudah kurang relevan utuk mengukur potensi penerimaan.
Seyogianya pemerintah menggunakan angka pendapatan per kapita, yang walau pertumbuhannya lebih rendah, tetapi lebih realistis memotret daya beli masyarakat dan potensi pajak dan retribusi masyarakat.
Tentu, pihak pemerintah bersikap optimistis berkaitan dengan kebijakan utang, sebagaimana argumen, Zakarias Moruk, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi NTT, menegaskan bahwa
"Biaya pengembalian, pasti akan aman karena kondisi fiskal kita masih sangat kuat, karena dana untuk kita alokasikan bagi pembangunan jalan di tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi karena sudah diselesaikan di tahun 2022. Sehingga di tahun 2023 ke atas kita tidak lagi mengalokasikan di Dinas PUPR untuk membangun jalan". (SelatanIndonesia.com, 03/06/2021).
Namun, argumen ini belum tentu valid. Sebab, saat ini penerimaan sangat fluktuatif disamping itu bukanlah sekadar kalkulasi-kalkulasi teknis-ekonomis, akan tetapi melibatkan diskursus dan paradigma kultural yang ikut mempengaruhi likuiditas domestik.
Dari uraian ini dapat disimpulkan, potensi gagal fiskal (pembayaran pokok dan bunga utang) tidaklah mengada-ada, karena postur APBD yang tidak realistis dan jauh dari sikap kehati-hatian.
Ia tidak hanya melanggengkan sikap lebih besar pasak ketimbang tiang, tetapi juga memperbesar pasak yang ada dibanding tiang karena dilandasi postulat ekonomi yang spekulatif tentang penerimaan dan belanja daerah ke depan.
Politik Anggaran
Sulit dimungkiri bahwa praksis politik anggaran merupakan upaya mewujudkan wajah anggaran untuk kepentingan tertentu, bisa pragmatis atau ideologis. Namun, sangat tidak mungkin untuk menyususn anggaran 100 persen ideologis karena bagaimanapun akan terdapat berbagai kepentingan politik pribadi, kelompok dan parpol di belakang semua program ataupun anggaran yang disusun.
Bisa saja suatu anggaran terlihat ideologis karena konkret dan berpihak kepada rakyat. Namun dapat dipastikan akan tetap ada rente ekonomi maupun kepentingan politik tertentu dari kekuasaan yang menyusunnya meski kadang terlihat samar.
Oleh karena itu, di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu, sepertinya tak ada jalan pintas menuju kesejahteraan. Yang ada hanya jalan panjang yang harus dilalui agar pembangunan bisa berkelanjutan, tidak sebentar-sebentar berubah haluan. Kita sudah berada dijalur yang benar, hanya harus sabar dan konsisten.
Agar terhindar dari pesimisme Qohelet: "apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi". Nihil sub sole novum! (*)