Kubra Menangis Disamping Wagub NTT Nae Soi, Pengungsi Afganistan di Kupang Minta Keadilan
pelayanan IOM Kupang dan berbagai persoalan mental yang dialami mereka. Hadir juga Asni, kepala IOM Kupang dan seorang stafnya.
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: Rosalina Woso
Kubra Menangis disamping Wagub NTT Nae Soi, Pengungsi Afganistan di Kupang Minta Keadilan
POS KUPANG.COM|KUPANG--Kubra Hasani (32) pengungsi Afghanistan di Kupang tak dapat menahan tangisnya saat menemui Wakil Gubernur (Wagub) NTT, Josef Adrianus Nae Soi, Rabu 19 Mei 2021 siang.
Selama hampir satu jam, Kubra Hasani, Reza Khademi dan Azim Hasani mewakili ratusan pengungsi Afghanistan yang sudah hamper 7 tahun berada di Kupang mengadukan pelayanan IOM Kupang dan berbagai persoalan mental yang dialami mereka. Hadir juga Asni, kepala IOM Kupang dan seorang stafnya.
Kubra menyesalkan sikap IOM yang tidak memberikan pelayanan kesehatan fisik, mental, pendidikan dan fasilitas yang memadai kepada pengungsi di Kupang. Padahal IOM adalah lembaga PBB yang bertugas mengurusi masalah pengungsi. IOM juga tak pernah meluangkan waktu mendengar keluhan pengungsi dengan alasan Covid-19.
“Saya senang, anda mendengar kita. Hanya Bapak yang bantu kita, baru kita bisa ketemu IOM. Dua minggu lebih demo di depan kantor tidak bertemu. Bapa tidak takut kesehatannya karena mau melayani dan dengar suara kita. IOM punya kantor tapi beberapa tahun belum pernah ada 1 migran yang masuk ke kantornya. Tidak membantu migran di kantornya,” ungkap Kubra.

IOM juga dinilai tidak transparan kepada pengungsi selama ini misalnya tentang status NTT yang adalah shelter house bukan community house, soal status pendidikan, ijasah, NIS anak pengungsi, juga lambatnya surat rujukan kesehatan dari IOM 2 sampai 3 bulan.
“Kita sudah sehat sendiri, kita harus bayar sendiri baru ada rujukan IOM. Kita tidak bisa percaya, semua sudah capek,” kata Kubra.
Bahkan IOM tidak memproses kepindahan pengungsi yang sakit ke kota lain padahal sudah ada persetujuan. Pengungsi Husein yang depresi baru dapat rujukan IOM usai mereka demo 2 minggu di depan kantor IOM.
“Apa kita harus begitu baru bisa dapat mereka (IOM) punya urusan buat orang sakit. Haruskah semua anak, ibu hamil, bapak demo di depan kantor IOM baru kasih, harus 2 minggu demo buat orang sakit sampai dia meninggal baru kasih rujukan? Itu mereka punya respon terhadap kita?” Tanya Kubra sambil menangis.
Baca juga: IOM Kupang Pastikan Ikuti Regulasi Dalam Penanganan Pengungsi Afghanistan di Kupang NTT
• Kubra Hasani Pegungsi Afghanistan di Kupang Melaporkan Sikap IOM Kepada Wakil Gubernur NTT
Baca juga: Husein Pengungsi Afghanistan di Kupang Mendadak Bisu
Baca juga: IOM Berikan MHPSS Multi-Layered Pada Pengungsi Afghanistan di Kupang, Provinsi NTT
Menurut Kuba, mereka tidak ingin merepotkan IOM dan pemerintah Indonesia. Namun di Afghanistan mereka yang adalah suku Hazara, suku minoritas yang terancam dibunuh sehingga mereka lari mencari Negara ketiga yang aman agar bisa melanjutkan kehidupan secara normal. Tapi selama di Kupang, mereka tidak diproses ke Negara ketiga dan tak bisa pindah ke kota lain yang lebih memadai.
“Sebagai seorang mama, saya senang melihat anak saya tumbuh disini, tapi saya tetap sedih karena melihat anak-anak tidak bisa bersekolah normal seperti anak-anak lain yang mendapatkan ijasah, memiliki NIS agar bisa melanjutkan pendidikan. Informasi ini mereka (IOM) tidak pernah kasih tahu,” kata Kubra.
Reza Khademi tentang kesulitan menjalani hidup di Afghanistan sebagai suku minoritas. Sehingga dia harus lari bersama ketiga anaknya itu. Tapi di Kupang, pendidikan anaknya tidak terjamin dengan baik. “Anak saya tidak sekolah tapi langsung ujian. Anak nomor dua usia 10 tahun juga begitu. Anak ketiga usia 4 tahun lahir disini. Sekolah hanya formalita saja, IOM mau putar-putar, dari sini ke sana, sana kesini,” kata Reza Khademi.
Azim Hasani mengatakan pengungsi mengalami depresi dan minum obat syaraf sehingga mereka tidak lagi ingat nama keluarganya, istri, suami atau anaknya.
Wagub : Kordinasi dengan IOM dan Imigrasi
Wagub Nae Soi mengatakan, pengungsi memiliki hak mendapatkan pelayanan sesuai ketentuan UNHCR dan PBB termasuk untuk pindah ke kota lain. Dan IOM bekerja berdasarkan regulasi sehingga harus dicari win-win solution demi kebaikan bersama.