Opini

Menggagas Masa Depan Lembata, Sebuah Pengamatan Orang Kampung

Selama satu tahun lebih penulis berjalan dari kampung ke kampung dan desa-desa di Lembata. Kami bertemu dengan orang kampung, omong dengan hati murni

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Lumbung pangan ini menjadi prasasti ketahanan ekonomi Lembata dalam situasi apa pun. Saat pandemi seperti ini, jika pemerintah mengambil keputusan menutup akses ke luar dan masuk Lembata, pangan tersedia. Aman. Ketika rakyat Ile Ape mengungsi karena erupsi Ile Lewotolok dan kebun, ladang hancur berantakan, persediaan pangan aman. Lembata bisa mandiri pangan asalkan pemerintah berpikir cerdas-kontekstual serta bekerja keras, efisien dan efektif.

Rawat Mata Air

Persoalan urgen lain yang tengah mengancam Lembata adalah ketersediaan air minum bersih. Kota Lewoleba memang dilayani PDAM cukup lancar. Tapi keluhan menurunnya debit air terutama pada musim kemarau selalu mengemuka. Setiap desa memiliki sumber mata air yang kadang melayani kebutuhan warga beberapa desa tetangga.

Air adalah kebutuhan publik yang mesti digunakan untuk kepentingan publik sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Maka air mesti memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, bukan diambil oleh satu orang untuk memenuhi kebutuhan pribadi di rumahnya sendiri.

Pemerintahan Lembata yang baru mesti menelusuri ada dugaan “satu orang kuat” di Lembata mengambil satu mata air untuk dirinya sendiri. Privatisasi ini mesti dihentikan karena bertentangan dengan regulasi negara. Ketika mayoritas rakyat mengeluh kekurangan air, ada satu orang yang menguasai satu mata air untuk memuaskan egoisme.

Ada dugaan kuat, mata air itu ditukar dengan tenaga KSO. Kalau dugaan ini terbukti benar, praktik kekuasaan ini sangat tercela kalau tidak mau dibilang busuk.

Keluhan menurunnya debit air terkait erat dengan kelestarian alam lingkungan sekitar sumber mata air. Mayoritas kawasan mata air adalah hutan tutupan. Tapi mesti diawasi karena kadang ada penebangan kayu dan perusakan hutan sekitar.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) mesti membangun sinergi dengan berbagai komponen untuk menghijaukan lokasi secara berkala. BLH bisa menyiapkan tanaman yang berdaya merawat keutuhan alam dan akarnya menyimpan air demi mempertahankan debit air.

Kita dorong BLH agar proaktif mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk merawat sumber mata air di seluruh Lembata. Mungkin ada item dalam Juklak dan Juknis Dana Desa (DD) yang bisa dialokasikan untuk merawat kelestarian lingkungan sumber mata air.

Terkait penghijauan di lokasi sumber mata air, agama-agama khususnya Gereja Katolik mesti terlibat dan melibatkan diri bersama pemerintah dan komponen gerakan lingkungan hidup untuk menghijaukan lokasi mata air. Air minum bersih di pastoran dan gereja berasal dari sumber mata air yang mesti menggerakkan kita untuk terlibat dalam gerakan penghijauan.

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama (2015) melukiskan keterlibatan itu sebagai bagian dari spiritualitas karena “akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan universal (Harun: 8).Paus Fransiskus mengajak para pastor dan seluruh umat untuk terlibat mengusahakan air minum bersih.

Menurut Paus Benediktus  XVI, persoalan krisis ekologi tidak semata-mata adalah persoalan pencemaran atau kerusakan. Ia jauh lebih kompleks dan jauh lebih mendalam dari itu yaitu bagian dari persoalan religiositas dan iman kita.  

Kita boleh merayakan ekaristi tiap hari tapi setelahnya kita mesti minum kopi. Kalau air bersih dari Namaweka, Paroki St Arnoldus Janssen Waikomo kering misalnya, mungkin kita menimba air kotor dari persawahan Waikomo untuk buat kopi.

Terkait penghijauan ini, pihak PDAM Lembata rutin menghijaukan lokasi sumber mata air Namaweka. Tapi gerakan ini mesti diperluas dengan melibatkan warga dan Gereja Katolik.

Hal yang sama mesti dilakukan di paroki-paroki dalam kerja sama dengan aparat kecamatan dan desa. Gerakan ini akan melestarikan lingkungan mata air sekaligus menjadi investasi bagi generasi masa depan.

Segenap komponen Lembata mesti bergerak bersama-sama dalam semangat satu hati (taan tou) merawat Lembata agar mandiri dan menjadi basis hidup yang layak.

Generasi saat ini hidup di Lembata-profesi apa pun-mesti bertanggung jawab agar generasi masa depan tidak mengolok-olok kita sebagai manusia pecundang, egois dan sekadar penumpang instan. *

  

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved