Opini

Menggagas Masa Depan Lembata, Sebuah Pengamatan Orang Kampung

Selama satu tahun lebih penulis berjalan dari kampung ke kampung dan desa-desa di Lembata. Kami bertemu dengan orang kampung, omong dengan hati murni

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Warga “kelompok tersisih” ini biasanya cerdas, berkomitmen dan tidak pernah akan tunduk pada arogansi kuasa. Apalagi kuasa di tangan satu orang yang gemar menggunakan kuasa hanya untuk menghentikan laju potensi, profesionalisme dan kreativitas yang berlawanan dengan hasrat, nafsu dan keserakahannya.

Dalam diskusi ini menyeruak gagasan segar untuk merancang sebuah masa depan Lembata yang lebih baik berbasis potensi lokal. Lembata tidak sekadar sebuah pulau eksotik yang melayang-layang di atas tubuh laut biru tapi juga kaya potensi, baik di darat dan laut.

Pengalaman selama sepuluh tahun ini mengembuskan energi baru untuk memikirkan sebuah basis ekonomi lokal khas Lembata yang mesti didukung dengan infrastruktur yang layak. Rakyat tidak makan festival tiga gunung (ile telo). Apalagi gebyar festival ini hanya sebatas pengerahan ASN dan anak-anak sekolah yang kelaparan di atas Bukit Cinta meski tetap selfie dengan beragam gaya melebihi artis-artis.  

Lumbung Pangan

Presiden Jokowi gencar membangun lumbung pangan selama masa pemerintahannya. Pertanian dan kelautan menjadi basis ekonomi bagi warga. Pemberdayaan warga menjadi gerakan populis yang mesti menggerakkan energi segenap komponen bangsa. Pangan lokal yang cukup akan menjadi amunisi bagi tubuh bangsa ini dalam gerakan pembangunan dimensi lain.

Gerakan Jokowi ini mestinya menginspirasi kepemiminan dalam semua level agar berpikir dalam konteks teritorinya. Tuhan telah memberi potensi yang luar biasa. Tuhan juga menganugerahkan kemampuan kepada setiap orang dengan kapasitasnya. Kapasitas itu mesti dipadukan dengan kapabilitas. Pengecualian tentu saja pada orang yang ijazahnya sejak sekolah dasar saja dipertanyakan.

Kita butuh pemimpin yang benar-benar merasa memiliki daerah dan rakyat. Orientasi kepemimpinan adalah rakyat. Setiap generasi akan lahir, tumbuh, dewasa dan mati. Maka pembangunan berkelanjutan mesti jadi skala prioritas yang mengapresiasi kelestarian lingkungan.  

Semua kecamatan memiliki potensi pertanian dalam konteksnya. Tanpa mengabaikan kecamatan lain, wilayah pertanian subur terbentang dari Kecamatan Atadei, Wulandoni, Nagawutung, Jalur Tengah: Bakalerek, Paubokol, Uruor, Udak dan Lewuka, termasuk wilayah Namaweka, Lite dan Lewokukung.

Wilayah-wilayah ini, meminjam ucapan orang Ataili; tiwa sukajo tawa di no mojipa en (buang batang ubi saja bisa tumbuh sendiri). Tidak perlu sebuah penelitian ilmiah untuk membuktkan itu. Cukup jalan keliling Lembata dan lihat, alami langsung. Wilayah yang subur ini sejak leluhur sampai sekarang dikelola secara tradisional tanpa sentuhan teknologi secuil pun. Pemimpin yang berwawasan kerakyatan akan tergerak untuk mengubah pola pertanian dengan sedikit modern tanpa pernah berandil merusak kelestarian alam.

Kita mendorong dinas pertanian dan dinas terkait untuk mengembangkan pangan berupa padi, jagung, ubi-ubian, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Pertanian ini mesti memprioritaskan benih-benih lokal milik warga yang telah bertahan berabad-abad tapi kini terancam tragis akan punah.

Benih pangan lokal adalah gerbang menuju masa depan yang aman melawan berbagai proyek penyebaran benih transgenik, salah satu mesin kapitalisme yang gencar merangsek  ke desa dan mencakar langsung ke basis-basis lokal pedesaan (Melky Koli Baran, Pangan Lokal Kembali ke Masa Depan, YPPS Press, 2014: V).

Warga petani diberdayakan dengan memakai pupuk organik yang ramah lingkungan. Pupuk-pupuk kimia merusak keutuhan alam lingkungan. Pemerintah khusus dinas terkait mengadvokasi dan mendampingi.

Ide membangun lumbung pangan di wilayah potensial ini mesti didukung dengan infrastruktur jalan yang baik. Selama sepuluh tahun terakhir, wilayah potensial yang subur pertanian ini paling buruk infrastrukturnya. Jalan berbatu penuh lubang, malah jadi kolam lumpur saat musim hujan.

Kondisi jalan di wilayah ini dijadikan komoditas politik pesta demokrasi Pilkada. Infrastruktur jalan akan dibangun kalau warga memenangkan bupati. Kalau kalah, berlaku sistem “antar dulang.” Jika ada 5 suara warga maka jalan dibangun 5 meter.   

Dukungan infrastruktur jalan ini memungkinkan gerak kendaraan untuk memobilisasi manusia dan hasil pertanian ke Pasar Pada di Lewoleba. Di pasar inilah warga dari pantai selatan Lembata bertemu dengan sesamanya dari kecamatan lain yang membawa ikan, siput, garam dan sebagainya. Barter maupun pertukaran uang bisa berlangsung. Terkait pasar, kita usulkan hanya satu pasar saja seperti yang menjadi kekhasan menyatukan Lembata sejak dulu.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved