Opini

Menggagas Masa Depan Lembata, Sebuah Pengamatan Orang Kampung

Selama satu tahun lebih penulis berjalan dari kampung ke kampung dan desa-desa di Lembata. Kami bertemu dengan orang kampung, omong dengan hati murni

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Menggagas Masa Depan Lembata (Sebuah Pengamatan Orang Kampung)

Oleh Steph Tupeng Witin

Perintis Oring Literasi Bukit Waikomo

TULISAN ini merupakan kulminasi dari getaran hati orang kampung yang merasa memiliki Lembata. Selama satu tahun lebih penulis berjalan dari kampung ke kampung dan desa-desa di Lembata. Kami bertemu dengan orang kampung, omong dengan hati murni di pondok (oring/ snugur) makan jagung titi dan ikan bakar, siput lawar, minum tuak kelapa (tuak tapor), tuak lontar (tuak koli) dan mendengarkan cerita orang kampung. Kita berusaha terlibat merasakan kegelisahan orang kampung terkait realitas Lembata setelah kabupaten pulau nan eksotik ini berlayar dalam perahu otonomi selama 20 tahun.

Selama rentang waktu otonomi daerah, getar pembangunan hanya terasa di kantor-kantor birokrasi, legislatif dan yudikatif. Jalan dan lorong dalam kota Lewoleba saja sangat buruk, sarat kolam lumpur. Padahal Lewoleba adalah etalase wajah peradaban Lembata. Khusus yudikatif pun, mesti diperjelas bahwa hukum hanya berlaku bagi kekuasaan, bisa atas nama jabatan, bisa atas nama uang.

Kasus-kasus yang diduga kuat melibatkan penguasa Lembata hanya berhenti pada “dugaan.” Kebenaran dan keadilan hanya bersarang di pidato dan sambutan. Kasus kemanusiaan yang sadis seperti Lorens Wadu hingga detik ini hanya menyisakan kisah dugaan di tengah rakyat terkait rekayasa saksi, rekayasa BAP, rekayasa pelaku, misteri sumur rumah jabatan bupati lama yang ditutup dan lokasi pembunuhan yang perlahan jadi pengetahuan publik Lembata.

Saat berkeliling Lembata ini, kita temukan gelimang potensi sumber daya alam darat dan laut yang menjanjikan. Potensi sumber daya pertanian terbentang di Kecamatan Atadei, Wulandoni dan Nagawutung, sebagian wilayah Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri), Kecamatan Lebatukan dan sebagian wilayah Kecamatan Nubatukan: Waikomo, Bakalerek, Paubokol, Uruor sampai Udak.

Wilayah yang subur pun terbentang dari Namakewa, Lite, Lewokukung hingga Belek. Sebagian wilayah Ile Ape pun cocok untuk pertanian lahan kering misanya jagung, kacang tanah dan kacang hijau.

Wilayah-wilayah ini memiliki potensi pertanian yang jika dikembangkan secara terencana dan terpadu dengan program pemberdayaan yang mumpuni akan menjadi lumbung pangan potensial bagi Lembata.

Rakyat Lembata butuh sosok pemimpin cerdas yang memiliki gagasan kepemimpinan dan peka membaca realitas sehingga menghidupkan potensi mati ini menjadi energi ekonomi yang dahsyat.

Selama sepuluh tahun terakhir, Lembata kehilangan sosok pemimpin yang memiliki gagasan cerdas untuk mengapresiasi beragam potensi tersebut. Fakta yang terjadi hanya grasa-grusu tentang pelantikan pejabat di pinggir laut yang kemudian dibatalkan karena menyalahi prosedur regulasi, kisah tentang pengangkatan pejabat yang melanggar alur kepangkatan, mengangkangi kualitas dan kapabilitas personal.

Padahal aspek-aspek inilah yang melahirkan keseganan aparat bawahan karena nilai kualitas dan kita pastikan akan menghadirkan kebaikan dan kebenaran untuk Lewotana. Bukannya ketaatan semu berlapis kemunafikan karena takut hilang jabatan dan takut mati karena terlampau sering pelesir ke rumah keramat di pinggir lokasi keramat.

Selama sepuluh tahun terakhir, ketaatan aparat bawahan lebih berbasis ketakutan akut dibuang ke Tobotani dan Dulir. Justin Wejak melukiskan fakta ini sebagai “kontekstualisasi filsafat ketakutan” yang berkembang subur di ruang-ruang birokrasi (Membangun Tanpa Sekat, 2020:136).   

Meski demikian, saya selalu percaya bahwa aparat birokrasi, legislatif dan yudikatif dalam hatinya berhasrat membaktikan diri bagi kemaslahatan rakyat. Mereka memiliki aneka bakat, potensi dan talenta dipadu profesionalisme lalu ketika disinergikan dalam sebuah sistem yang dikoordinnasi pemimpin berhati rakyat, tentu saja merasa memiliki Lembata, akan menghasilkan energi pengabdian yang militan.

Ketika berdiskusi dengan segelintir aparat PNS yang tergolong-belum tentu bernasib sial-“kelompok tersisih”, muncul gagasan cerdas bagaimana membangun Lembata dengan merajut komitmen bersama dalam sebuah orkestra kepemimpinan yang memiliki gagasan, terbuka terhadap masukan bawahan, aktif membangun ruang diskusi, dialog dan komunikasi dan tidak bertahan dalam egoisme kepemimpinan yang infantil, represip, arogan dan senang cari peluang untuk meraup kenikmatan diri di tengah hamparan derita rakyat.

Warga “kelompok tersisih” ini biasanya cerdas, berkomitmen dan tidak pernah akan tunduk pada arogansi kuasa. Apalagi kuasa di tangan satu orang yang gemar menggunakan kuasa hanya untuk menghentikan laju potensi, profesionalisme dan kreativitas yang berlawanan dengan hasrat, nafsu dan keserakahannya.

Dalam diskusi ini menyeruak gagasan segar untuk merancang sebuah masa depan Lembata yang lebih baik berbasis potensi lokal. Lembata tidak sekadar sebuah pulau eksotik yang melayang-layang di atas tubuh laut biru tapi juga kaya potensi, baik di darat dan laut.

Pengalaman selama sepuluh tahun ini mengembuskan energi baru untuk memikirkan sebuah basis ekonomi lokal khas Lembata yang mesti didukung dengan infrastruktur yang layak. Rakyat tidak makan festival tiga gunung (ile telo). Apalagi gebyar festival ini hanya sebatas pengerahan ASN dan anak-anak sekolah yang kelaparan di atas Bukit Cinta meski tetap selfie dengan beragam gaya melebihi artis-artis.  

Lumbung Pangan

Presiden Jokowi gencar membangun lumbung pangan selama masa pemerintahannya. Pertanian dan kelautan menjadi basis ekonomi bagi warga. Pemberdayaan warga menjadi gerakan populis yang mesti menggerakkan energi segenap komponen bangsa. Pangan lokal yang cukup akan menjadi amunisi bagi tubuh bangsa ini dalam gerakan pembangunan dimensi lain.

Gerakan Jokowi ini mestinya menginspirasi kepemiminan dalam semua level agar berpikir dalam konteks teritorinya. Tuhan telah memberi potensi yang luar biasa. Tuhan juga menganugerahkan kemampuan kepada setiap orang dengan kapasitasnya. Kapasitas itu mesti dipadukan dengan kapabilitas. Pengecualian tentu saja pada orang yang ijazahnya sejak sekolah dasar saja dipertanyakan.

Kita butuh pemimpin yang benar-benar merasa memiliki daerah dan rakyat. Orientasi kepemimpinan adalah rakyat. Setiap generasi akan lahir, tumbuh, dewasa dan mati. Maka pembangunan berkelanjutan mesti jadi skala prioritas yang mengapresiasi kelestarian lingkungan.  

Semua kecamatan memiliki potensi pertanian dalam konteksnya. Tanpa mengabaikan kecamatan lain, wilayah pertanian subur terbentang dari Kecamatan Atadei, Wulandoni, Nagawutung, Jalur Tengah: Bakalerek, Paubokol, Uruor, Udak dan Lewuka, termasuk wilayah Namaweka, Lite dan Lewokukung.

Wilayah-wilayah ini, meminjam ucapan orang Ataili; tiwa sukajo tawa di no mojipa en (buang batang ubi saja bisa tumbuh sendiri). Tidak perlu sebuah penelitian ilmiah untuk membuktkan itu. Cukup jalan keliling Lembata dan lihat, alami langsung. Wilayah yang subur ini sejak leluhur sampai sekarang dikelola secara tradisional tanpa sentuhan teknologi secuil pun. Pemimpin yang berwawasan kerakyatan akan tergerak untuk mengubah pola pertanian dengan sedikit modern tanpa pernah berandil merusak kelestarian alam.

Kita mendorong dinas pertanian dan dinas terkait untuk mengembangkan pangan berupa padi, jagung, ubi-ubian, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Pertanian ini mesti memprioritaskan benih-benih lokal milik warga yang telah bertahan berabad-abad tapi kini terancam tragis akan punah.

Benih pangan lokal adalah gerbang menuju masa depan yang aman melawan berbagai proyek penyebaran benih transgenik, salah satu mesin kapitalisme yang gencar merangsek  ke desa dan mencakar langsung ke basis-basis lokal pedesaan (Melky Koli Baran, Pangan Lokal Kembali ke Masa Depan, YPPS Press, 2014: V).

Warga petani diberdayakan dengan memakai pupuk organik yang ramah lingkungan. Pupuk-pupuk kimia merusak keutuhan alam lingkungan. Pemerintah khusus dinas terkait mengadvokasi dan mendampingi.

Ide membangun lumbung pangan di wilayah potensial ini mesti didukung dengan infrastruktur jalan yang baik. Selama sepuluh tahun terakhir, wilayah potensial yang subur pertanian ini paling buruk infrastrukturnya. Jalan berbatu penuh lubang, malah jadi kolam lumpur saat musim hujan.

Kondisi jalan di wilayah ini dijadikan komoditas politik pesta demokrasi Pilkada. Infrastruktur jalan akan dibangun kalau warga memenangkan bupati. Kalau kalah, berlaku sistem “antar dulang.” Jika ada 5 suara warga maka jalan dibangun 5 meter.   

Dukungan infrastruktur jalan ini memungkinkan gerak kendaraan untuk memobilisasi manusia dan hasil pertanian ke Pasar Pada di Lewoleba. Di pasar inilah warga dari pantai selatan Lembata bertemu dengan sesamanya dari kecamatan lain yang membawa ikan, siput, garam dan sebagainya. Barter maupun pertukaran uang bisa berlangsung. Terkait pasar, kita usulkan hanya satu pasar saja seperti yang menjadi kekhasan menyatukan Lembata sejak dulu.

Lumbung pangan ini menjadi prasasti ketahanan ekonomi Lembata dalam situasi apa pun. Saat pandemi seperti ini, jika pemerintah mengambil keputusan menutup akses ke luar dan masuk Lembata, pangan tersedia. Aman. Ketika rakyat Ile Ape mengungsi karena erupsi Ile Lewotolok dan kebun, ladang hancur berantakan, persediaan pangan aman. Lembata bisa mandiri pangan asalkan pemerintah berpikir cerdas-kontekstual serta bekerja keras, efisien dan efektif.

Rawat Mata Air

Persoalan urgen lain yang tengah mengancam Lembata adalah ketersediaan air minum bersih. Kota Lewoleba memang dilayani PDAM cukup lancar. Tapi keluhan menurunnya debit air terutama pada musim kemarau selalu mengemuka. Setiap desa memiliki sumber mata air yang kadang melayani kebutuhan warga beberapa desa tetangga.

Air adalah kebutuhan publik yang mesti digunakan untuk kepentingan publik sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Maka air mesti memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, bukan diambil oleh satu orang untuk memenuhi kebutuhan pribadi di rumahnya sendiri.

Pemerintahan Lembata yang baru mesti menelusuri ada dugaan “satu orang kuat” di Lembata mengambil satu mata air untuk dirinya sendiri. Privatisasi ini mesti dihentikan karena bertentangan dengan regulasi negara. Ketika mayoritas rakyat mengeluh kekurangan air, ada satu orang yang menguasai satu mata air untuk memuaskan egoisme.

Ada dugaan kuat, mata air itu ditukar dengan tenaga KSO. Kalau dugaan ini terbukti benar, praktik kekuasaan ini sangat tercela kalau tidak mau dibilang busuk.

Keluhan menurunnya debit air terkait erat dengan kelestarian alam lingkungan sekitar sumber mata air. Mayoritas kawasan mata air adalah hutan tutupan. Tapi mesti diawasi karena kadang ada penebangan kayu dan perusakan hutan sekitar.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) mesti membangun sinergi dengan berbagai komponen untuk menghijaukan lokasi secara berkala. BLH bisa menyiapkan tanaman yang berdaya merawat keutuhan alam dan akarnya menyimpan air demi mempertahankan debit air.

Kita dorong BLH agar proaktif mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk merawat sumber mata air di seluruh Lembata. Mungkin ada item dalam Juklak dan Juknis Dana Desa (DD) yang bisa dialokasikan untuk merawat kelestarian lingkungan sumber mata air.

Terkait penghijauan di lokasi sumber mata air, agama-agama khususnya Gereja Katolik mesti terlibat dan melibatkan diri bersama pemerintah dan komponen gerakan lingkungan hidup untuk menghijaukan lokasi mata air. Air minum bersih di pastoran dan gereja berasal dari sumber mata air yang mesti menggerakkan kita untuk terlibat dalam gerakan penghijauan.

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama (2015) melukiskan keterlibatan itu sebagai bagian dari spiritualitas karena “akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan universal (Harun: 8).Paus Fransiskus mengajak para pastor dan seluruh umat untuk terlibat mengusahakan air minum bersih.

Menurut Paus Benediktus  XVI, persoalan krisis ekologi tidak semata-mata adalah persoalan pencemaran atau kerusakan. Ia jauh lebih kompleks dan jauh lebih mendalam dari itu yaitu bagian dari persoalan religiositas dan iman kita.  

Kita boleh merayakan ekaristi tiap hari tapi setelahnya kita mesti minum kopi. Kalau air bersih dari Namaweka, Paroki St Arnoldus Janssen Waikomo kering misalnya, mungkin kita menimba air kotor dari persawahan Waikomo untuk buat kopi.

Terkait penghijauan ini, pihak PDAM Lembata rutin menghijaukan lokasi sumber mata air Namaweka. Tapi gerakan ini mesti diperluas dengan melibatkan warga dan Gereja Katolik.

Hal yang sama mesti dilakukan di paroki-paroki dalam kerja sama dengan aparat kecamatan dan desa. Gerakan ini akan melestarikan lingkungan mata air sekaligus menjadi investasi bagi generasi masa depan.

Segenap komponen Lembata mesti bergerak bersama-sama dalam semangat satu hati (taan tou) merawat Lembata agar mandiri dan menjadi basis hidup yang layak.

Generasi saat ini hidup di Lembata-profesi apa pun-mesti bertanggung jawab agar generasi masa depan tidak mengolok-olok kita sebagai manusia pecundang, egois dan sekadar penumpang instan. *

  

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved