Opini Pos Kupang
Omnibus Law: Menuju Masyarakat Produktif
Bonus demografi Indonesia memperlihatkan profil peningkatan jumlah penduduk usia produktif
Oleh Kristianto Naku, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM - Bonus demografi Indonesia memperlihatkan profil peningkatan jumlah penduduk usia produktif. Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil ( Dukcapil) menunjukkan data kependudukan Sementer I 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa (per 30 Juni 2020).
Dari total jumlah yang ada, penduduk usia produktif menginjak angka paling besar, yakni sebanyak 183,36 juta jiwa (68,7 persen). Jumlah ini tak sekadar angka, tetapi juga soal orientasi visioner dan kualitas kesejahteraan. Maka, pertanyaan kritisnya: "Bagaimana memberdayakan penduduk usia produktif ini untuk kesejahteraan bangsa dan negara?"
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengkalkulasi bonus demografi ini dalam peta kualitas dan peluang kerja. Dari data yang ada -melirik konteks dikeluarkannya UU Cipta Lapangan Kerja -terdapat lebih dari 7 juta orang belum mendapatkan pekerjaan (kategori pengangguran).
Baca juga: Yayasan Papa Miskin Adakan Penguatan Kapasitas Untuk Desa Bebas Malaria
Angka ini menjadi ancaman serius bagi negara mengingat dalam kurun waktu setahun, Indonesia selalu mendapat bonus angkatan kerja baru sebanyak 2 juta orang.
Angkatan kerja baru ini diklasifikasikan ke dalam dua jenis pekerja, yakni pekerja formal dengaan total 55,3 juta pekerja (42,74 persen) dan pekerja informal sebanyak 74,1 juta pekerja (57,26 persen). Dari angka ini, terlihat bahwa jumlah pekerja informal lebih mendominasi daripada pekerja formal. Meningkatnya jumlah pekerja informal, umumnya dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem informasi dan teknologi. Ruang gerak usaha dan kerja pun lebih banyak memanfaatkan infrastruktur digital.
Baca juga: BREAKING NEWS: Tim Khusus Kejati NTT Geledah Kantor BPN NTT
Lalu bagaimana strategi pemerintah dalam mencermati angka ini dan peluang yang mungkin bisa diambil? Pemerintah yang bijak tentu bisa membaca semua grafik performa angka jumlah penduduk dan bagaimana kemudian ia menyusun strategi agar bisa menangkap peluang.
Pemerintah yang bijak, juga tak ingin bonus demografi hanya menjadi angka yang mampu memperkuat bangsa secara kualitatif. Jika hanya bangga secara kualitatif, untuk apa?
Dalam orientasi kebijakan jangka panjang, pemerintah melalui kepala negara Presiden Joko Widodo membuat sebuah perencanaan matang dan melihat dengan jeli, faktor-faktor apa saja yang menghambat para pekerja untuk terjun ke lapangan kerja.
Langkah yang diambil sejauh ini adalah membuka investasi dan perluasan lapangan kerja. Dengan membuka kran investasi, pemerintah mampu menekan laju pertumbuhan ekonomi ke angka 7% atau lebih. Ini adalah target.
Dampaknya, jika pertumbuhan ekonomi menguat dengan menarik investasi, maka pemerintah mampu mengcover 7 juta penganggur dan 2 juta angkatan kerja baru setiap tahun. Kebijakan membuka investasi, kemudian memiliki efek turunan, yakni membuka dan memperluas lapangan kerja baru.
Dalam hal ini, pemerintah tentu saja tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan perluasan lapangan kerja (dengan membuka investasi) dan upaya perlindungan pekerja (existing).Untuk membuka lapangan kerja baru dan upaya perlindungan pekerja, maka diperlukan reformasi regulasi secara menyeluruh.
Gurita regulasi perlu disederhanakan, diselaraskan dan dipangkas agar tak mempersulit, baik kegiatan investasi maupun para pekerja sendiri.
Mimpi Jokowi tak berhenti di hari ini. Ia bergerak ke depan. Di tangan Jokowi, gurita regulasi dirampingkan ke dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebagai kepala rumah tangga dan warga negara Republik Indonesia (RI), Jokowi memetakan konsep.
Saya salut, di masa pandemi Covid-19 ini, Jokowi tak hanya berpikir satu arah -kesehatan melulu. Ia tak hanya mencemaskan dirinya sendiri. Ia tak hanya berpikir ke dalam.