Bupati Kornelis Minta Stop Kawin Tangkap, Langgar HAM dan Hak Perempuan
Bupati Sumba Barat Daya ( SBD), dr. Kornelius Kodi Mete meminta masyarakat Sumba Barat Daya untuk menghentikan kawin tangkap
POS-KUPANG.COM | TAMBOLAKA - Bupati Sumba Barat Daya ( SBD), dr. Kornelius Kodi Mete meminta masyarakat Sumba Barat Daya untuk menghentikan kawin tangkap karena melanggar Hak Asasi Manusia khususnya perempuan.
"Bila hal itu terjadi maka akan berurusan dengan proses penegakan hukum," ujar Bupati Sumba Barat Daya, dr.Kornelius Kodi Mete melalui pesan singkat WhatsApp kepada Pos Kupang , Sabtu (18/7/2020).
Menurutnya, bila hal itu sampai kembali terjadi maka harus dilihat kronologi dari peristiwa tersebut. Bila peristiwa benar-benar melanggar ketentuan perundangan yang berlaku maka harus diproses sesuai hukum positif yang berlaku. Karena itu, ia menghimbau masyarakat Sumba Barat.Daya stop melakukan kawin tangkap demi kebaikan bersama daerah ini.
• Parodi Situasi Minggu 19 Juli 2020: Taman Cinta Ditutup
Menurut Kornelis, dirinya bersama Bupati Sumba Barat, Drs.Agustinus Niga Dapawol, Bupati Sumba Tengah, Drs. Paulus SK Limu dan Bupati Sumba Timu, Gidion Mbilijora telah menadatangani kesepakatan bersama stop kawin tangkap di Pualu Sumba yang dihadiri langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati bulan lalu di Waingapu, Sumba Timur.
Kesepakatan itu dibuat setelah muncul video viral pada akhir Juni lalu yang memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan kawin tangkap atau penculikan untuk perkawinan.
• Menikmati Indahnya Wisata di Sikka, Jembatan Batu Membelah Laut di Kojadoi
Terjadinya kasus kawin tangkap di Sumba ini mendorong berbagai lembaga seperti LSM, akademisi di wilayah Sumba dan luar Sumba membentuk Tim Stop Kawin Tangkap pada tanggal 29 Juni 2020 untuk melakukan penelusuran di Pulau Sumba.
Menurut salah satu anggota tim, Tori Ata, SH, dari penelusuran tim ini, sejumlah korban kawin tangkap mengungkapkan keluh kesah mereka.
Disebutkan, R (21 tahun), warga Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah menjadi korban kawin tangkap pada tanggal 16 Juni 2020. R ditangkap beberapa laki-laki dan dibawa secara paksa ke rumah N (seorang laki-laki yang tidak dikenalnya).
"Saya tidak mau, saya tidak mau! Saya mau sekolah," teriak R saat ditangkap sejumlah lelaki.
Disebutkan, R terus berusaha melawan dan berontak. Tapi ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman para lelaki yang menculiknya dan membawanya secara paksa. Sebelum menangkap R, maka N meminta rombongannya terlebih dahulu mengikatkan seekor kuda di halaman rumah R.
"Kalau mau ambil anak saya, jangan dengan cara seperti ini karena masih ada cara yang lebih baik," kata orantua R kepada tim. Tetapi rombongan itu tidak mempedulikan dan R tetap dibawa. Sejak peristiwa penculikan, R dikurung di rumah pelaku dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Korban lainnya Citra, bukan nama sebenarnya kepada BBC News Indonesia melalui telepon, Senin (6/7) menceritakan praktik 'kawin tangkap' yang dia alami saat tinggal di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017.
Ia mengaku ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkannya sebagai menantu. Pada Januari tahun lalu itu, Citra bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat dan diminta ikut rapat oleh pihak yang ia sebut janggal dari keseharian tugasnya. Meski demikian, ia memenuhi tanggung jawabnya dan menghadiri pertemuan itu.
Kira-kira satu jam setelah pertemuan itu berjalan, Citra mengatakan bahwa mereka meminta untuk berpindah lokasi. Citra mengiyakan dan hendak menghidupkan mesin motornya ketika sejumlah orang tiba-tiba mengangkat dan membawanya ke dalam sebuah mobil. Wanita yang saat itu berusia 28 tahun tersebut menjerit dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
"Tapi, saat itu ada dua orang yang memegang saya di belakang (mobil). Saya tidak punya kekuatan," tuturnya sambil mengingat kejadian itu kepada .