Opini Pos Kupang

Siasat Teknologi Biomolekuler Menghadapi Krisis Pandemi

Untuk keluar dari krisis panjang, salah satu hal yang mungkin ditempuh adalah mencari celah teknologi biomolekuler

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Siasat Teknologi Biomolekuler Menghadapi Krisis Pandemi
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh: Fima Inabuy, Doktor Biomolekuler lulusan Washington State University (AS), Anggota Forum Academia NTT

POS-KUPANG.COM - Untuk keluar dari krisis panjang, salah satu hal yang mungkin ditempuh adalah mencari celah teknologi biomolekuler terkait teknologi kesehatan, dan mencari kombinasi yang pas dengan terobosan di garis batas ekonomi-kesehatan-keamanan.

Dengan cara ini ruang hidup bisa dibuka perlahan dengan lebih percaya diri, dan aktivitas dagang/industri, pendidikan, kerja, birokrasi, perjalanan dengan menggunakan transportasi public dapat dilakukan sambil tetap menekan risiko penyebaran Covid-19.

Namun, penguasaan teknologi dan penerapannya belum menjadi praktik integral dalam menjawab tantangan kompleksitas kehidupan bernegara di abad ke 21 ini yang amat terkait dengan kompetisi teknologi.

40 Pemuda Karang Taruna Mahekelan Gali Kearifan Lokal tentang Kepemimpinan

Hal inilah yang saya rasakan saat dunia memasuki era pandemi Covid-19, dan Indonesia tertinggal dalam menyusun strategi.

Bagi orang yang terbiasa menggunakan qPCR (quantitative Polymerase Chain Reaction), akan sulit untuk tidak gelisah ketika laju tes swab berjalan sangatlambat di awal wabah ini menghampiri Indonesia di pertengahan Maret. Proses yang seharusnya memakan waktu hanya 3, atau paling lama 4 jam, tertunda menjadi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Minimalisir Masalah PPDB

Alasannya: keterbatasan alat, laboratorium, harga reagen yang sangat mahal, dan sumber daya manusia yang mahir menjalankan tehnik sederhana bernama Polymerase Chain Reaction (PCR) itu.

Maka ketika pandemi ini akhirnya merambah ke Nusa Tenggara Timur, kegelisahan tersebut bertambah. Jumlah ventilator, tempat tidur, ruang rawat, para medis khususnya dokter spesialis paru-paru yang jauh dari memadai di provinsi ini menjadikan ketidaknyamanan rasa yang sudah ada kemudian merambat menjadi desakan untuk berpikir mencari jalan keluar, di kala tidur dan terjaga. Apa yang bisa dibuat untuk segera mengetes sebanyak mungkin orang dalam waktu yang cepat dengan biaya yang lebih murah?

Pooled-test adalah jawabannya, suatu metode deteksi dini berskala besar berbasis teknik PCR. Maka pemikiran itu saya tuangkan dalam sebuh proposal kecil, disertai dengan protokol labnya secaraterperinci.

Sederhananya, pooled-qPCR test adalah modifikasi dari tehnik qPCR biasa dalam hal jumlah sampel yang digunakan. Jika dalam PCR biasa, satu reaksi hanya menggunakan sampel dari satu orang. Dalam pooled-qPCR, satu tabung reaksi mengandung sampel kolektif hingga 50 individu sekaligus.

Deteksi dini berskala besar menggunakan metode pooled-qPCR sesungguhnya adalah kunci untuk mencegah penularan Covid-19. Pengoperasian satu unit qPCR di Laboratorium Biomolekuler di RS W Z Yohanes, Kupang, yang meski membantu, masih terasa pincang ketika akumulasi ratusan sampel tidak diimbangi dengan hasil tes 48 sampel per hari.

Meskipun tehnik qPCR individual ini, penting untuk tujuan diagnosa klinis, pendekatan ini saja tidaklah cukup untuk menelusuri secara dini (quick tracking) dan menekan penularan Covid-19.

Metode pencegahan yang sudah dilakukan saat ini seperti physical distancing dan praktik-praktik sanitasi diri dan lingkungan adalah baik adanya tetapi perlu dilengkapi dengan suatu metode deteksi dini berskala besar.

Suatu strategi pencegahan yang lebih terukur dan tepat sasaran. Penanganan Covid-19 dengan pendekatan klinis-individual yang ada sekarang sangat perlu didampingi dengan suatu pendekatan preventif-epidemiologis melalui deteksi dini untuk mencegah penularan Covid-19 di tengah-tengah masyarakat.

Penerapan physical distancing berdampak kuat pada kehidupan ekonomi masayarakat NTT. Larangan berkumpul di tempat umum menyebabkan aktivitas jual beli di pasar-pasar tradisional di Kota Kupang menurun drastis.

Kondisi ini menyebabkan hasil tani dari desa-desa di diberbagai kabupaten menjadi kurang terserap, sehingga harga bahan pangan jatuh atau bahkan tidak terjual. Petani dan penduduk desa kehilangan penghasilan.

Dampak yang sama juga dirasakan di kota. Menurunnya aktivitas masyarakat di luar rumah menyebabkan pendapatan pedagang, penyedia jasa, perhotelan, rumah makan, sopir, sampai ojek online berkurang secara drastis. Deteksi dini berbasis pooled-qPCR dapat membantu mengatasi hal ini dengan lebih cepat.

Melalui tehnik pooled-qPCR dapat diketahui secara cepat area mana yang sudah terdampak Covid-19 dan area mana yang belum. Berdasarkan informasi ini dapat dilakukan pembatasan area secara selektif. Area terdampak dapat diisolasi sementara, sedangkan area tak terdampak dapat tetap dibuka sehingga masyarakat dapat tetap beraktivitas seperti biasa. Dengan demikian aktivitas perekonomian dapat tetap berjalan.

Pooled-qPCR test, jika direalisasikan, akan memperkuat kerja pemerintah setidaknya dalam empat hal. Pertama, membantu mempercepat penelusuran contact-tracing; kedua, menjembatani besarnya gap antara jumlah OTG (Orang Tanpa Gejala) dan ODP (Orang Diduga Penderita) yang seharusnya dites swab dengan jumlah sesungguhnya yang telah dites; ketiga, menghemat biaya operasional penanganan COVID-19 di NTT; dan keempat, mempercepat pemulihan ekonomi kecil dan menengah -maka deteksi dini pembawa virus tanpa gejala maka pooled-qPCR test seharusnya menjadi kunci dalam memitigasi penularan COVID-19 di Indonesia, termasuk di NTT.

Dalam hal ini PCR tidak hanya digunakan sebagai perangkat diagnosa klinis orang per orang (clinical diagnostic tools for individuals) seperti yang umum saat ini, tetapi juga sebagai perangkat deteksi dini berskala besar (early detection tools for large groups) untuk pencegahan.

Sejak audiensi pertama di Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 1 Mei 2020, tidak terbayangkan jalan terwujudnya ide ini akan sedemikian berliku. Namun itulah kenyataan yang harus saya dan tim kecil kami-orang-orang yang sederhana namun luar biasa di Forum Academia NTT-hadapi, demi terwujud-nyatanya upaya tes massal ini.

Tidak terhitung tenaga dan waktu yang dikeluarkan secara spontan saja, tanpa pernah memikirkan imbalan, untuk lagi dan lagi mengetuk pintu berbagai instansi terkait untuk bergerak, untuk berkoordinasi satu sama lain.

Nadi kerja kami adalah kesukarelaan dan kecintaan pada sesama, bukan keuntungan apalagi materi. Pemberitaan media beberapa hari terakhir yang telah memutarbalikkan fakta ini bisa saja kami konfrontir dengan mudah, tetapi waktulah yang akan membuktikan sebaliknya. Kesejatian setiap orang di dalam tim kerja Pooled-test ini akan terus terwujud nyata dalam bekerja dan memberi.

Jika tadinya saya hanya mendengar seliweran opini tentang bobroknya komunikasi antara instansi pemerintahan, kini kami ada di tengah-tengahnya dan merasakan betul kebenarannya. Di lima minggu teakhir ini, terasa sekali tenaga dan waktu lebih banyak dihabiskan untuk mendatangi dan menemui pimpinan dan pengambil-pengambil kebijakan di kantor pemerintahan, dinas terkait, rumah sakit, dan universitas, dan menghubungkan satu sama lain, dan meminta agar sesegera mungkin langkah realisasi diambil. We keep pushing this public agenda tirelessly, bit by bit.

Jika ada pelajaran yang saya petik dalam 6 minggu terakhir ini, ada dua hal. Pertama, pemerintahan tanpa konstruksi "komunikasi antar lembaga" yang kuat tidak mungkin mewujudkan ide-ide inovatif warganya, sebrilian apapun ide itu, hanya akan berakhir dalam lembaran-lembaran proposal.

Kedua, bekerja tanpa spiritualitas diri hanya akan menghasilkan kelompok-kelompok pekerja yang hanya menjalankan protokol tetap dari atasan, tanpa kreativitas untuk berbuat lebih untuk sesama.

Biomolekuler, suka atau tidak suka, memang bukanlah alat diagnosa yang murah. Dalam hitungan saya, untuk pengadaan satu buah laboratorium biomolekuler setidaknya kita membutuhkan dana 4 Miliar rupiah.

Jumlah ini sepintas mahal, tetapi jika dibagi dengan 5,4 juta penduduk NTT maka jika dihitung lurus kontribusi warga per orang adalah 740 rupiah. Jumlah ini sebenarnya tidak begitubesar, jika dibandingkan total dana anggaran pemerintah provinsi sebesar Rp 810 miliar dan dana kabupaten/kota di NTT sebesar Rp 797 miliar, atau totalnya Rp 1,6 triliun untuk penanganan Covid-19.

Jika dihitung berdasarkan persentase anggaran, jumlahnya 0,4 persen dari dana provinsi, atau 0,25 persen dari total anggaran. Jumlah orang yang dites bisa 50 kali lipat lebih banyak dibandingkan tes individual, dengan biaya yang sama.

Cukup mengherankan, baik pemerintah pusat maupun daerah serta DPR(D) juga merasa menyebarkan rapid test yang penyebaran per unit-nya sebesar 360 ribu, dianggap lebih baik daripada membiayai pembuatan laboratorium yang bisa menurunkan harga swab keangka 30 ribu, bahkan berpeluang lebih murah dari ini. Sekadar informasi, harga tes swab hingga hari ini di NTT sebesar 1,5 juta. Sedangkan di Jakarta 2,6 juta. Tapi mengapa bukan ini yang dikerjakan?

Berhadapan dengan krisis pandemi, penguasaan teknologi merupakan salah satu syarat kita untuk bertahan. Teknologi biomolekuler adalah salah satu dari sekian teknologi yang dibutuhkan. Untuk itu para pengambil keputusan publik perlu mengetahui pentingnya teknologi biomolekuler sebagai bagian dari usaha kombinasi ekonomi-kesehatan-keamanan untuk keluar dari krisis pandemi di level kompetisi antar negara, lalu mendukungnya dan bukan malah mensabotase karena ketiadaan visi, atau karena keranjingan berdagang. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved