Opini Pos Kupang
Relevansi Agama Versus Intoleran
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Relevansi Agama Versus Intoleran
Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang berjudul Relevansi Agama Versus Intoleran
Oleh Krisantus Minggu Kwen (Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka)
POS-KUPANG.COM - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah teruji sejak berdirinya di tahun 1945. Gerakan militerisme maupun idiologisme mampu ditangkal oleh founding fathers bangsa kita. Para pemimpin negara dapat menyelesaikan dengan tuntas setiap gerakan perlawanan terhadap negara dengan beragam pendekatan.
Pendekatan militer dan keamanan memang digunakan jika siituasi tertentu perlu disikapi karena tuntutan keadaan yang membahayakan keselamatan warga negara. Namun jauh lebih efektif adalah Negara membangun kesadaran masyarakatuntuk hidup rukun bersatu di bawah ideologi Pancasila.
Ideologi yang merupakan dasar negara ini telah menjamin kemerdekaan setiap warga untuk memeluk agama dan kepercayaannya secara baik dan benar. Komitmen ini dipegang oleh pemimpin bangsa kita dengan menciptakan dan menegakkan hukum secara konsisten.
Sementara itu agama-agama yang mampu hidup berdampingan di Indonensia sebetulnya adalah jawaban akan relevansi sosial akan kenyataan perbedaan dalam masyarakat. Di akar rumput (grass root) para pemeluk dapat hidup berdampingan. Ini membuktikan bahwa agama-agama memiliki sebuah visi yang sama untuk membangun masyarakat dan dunia.
Gerakan Anti Toleransi
Munculnya fenomena baru anti toletansi di Indonesia dalam satu dekade terakhir janganlah dianggap sepele oleh para pemimpin kita. Hal demikian muncul seiring dengan perkembangan yang luar biasa melalui media-media alternatif. Kemajuan media digital jugadimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh segelintir orang yang mengatasnamakan agama tertentu untuk membangun argumentasi ideologi dan dogmatis secara serampangan dan naif.
• Jalan Fatumnasi-Nenas Kapan Dikerjakan, Ini Tanggapan Bupati TTS
Demikianpun merebaknya pemuka-pemuka agama "karbitan" mencoba memengaruhi publik dengan wacana anti tolenasi di sejumlah youtubers yang merebak di media digital. Tetapi harus diakui bahwa agama-agama di Indonesia sama sekali tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada gerakan anti toleransi.
Namun demikian aparatur negara kita tidak boleh lengah akan situasi ini. Menerapkan hukum secara konsisten terhadap kemunculan gerakan anti toleransi adalah jawaban yang paling strategis dari negara untuk menjamin kemerdekaan setiap agama dan kepercayaan dalam melaksanakan ibadatnya.
Guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta, Azyumardi Azra (2010) pernah mengingatkan kita bahwa kendala dan hambatan terhadap kebebasan agama dan keyakinan terletak kepada ketidakmampuan negara menegakkan undang-undang dan ketentuan dan peraturan hukum nasional maupu internasional (yang sudah diratifikasi) dalam kehidupan aktual umat beragama. Rambu-rambu ini seharusnya diwaspadai secara baik, benar dan terukur oleh aparatur hukum kita. Penelitian dari lembaga Setara Institute 12 tahun terakhir ini memperlihatkan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparat negara kita dalam menegakkan hukum. Karena ormas keagamaan, aparat kepolisian, dan pemda ternyata ikut terlibat dalam tindakan intoleransi (Kompas, 5/2/2020).
Jika mau jujur, maka kita harus mengakui bahwa fenomena-fenomena kemunculan youtubers yang menyerang sistem dogmatis dan teologi agama-agama tertentu merupakan penyangkalan akan relevansi agama dalam hidup berbangsa dan bertanah air.
Irelevansi agama tersebut merupakan bentuk lain dari upaya untuk melemahkan sistem bernegara yang telah disepakati oleh founding fathers kita. Membiarkan fenomena ini merebak tanpa upaya untuk menangkalnya sama dengan menyimpan bom waktu yang akan meledak kapan saja dan dimana saja di seluruh pelosok tanah air Nusantara ini.
Antisipasi Kegagalan
Pada umumnya ada dua gejala yang merongrong kewibawaan hukum ketika berhadapan dengan gerakan intoleransi di Indonesia. Pertama, kurangnya kemauan politik penguasa. Indikatornya terletak pada keengganan aparat pemerintah dan aparat hukum dalam menjamin aktualisasi kebebasan beragama dan keyakinan. Pluralistik merupakan konditio sine qua non keberadaan bangsa ini.