Berita Cerpen

Cerpen Chan Setu: Wilhelmina

Cerpen Chan Setu: Wilhelmina. Dua minggu yang lalu, kami sempat bercerita di trotoar jalan menuju ibu kota.

pos kupang
Cerpen Chan Setu: Wilhelmina 

"Mencintai tak harus jadi puisi." Sebab mencintai itu bukan prahara dari sekian banyaknya syair yang kau lantunkan di dalam bait-bait puisi indahmu.

Bukan pula permainan kata dengan metafora bahasa yang kau kawinkan dari satu sudut pandang ke sudut pandang yang lain dengan segala alur yang bisa kau mainkan begitu saja seenaknya.

Kadang maju kadang juga mundur atau maju-mundur sesukamu hingga membuat semua orang jadi ambigu untuk memahaminya dan hanya kau yang benar-benar memahami dengan segala suasana perasaan dirimu.

"Cinta itu sebuah doa yang ketika kau kenang, ia mampir tanpa malu dalam rumusan doa yanng singkat."
"Tuhan, terima kasih untuk cinta-Mu kepadaku lewatnya."

Ungkapan Ving itu membuatku lupa pada hayalku dan sekaligus menyadarkanku dari dunia romantis imajinasiku sendiri.
Barangkali benar juga ucapan Ving. Sebab, aku sering mengagumi seorang wanita lewat puisi-puisiku tapi tak pernah terbacakan dengan lidahku sendiri.

Terbaru, Korban Virus Corona Sudah 2.545 Orang Terjangkit dan 80 di Antaranya Tewas

"Batinku."
"Tapi Ving, bukankah setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk mencintai?"

Aku membahasakan cinta tanpa membacakannya dengan baik dari setiap rasa yang kutulis dalam sajak-sajak kecil, sedangkan kau, kau pandai membahasakan cintamu itu lewat lagu-lagu yang kau ciptakan dan nyanyikann sehingga tak ada satu pun wanita yang tidak kau rayui dengan nada-nada lagu yang tersentuh itu," elakku kemudian.

"Jimmy, Jimmy, sudah berapa kali coba, aku bilang jangan sekadar keceplosan untuk mengaguminya. Cinta bukan soal keceplosan melainkan soal keberanianmu. Atau jangan-jangan kau takut diabaikan dan ditolak. Jika karena itu aku sarankan memendam itu lebih mmenyiksa dan lebih sakit rasanya ketimbang kau tahu bahwa ia menolak keberanianmu mengungkapkan perasaanmu."

Aku menimang-nimang ungkapan Ving yanng terakhir itu. "Benar juga katanya, memendam dan hanya sebatas mengagumi sekalipun kami begitu dekat dan seringkali aku dibuantya cemburu oleh keakrabannya dengan teman-teman laki-lakiku.

Virus Korona Menyebar dengan Cepat, Lakukan Hal Ini Untuk Tingkatkan Kekebalan Tubuh

Namun, aku sadar aku bukan siapa-siapa baginnya yang tidak pantas untuk dicemburui atau sekadar melarangnya bergaul dan berbicara dengan siapa saja. Percakapan dua minggu yang lalu, masih sebatas keceplosan.

"Aku mencintainya lebih dari caraku mengagumimu."
Dua minggu yang lalu, aku lihat ada harapan yang mula-mula terang benderang hingga redup perlahan-lahan. Mungkin saja aku mencintainya namun ia tak mencintaiku. Seperti sebuah pilihan, dan aku hanya dipanggil menjadi bagian dari hidupnya tidak dipilih oleh cintanya untuk mencintai dan dicintai.

Dua minggu yang lalu, saat pisah kami di gang-gang panjang dengan tembok-tembok tinggi di hadang bangunan-bangunan pencakar langit aku lihat ia dengan manjanya memeluk tubuh seseorang yang kupanggil namanya Reynhar.

"Aku cemburu." Bisa saja. Ingat aku bukan siapa-siapanya. Aku hanya dianggap sebagai saudara, sahabat, kakak dan teman yang perasaan untuk mencintai dan jatuh cinta telah kukubur jauh sebelumnya dari segala perasaan dan aku turut bahagia bersama setiap cerita dan tawa renyahnya.

"Terima kasih Tuhan. Engkau telah mengajariku untuk mencintiamu dari menganguminya."

Nasib Tenaga Honorer Akan Ditentukan Tahun 2023, Jadi PNS atau Diberhentikan, Simak Info Lengkapnya!

***
Wilhelmina nama yang saban hari kutulis dalam imajinasiku dia gadis yang kuciptakan bersama realitas semu diriku. Dia gadis yang polos, sederhana, cantik, simple dan membuatku jatuh hati tanpa bisa menyentuhnya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved