Breaking News

Opini Pos Kupang

Birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik

Baca Opini Pos Kupang berjudul: birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik
Dok
Logo Pos Kupang

Baca Opini Pos Kupang berjudul: birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik

Oleh:  Adi Dami, Sekda Kota Kupang, 2010-2012, Alumni Pascasarjana Studi Pembangunan, UKSW, Salatiga

POS-KUPANG.COM - PUBLIK yang cenderung demanding atau penuntut memang menjadi ciri masyarakat dewasa. Jelas ini dikarenakan masyarakat tidak lagi sehomogen beberapa waktu lalu dalam hal daya kritis, dan persepsi dalam mengartikulasikan kepentingannya terkait kinerja pelayanan publik.

Untuk meneropong preferensi masyarakat atas kualitas pelayanan publik, maka Ombudsman RI perwakilan NTT, merilis hasil survey pelayanan publik Pemerintah Kota Kupang, berada pada zona merah dengan tingkat kepatuhan rendah. (PK, 09/12).

Pelatih Persib Maung Bandung Tak Akan Pakai Kevin van Kippersluis di Musim Depan, Lihat Nasibnya

Menarik apa yang dieksplorasi Ombudsman NTT. Namun, perlu dipahami, hasil survey, tidak langsung berarti "suara Tuhan". Karena; Pertama, tingkat kepuasan atas pelayanan publik bisa naik-turun dari waktu ke waktu. Kedua, kepentingan (survey) sesaat dan jangka pendek bisa mendistorsi persepsi publik. Ketiga, distorsi informasi maupun ketidakcukupan informasi bisa mempengaruhi pendapat publik secara signifikan.

Ini merupakan argumentasi teknis sebagai agensi kompeten pengetahuan yang berpengaruh dalam mengonstuksi realitas pelayanan publik. Oleh karena itu, membaca hasil survey tidak sebatas melihat data kuantitatif yang dipaparkan secara tidak terintegrasi. Menelaah data primer memerlukan kejernihan pemikiran yang bebas nilai. Artinya, tidak boleh ada persepsi terhadap persoalan pelayanan publik yang diteliti terlebih dahulu. Ini merupakan "hukum besi" dalam penelitian ilmiah, terkecuali terhadap model penelitian yang sifatnya pesanan.

Kunci Kemenangan Telak Maung Bandung Saat Persib Bandung Habisi Badak Lampung FC 4-0, Lihat

Terlepas dari penjelas teknisnya, substansi persoalan pelayanan publik ini mendesak ditemukan solusinya karena menyangkut performa institusi publik dan kepentingan publik. Pertanyaannya, siapa yang berhak dan kompeten secara moral dan epistemologi, menilai hasil survey Ombudsman itu?.

Jawabannya, hanya birokrasi dan publik yang paling berkompeten menafsifkan. Karena mereka yang mencipta, melaksanakan, mengalami dan menghidupi praktik-praktik pelayanan publik.

Rasionalitas Tindakan

Kecerdasan birokrasi merupakan katalisator terakhir bagi kualitas pelayanan publik yang terus diuji secara terbuka, objektif dan terus-menerus. Rasionalitas ini akan menguji apakah sebuah pelayanan publik merefleksikan preferensi yang penuh kedalaman analisis, pertimbangan seksama ataukah sebaliknya hanya pilihan dangkal, pragmatis, dan kebetulan belaka.

Menurut Weber dalam Hilmy, (2014), menegaskan bahwa orientasi tindakan bertumpu pada empat jenis rasionalitas. Pertama, rasionalitas instrumental. Dalam kecerdasan semacam ini, tindakan seseorang hanya didorong oleh keinginan-keinginan subyektif instrumental untuk mengapai tujuan pragmatis belaka. Tindakan seseorang dalam kategori ini hanya didorong oleh kalkulasi untung-rugi.

Kedua, rasionalitas nilai. Tindakan seseorang didorong oleh keyakinan akan kandungan nilai yang ada di balik tindakan itu. Sama seperti rasionalitas pertama, rasionalitas jenis ini dihasilkan oleh sebuah proses intelektual-kognitif publik dalam mengambil sebuah keputusan. Pilihan tindakannya sama-sama rasional, tetapi cakupannya melampaui batas-batas pragmatisma sempit. Barangkali inilah rasionalitas tindakan paling ideal.

Ketiga, rasionalitas tradisional. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan seseorang hanya dibimbing oleh bingkai tradisi yang tidak tunduk pada prinsip-prinsip kemasukakalan rasionalitas. Tindakan seseorang dilakukan semata-mata karena tradisi mengajarkan demikian. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme intellectual exercises yang mengantarkan seseorang pada pilihan tindakannya. Pilihan tindakan seseorang terjadi akibat adanya intervensi tradisi dalam proses pengambilan keputusan. Persis seperti jargon popular dalam sebuah iklan "sudah menjadi tradisi"

Keempat, rasionalitas afektual. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan tindakan seseorang hanya didorong oleh aspek perasaan semata., bukan hasil olah kognisi pikirannya. Rasionalitas terakhir ini memiliki mekanisme atau modus yang hampir sama dengan rasionalitas tradisional: tidak ada signifikansi olah pikir manusia dalam menghasilkan sebuah pilihan atau keputusan. Pilihan diambil karena perasaan suka atau tidak suka. Tidak lebih dari itu.

Secara teoretis, konsepsi keempat rasionalitas diatas tentu saja bukanlah tipologi paling memuaskan untuk menjelaskan fenomena pilihan atau tindakan yang menyebabkan (penilaian) rendahnya kulitas pelayanan publik. Tidak ada rasionalitas tunggal yang dapat menjelaskan semuanya. Bisa jadi terdapat overlapping antara satu dan lainnya. Bahkan, bisa saja terdapat keempatnya dibalik sebuah keputusan pilihan pelayanan publik.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved