Opini Pos Kupang
Birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik
Baca Opini Pos Kupang berjudul: birokrasi, Ombudsman dan Pelayanan Publik
Kongkretnya, perlu pembakuan prosedur dalam pengambilan tindakan pelayanan publik, terutama yang berkaitan dengan (a) bagaimana tindakan itu dibuat, (b) mengapa tindakan itu dianggap penting, (c) bagaimana dampak tindakan itu, (d) informasi-informasi apa yang harus dipenuhi serta kriterianya dalam pengambilan tindakan, (e) peraturan, prosedur dan persyaratan apa yang harus dilalui untuk sampai pada keputusan.
"Public Officer"
Istilah Ombudsman berasal dari kosa kata Swedia yang arti harafiahnya adalah seorang public officer yang mempunyai tugas untuk menangani keluhan masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah.
Secara ideal Ombudsman bertindak sebagai "pengacara" bagi masyarakat, yang biasanya bertindak atas keluhan dan pengaduan masyarakat. Namun juga dapat bertindak secara pro-aktif terhadap masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. Disamping itu, Ombudsman juga dapat berperan sebagai "auditor" pelayanan publik.
Dengan kata lain, Ombudsman, dapat memberikan dua "jasa layanan" di sektor publik. Pertama, investigasi berkaitan dengan maladministrasi, seperti inefisiensi, prosedur yang tidak dapat diterima maupun tindakan administratif yang tidak patut.
Kedua, bertindak sebagai mediasi terhadap pengaduan-pengaduan yang esensinya bukan diakibatkan oleh "penyimpangan" administrasi yang serius dengan menerapkan alternative dispute resolution method.
Dalam melaksanakan tugas, Ombudsman melakukan pendekatan yang independen, objektif, dan selalu melakukan investigasi yang fair, akan menampung keluhan dan pengaduan yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Dengan kata lain, Ombudsman dapat berperan sebagai titik singgung antara birokrasi dengan publik yang dilayaninya. Ombudsman akan menerima dan memproses umpan balik dari masyarakat untuk kemudian disampaikan kepada birokrasi.
Informasi yang disampaikan kepada birokrasi bersifat mengikat, karena berupa rekomendasi yang dilandasi oleh tatanan yuridiksi. Singkatnya, peran Ombudsman bukan hanya sekedar "telinga" birokrasi, tetapi juga memberi "petunjuk" kepada birokasi. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan "budaya pelayanan publik" sesuai norma dan standar yang berlaku.
Kekuatan Nilai
Menurut Khasali, (2005), suatu organisasi bisa bertahan panjang bukan di bentuk oleh manajemen yang hebat, tidak juga oleh orang-orang yang hebat, ataupun sistem, melainkan dibangun dengan kekuatan nilai. Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka ingin dari pemerintah dalam hal pelayanan publik.
Dalam teori pemerintahan, pemerintah yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Di sisi lain, ada paradoks, dimana pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat.
Padahal, saat ini dunia sudah berubah. Sehingga, cara kerja pun juga berubah. Orang mulai menggabungkan cara kerja dengan kesenangan. Sehingga, orang tidak akan jenuh bekerja. Begitu pula cara kerja mengelola pelayanan publik.
Karena itu, kualitas pelayanan publik yang baik harus memiliki goal alignment-semua orang bergerak kearah yang sama; birokrasi, masyarakat dan pelaku usaha. Tegasnya, kita harus berubah, dengan mengajak orang untuk melihat, bergerak, dan melakukan perubahan. (*)