Berita Cerpen
Cerpen Arnoldus Aliando Bewat: Mama Aku Rindu Doamu (In memoriam)
Doa dilantunkan, pujian dilambungkan, permohonan dirajutnya. Segurat senyum melekat di sudut bibirnya.
Itu adalah kebiasaan kami semua anaknya yang diajarkan oleh mama sejak kecil. Kemudian aku meninggalkan kamar itu untuk beberapa lama.
Setelah pulang dari Thomas Morus (salah satu gereja yang ada di jantung Kota Maumere) untuk merayakan kebaktian Natal, saya kembali menghampiri mama di ranjang dan sekali lagi memberikan dahiku sekaligus meraih tangannya untuk kukecupi.
Setelahnya, hari ini kulalui dengan bahagia tanpa beban dan terlihat ia pun melewatinya dengan senyum seolah ia sudah pulih dari sakitnya.
Kami semua anak-anaknya juga merayakan Natal bersama di rumah sederhana ini dan semua anggota keluargaku mulai dari ayah, ibu, kakak sampai adik hadir di sana dan kami melewati hari Natal dengan riang walaupun di baliknya tersemat luka yang dalam sedalam lautan luas dan selebar tirai langit.
Bagaimana mungkin engkau tidak sakit seandainya orang yang engkau cintai mengalami sakit. Bagaimana mungkin matamu tidak bersedih jika tanganmu tidak bisa berbuat apa-apa.
• Dua Jenis Surat Suara Tiba di Kabupaten TTS
Keluarga ibarat tubuh, satu anggota di antaranya sakit semuanya juga terlarut dalam sakit.
Waktu berlalu begitu cepat, hari berganti tanggal, menit ditinggal jam dan aku menjadi sadar bahwa besok aku harus kembali ke Ruteng melanjutkan cita-cita untuk menjadi seorang calon imam dan religius yang katanya harus taat dan setia. Semua kebutuhan dan perlengkapanku telah disiapkan oleh kedua kakakku dan segenap anggota keluarga dan ayahku, mulai dari sabun hingga pasta gigi telah terbungkus rapi di dalam kardus, tinggal menunggu waktu untuk pergi.
Aku kemudian melirik pada permukaan kertas tiket yang disodorkan oleh ayahku pada siang tadi, dijemput jam enam pagi. Ah, rasanya aku membatalkan perjalanan ini. Berat bagiku untuk menapaki perjalanan yang membutuhkan sehari penuh untuk dilalui mulai dari Maumere, Ende, mendaki ke Nagekeo, Bajawa, turun lagi ke Aimere mendaki lagi ke Borong terus mendaki ke Mano dan akhirnya masuk Manggarai.
• Tamu Kita: Irham Anwar Panen Sejuta Perhari dari Ikan Air Tawar
Getir rasanya hati ini bila harus meninggalkan nirwana dunia yang sedang sakit. Malam ini, aku lagi gundah, meratapi perihnya luka mama dan aku harus pergi meninggalkan dia sendirian menghadapi lukanya, teganya aku melepaskan tanganku di saat ia sedang duka, anak macam apa aku ini. Ratapan demi ratapan kulepaskan pergi bersama semilirnya angin malam, segala tanya yang datang bertubi-tubi dari ayah, kakak, adik, tanta, om, kakek dan lainnya, tak kugubris begitu saja tanpa menyimaknya.
Tepat pukul sembilan, aku sudah berada di atas ranjang menemani mama yang sedang makan, senduk demi senduk nasi ia suapi dan mataku selalu membuntuinya, akhirnya ia pun bersuara, "Nong, makan lagi."
"Sudah kenyang mama, saya mau istirahat, " jawabku datar. "Nong, ingat tidak cerita mama waktu kecil sebelum mama dibaptis oleh Romo Alo Ndate?"
"Sudah lupa mama, lagian dulu aku masih kecil dan otakku tak sanggup untuk mengingatnya." Jawabku, sambil memaksa mama untuk mengulangi kisah itu.
Malam itu merupakan malam terakhir aku bersua dengan dia pada liburan kali ini dan aku tak mau melewati semua waktuku dalam diam bahkan angin pun kupaksa untuk bersemilir.
• Ada 491 Guru di Sumba Tengah Bukan Sarjana Pendidikan
Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 Wita, saya dijemput. Sebelum menduduki kursi mobil, mataku tak henti-hentinya menyapanya, mama melambaikan tangan kepadaku dan ku sambut dengan senyum, entah mengapa hati ini terasa lain dari pada liburan sebelumnya.
Selanjutnya aku tak tahu untuk mengisahkannya, di Ruteng semua kegiatan kujalani sebagaimana seorang calon imam. Aku hanyalah sebiji benih yang siap disiram dan dipupuki agar kelak menjadi pohon yang rindang yang siap dipakai oleh makhluk apa saja, entah burung yang ingin bersarang atau sejenak menjemur sayap, atau manusia yang mau berkanjang dan berteduh melepas penat membuang jenuh. Entahlah aku siap ditempa.
Siang berganti malam dan hari pun terus berubah seiring dengan berputarnya jarum waktu, kulalui hari seperti biasa dan ketika suatu senja tiba-tiba hatiku menjerit seolah ia mendengar suara mama yang memanggil namaku, tapi aku biarkan ia berlalu.
Lonceng berdering pertanda hari baru akan dimulai, aku kemudian bangkit dari ranjang dan membasuh wajahku, setelahnya aku bergegas ke kapel untuk mengikuti misa pagi. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tarikan tangan pater superiorku, ia memanggil aku agar aku keluar sejenak, di samping pintu ia sudah berdiri sopan, kemudian ia meraih tubuhku dan membenamkan aku di dalam jubahnya sembari mengucap kabar, "Brother, mama sudah pergi, ia telah tiada."
• Ibu Menyusui Senang Dapat Susu Ibu Menyusui Secara Gratis di Posyandu TDM
Mendengar berita itu seolah aku terhempas badai kematian, jantung berhenti berdetak, mulut menganga penuh tanya dan pada saat seperti itu hanya air mata yang boleh berkata-kata.
Perjalanan dari Ruteng ke Maumere kala itu seolah bermil-mil jaraknya, mengapa belum tiba juga, mengapa langit Maumere tak tampak, dan mengapa mendung pun turut merasakan hariku?
Aku tak berdaya, mobil melaju seolah begitu lambat, sementara di sana aku merindu untuk mengantar kepergian sang bunda. Malam itu, aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa, setibanya di hadapan jenazah yang terbaring kaku itu, aku seolah tertanam seperti patung Teka Iku yang hanya diam membisu, riak suara.
Waktu berlari menghampiri siang, ketika mentari menari ria di atas ubunku. Aku segera berlari kecil untuk meninggalkan kampus dan kembali ke biara. Di hadapan meja belajar tak lupa aku mengelus rindu potret mamaku, tak lupa pula membaca tulisan "Fiat Voluntas Tua" di ujung lembar kertas, mengingatkan aku pada sosok Maria yang menyerahkan dirinya kepada kehendak Bapa. Tapi itu tidak penting, yang lebih penting ialah bahwa hari ini (31 Januari 2019), mengingatkan aku kembali akan kenangan dua tahun silam, kala mama pamit untuk meninggalkan suami dan anak-anaknya. Dia pergi untuk bersatu dengan debu dan di balik butiran itu kami masih bisa merasakan perihnya yang lebur bersama tanah.
Hanya satu yang ada dalam diriku sekarang dan di tempat sepi bisu ini masih ada rasa rindu yang menggebu untuk memelukmu. Mungkin debu telah lebur dari tubuhmu yang rapuh, aku hanya menduga bahwa diriku sulit melepaskan rindu doamu, mama.
(Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero).