Berita Cerpen
Cerpen Arnoldus Aliando Bewat: Mama Aku Rindu Doamu (In memoriam)
Doa dilantunkan, pujian dilambungkan, permohonan dirajutnya. Segurat senyum melekat di sudut bibirnya.
"Ah, mama, itu terlalu sulit bagiku, mana mungkin aku bisa memanjakan jemari dengan menyulam benang yang lapuk dalam kainmu, sementara aku sendiri tidak tahu-menahu soal menenun impian dan menjumput masa depan. Itu terlalu dini bagiku, dan aku masih belum sanggup menyanggah telapak ini untuk kujamah wajahmu pada sarung itu."
Kalimat itu datang dengan sendirinya dan menubruk diriku, seketika itu raga ini serasa luruh dan jiwaku hancur mencampur debu. Aku menjadi malu dengan diriku sendiri, yang juga masih belum sempat menyeka air matanya dan keringat pada kerutnya. Seketika aku disadarkan oleh suaranya, "Nong, (panggilan untuk anak laki-laki bagi orang Maumere Krowe), kapan kembali ke Ruteng?"
• Surat Suara Pemilu 2019 Tiba di Borong
"Mungkin 17 Januari, mama, " jawabku datar.
"Nanti bapamu datang tolong beritahu dia untuk siapkan uang perjalanannya, engkau sendiri tahu bahwa aku sekarang tidak lagi menjadi seperti yang dulu, seandainya aku kuat, aku ingin sendiri yang menjadi tiang biar engkau bisa bertopang sebelum kakimu sendiri berjalan pada jejaknya."
"Ah, mama. Masa pakai tiang segala, lihat aku sendiri pun masih bisa berjalan dan bahkan mungkin bisa terbang seandainya ada sayap, walaupun itu hanya pinjaman, aku akan sanggup melakukannya." Sembari berujar dalam hati, " Maafkan aku mama, aku selalu menyulitkan engkau, mengapa bukan berujar hibur malah membuatmu sedikit geli dan kesal."
Mentari terus diawaki awan dan sebentar lagi langit akan turun dan terlelap bersama malam, aku masih menemani keponakanku Elbert, yang baru saja tiba dari kampung bersama ayahnya, suami dari saudari sulungku, mumpung masih ada waktu untuk berpetak umpet dengannya. Hampir semua waktu liburan aku selalu siapkan beberapa saat untuk bermain dengannya biar dia bisa mengenal aku dan mungkin pula ia berkisah tentang aku pada temannya dan sebaliknya aku juga berkisah tentangnya kepada siapa yang aku jumpai.
Kini langit Maumere dikuliti dengan gelap dan manusia-manusia tidak lagi hiruk-pikuk seperti sore tadi. Rupanya mereka dipenjarakan oleh kelam dan sekarang aku pun sudah kembali berbaring di samping sosok itu lagi, aku bosan dan pilu setiap kali melihat sosok itu. Maaf bukan karena benci padanya tapi karena rindu agar ia bisa kembali pulih dari sakitnya.
Jujur sampai saat ini aku masih belum tahu penyakit jehanam apa yang menggerogoti raganya. Yang pasti bahwa ia sudah keluar-masuk rumah sakit dan dokter bingung mendiagnosisnya.
Segala macam tes telah diupayakan mulai dari tes darah sampai tes gula dan sebagai jawabannya, mereka hanya menyuruh ayahku untuk mencari orang yang lebih pintar dari mereka.
Katanya sakit yang dialami oleh ibuku sulit dideteksi oleh alat dan otak manusia. Bukankah mereka yang tahu segalanya mengenai semua penyakit di bumi ini, mulai dari kudis hingga kanker dan dari kurap sampai ginjal, dan sekarang mereka menyuruh ayahku untuk mencari orang yang lebih pintar dan hebat dari mereka.
Tuhan masih adakah profesi lain selain dokter yang mampu mendiagnosis penyakit manusia? Ingin rasanya aku mengadili Tuhan seandainya wujudNya manusia. Aku mulai benci beraduk bingung. Apakah ada sesuatu lain yang kurang beres dengannya ataukah hanyalah rekayasa dokter yang mungkin tidak sanggup dan tidak mau menolongnya?
Semua pikiran yang bukan-bukan itu mulai mendatangiku secara bergantian dan rupanya itu semua hanya ingin menguji aku agar tenggelam dan mati bersama kebodohanku sendiri.
Di kala setiap kali aku membersihkan luka pada mata kirinya dan memberikan sedikit obat oles sejenis mentol yang diberikan dokter agar perihnya sedikit dihilangkan. Saat itu pula aku kembali bersua dalam kebingunan dan kegetiran.
Itulah kesibukan selama liburan karena aku tak mau waktuku hilang jika tidak berada di sampingnya dan berusaha sebaik mungkin untuk menghibur, menjaga dan turut merasakan kepedihan lukanya.
• Hakim Tipikor Tolak Eksepsi, Direktur Utama PDAM Ende Bungkam
Suasana masih hening, tak satu pun di antara saya dan mama yang ingin pertama membuka kata. Diam membisulah teman satu-satunya yang bersama kami di malam itu. Mau tak mau akhirnya akulah orang yang pertama mengalah dan membuka percakapan,"Mama, apakah mama masih sanggup menghadapi semuanya ini?" Sontakku secara tiba-tiba dan baru kusadar bahwa itu adalah pertanyaan paling dungu yang dikeluarkan oleh seorang anak yang tidak mengerti dengan luka yang dihadapi oleh ibunya.
"Nong, mau tak mau, suka tidak suka, mama harus sanggup menjalaninya. Itu sudah ditakdirkan dan aku hanyalah manusia lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang hanya bisa kujalankan ialah berdoa dan pasrah pada Tuhan. Bukankah engkau sendiri yang berkata bahwa ini adalah salah satu cobaan yang kadang Tuhan berikan kepada kita?" Seru mama dengan polos dan saya dihadapkan dengan satu pertanyaan yang diambilnya dari perkataanku sendiri ketika pertama kali melihatnya setiba dari Ruteng sepekan lalu.