Berita Cerpen

Cerpen Arnoldus Aliando Bewat: Mama Aku Rindu Doamu (In memoriam)

Doa dilantunkan, pujian dilambungkan, permohonan dirajutnya. Segurat senyum melekat di sudut bibirnya.

ILUSTRASI/ Tribunnews.com
Doa ibu 

POS-KUPANG.COM|KUPANG - DI atas nama masih ada nama, selama langit masih ada dan mentari masih bersinar, tak akan pernah ada jika kolong langit menjadi tiada. Selama masih ada napas. Siang mendarat hariku lalui, sore datang dan akan kuhadang.

Entah mengapa aku sekarang menjadi seorang pengingat, mungkin lembaran kisah itu mulai terselip dan tersentil sedikit untuk kutengok.

Suara-suara lama kembali menyapa, dan kata-kata pengantar mulai tersusun, selama masih ada kalimat, "suarakanlah!" maka di atas kertas ini akan aku sejarahkan.

Bom Meledak di Sibolga, Petugas Terluka, Begini Penjelasan Polri

***
Pagi itu (23/12/16), ketika ayam mulai melagukan kidung subuh, aku terjaga dari tidurku. Mataku sempat terbuka sedikit, mencuri sepintas sosok yang berada di sampingku, dengan kaki bersilah.

Ia memejamkan mata, walaupun matanya hanya sebelah, kain perban masih tertempel di sana. Ia mengepalkan kedua tangannya, sementara mulutnya mengucapkan sederet bait tanpa suara, namun penuh pengharapan untuk mendapatkan jawaban.

Ia mulai mengemis cinta-Nya, akankah Ia menjamah hidupnya? Doa dilantunkan, pujian dilambungkan, permohonan dirajutnya. Segurat senyum melekat di sudut bibirnya. Aku melihat kecemasan terukir di guratan dahinya, mungkin ia akan mengemis untuk mendapatkan hidup satu kali lagi.

Ia tidak tega jika pergi begitu subuh meninggalkan kekasihnya dan dua pasang daranya. Ia terus berujar tanpa kata dan aku pun terlelap lagi terhanyut dalam mimpi yang tak bertepi hingga mentari menari di atas riak atap yang menganga dan sebilah sinar meremasi mataku.

Lalu aku terjaga dan sosok itu hilang di sampingku yang kudengar hanya tawanya yang membahana di sudut pintu kamar sebelah.

Aku bergegas dari ranjang dan mendapati sosok itu bersilah di atas tikar sembari melucuti kulit mangga dengan sebilah pisau yang sekilat hatinya.

Ia menyunggingkan senyum kepadaku dan aku membalasnya dengan sapaan pagi. Aku terus melangkahkan kakiku ke arah kamar mandi. Sedikit ku mencuri pandang padanya tetapi ia tidak membuntutiku tetapi tetap fokus pada mangga di tangannya.

Seperti tahun lalu dan kemarin, hari ini aku masih seorang yang sama bisa menghirup udara dan mulutku masih sempat berujar kata merangkai kalimat. Aku masih ada. Semenjak sedari pagi sosok itu mengawasi tingkahku dengan mata itu laksana seorang sniper yang selalu menjaga agar matanya tak luput dari musuh. Ah, mata itu lagi, aku benci melihatnya, mungkin karena hanya sebelah dan seolah bolanya seperti belati yang siap menerkam aku dan menyembunyikan di balik korneanya.

Ah, mengapa aku menjadi seperti orang lain pada diriku sendiri, bukankah sosok itu yang telah menenun aku dalam rahimnya selama sembilan bulan dan pada hari yang terakhir bulan kesembilan itu ia membiarkan dirinya menjadi sakit lalu melahirkan aku yang sekarang ini.

Aku tak peduli, yang penting aku hanya membenci jika melihat ia menderita di balik ketegaranku, ketegaran yang ia sendiri mungkin mengingininya.

Kuingat sejenak pada memori silam ketika masih berumur sembilan tahun, kala itu hujan menjurus kaku mengunjungi tanah, di bawah naungan alang-alang pondok mungil di ladang.

Ia pernah berujar, "Jika suatu saat engkau berhasil menjadi adamu, aku hanya minta satu ujud padamu, yaitu sulam kembali benang yang rapuh dalam hidup ini menjadi sarung yang bukan untuk dikenakan melainkan untuk dikenang."

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved