Berita Cerpen

Cerpen Arnoldus Aliando Bewat: Mama Aku Rindu Doamu (In memoriam)

Doa dilantunkan, pujian dilambungkan, permohonan dirajutnya. Segurat senyum melekat di sudut bibirnya.

ILUSTRASI/ Tribunnews.com
Doa ibu 

Ia kemudian mengalihkan percakapan kami tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk meyakinkan pertanyaannya, "hidup ini terasa berjalan begitu cepat dan kita tidak sadar. Besok adalah hari raya Natal. Seandainya aku tidak mengalami penderitaan ini, aku pasti pergi ke gereja untuk menyambut bayi mungil Yesus yang dilahirkan oleh Maria. Mungkin akulah orang pertama yang berusaha untuk merebut dan menggendongnya. Tapi sayang, aku tak sanggup melakukannya kakiku terlalu kaku dan ragaku tak berdaya di hadapanNya. Jiwa ini letih dan akan mati dikuburkan bersama debu, mungkin pula Ia yang akan menjamahku dan seandainya Ia memberikan aku hidup sekali lagi, maka aku pasti gunakan kesempatan itu untuk mencintai sebanyak-banyaknya orang yang aku kasihi. Tapi itu percuma, selama aku masih terbaring di atas ranjang kaku ini, aku tidak mau berharap untuk hidup lagi hanya satu yang aku pinta. Dia yang di atas sana yakni aku ingin sembuh dari lukaku."

"Nong, semenjak hari pertama aku mendapat sakit ini, di dalam benakku ia akan segera pergi tetapi rupanya ia tak mau melakukannya dan mungkin cintanya ingin memenjarakan aku di dalam kesakitan dan kepedihan dan memang ia biadab tidak mau bergegas dari ragaku." Selanya sambil menarik napas panjang menahan rasa perih pada lukanya.

Aku terpekur seribu bahasa, yang ada padaku hanya diam dan menyimaknya dan itulah pilihanku yang terbaik untuk menghadapi luapan emosinya.

"Setiap hari aku selalu berdoa dan memohon, tetapi sayang kesembuhan seolah menjauh dariku dan kepedihan itu selalu menjarah dan merampas mataku. Tuhan mungkin tuli ataukah Ia berpura-pura menutup kuping dan mata agar tidak mendengar rintihan suaraku dan tidak melihat jeritan tubuhku. Aku lelah, lelah melafal doa.

Bawaslu Pantau Surat Suara, Baharudin Hamzah: Belum ada Kendala

Nong, tetapi aku masih belum menyerah selama masih ada napas. Aku tak pernah biarkan ia berlalu tanpa doa, mungkin Tuhan sedang sibuk mengurus orang lain yang lebih parah dariku atau mungkin pula Ia ingin agar aku memaknai sakit ini sebagai sebuah jawaban untuk menjawab panggilanNya yakni turut merasakan Golgota di atas puncak kematianNya."

"Nong, engkau masih mendengar suaraku?" tanyanya, mungkin ia berpikir aku sudah terlarut dalam lelap.

"Belum, mama, aku masih mendengar!" Jawabku sambil memerintah dia untuk melanjutkan kalimatnya.
"Nong, apabila suatu hari, waktu menutup hidupku aku hanya pinta satu permohonanku, yakni tolong jaga adikmu dan kedua kakakmu. Jangan pernah mengecewakan ayahmu, dan jangan pula engkau menggulung semua nasihatku lalu membakarnya."

"Apa maksudnya mama. Aku tidak mengerti. Janganlah engkau berkata demikian karena hati ini tak sungkan untuk mendengarnya dan telingaku belum sanggup untuk menyapanya, mama," ujarku memotong pembicaraannya.

"Nong, tolong dengarkan dulu perkataan mama, jangan memotong pembicaraan orangtua. Apabila mentari berlalu gelap jangan engkau rindu untuk melihat cahayanya lagi, ia akan sirna dan seberkas sinar akan timbul di hari yang lain bukan hari yang sama, Nong. Hati ini ingin merindu hari yang lama, tapi sayang mama tak sanggup merampasnya dari waktu, rupanya waktu sama jahatnya dengan penyakit ini dan malahan mereka bersekongkol untuk mengakhiri napas mama."

Ia terus berujar dan aku hanya bisa mendengar dan menyimaknya tanpa berkata-kata. Aku takut berkata-kata nanti dibilangi memotong pembicaraan. Jalan satu-satunya yang terbaik ialah mendengar, mendengar dan mendengar.

Aku di malam yang sunyi ini hanya sebatas batu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Yang ada cumalah diam membisu.

"Seandainya hariku tiba, aku ingin engkau adalah saksinya, biar dunia tahu bahwa aku adalah seorang ibu yang selalu berada di samping anakku walaupun tidak bisa berbuat apa-apa." Selanjutnya yang ada hanya diam, aku tergerus dalam mimpiku dan terlelap tak sadarkan diri.

Keesokan harinya (25/12/16), seperti biasa aku selalu disadarkan oleh malaikat kaku yang ada di sampingku.

Kubuka sedikit mataku dan mencuri pandang dan lagi-lagi sosok itu sedang melafal doa mendaras permohonan. Aku bertanya-tanya dalam hati, "Masih adakah Tuhan dalam hidupnya?"

Visi Satu Sikka Mandiri Lima Tahun Lalu Belum Terwujud

Ah, mengapa pertanyaan ini mendatangiku walaupun aku tak menghadirkannya apalagi mengundangnya. Aku kemudian bergegas dari ranjang dan menyodorkan dahiku pada tangannya untuk dibuatkan salib kecil pada permukaannya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved