Opini Pos Kupang
Caleg Menertibkan Bahasa di Ruang Publik
Walaupun berbeda secara substansial, hemat saya, kedua hal tersebut berhubungan melalui entitas bahasa.
Penggunaan bentuk bahasa yang benar dan baik sesungguhnya membawa manfaat ganda bagi para caleg. Dalam hal ini, pada satu sisi para celeg berhasil menyampaikan pesan kampanye dengan benar dan baik, pada sisi yang lain para caleg berpatisipasi dalam pembelajaran dan/atau pemerolehan bahasa bagi masyarakat terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa.
Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson (1995: 241) menegaskan bahwa ketika mempelajari bahasa, pemahaman anak-anak dipengaruhi habituasi penggunaan bahasa tulis di lingkungan sekitarnya.
Dalam hal ini simbol-simbol tertulis yang terdapat di ruang kolektif publik termasuk tulisan pada baliho, stiker atau kartu nama, dan baju yang dibagikan oleh para caleg pada musim kampanye mempengaruhi persepsi anak terhadap bahasa tulis yang sedang dipelajarinya secara formal.
Dengan menunjukkan dampak pemakaian bahasa di ruang kolektif publik terhadap pemerolehan dan/atau pembelajaran bahasa, saya tidak bermaksud untuk mengajak para caleg memasang baliho dan stiker atau kartu nama yang mengandung bentuk bahasa yang benar dan baik di lingkungan anak-anak. Aksi seperti ini tentu bertentangan dengan prinsip penggunaan bentuk bahasa yang baik.
Partisipasi Makna
Selain pada aspek bentuk, hemat saya, para caleg dapat berpartisipasi dalam menertibkan (membangun) bahasa di ruang publik dengan mencermati aspek makna bahasa yang digunakan sebagai media kampanye. Makna mengarah pada isi atau pesan yang melahirkan respon dalam pikiran dan perasaan pembaca atau pendengar setelah terpapar dengan bentuk bahasa.
Dari segi makna, para caleg diharapkan menghadirkan bahasa yang mengandung isi yang jujur di ruang kolektif publik. Hal ini berarti bahasa dari para caleg harus mengandung niat yang tulus untuk membangun kemaslahatan kehidupan kolektif publik.
Hal ini berarti pula bahasa yang digunakan para caleg bukanlah bahasa pragmatis nan instrumentalis, yakni bahasa yang digunakan semata-mata untuk kepentingan jangka pendek berupa perolehan suara para pemilih dalam jumlah yang tinggi. Bahasa semacam ini hanya menguntungkan para caleg, tetapi menodai ruang publik dengan kebohongan.
Pengedepanan isi bahasa yang tulus berarti para caleg menunjukkan kesatupaduaan antara budi dan bahasa, antara tingkah laku dan tutur kata. Dalam hal ini, mesti diinsafi bahwa para caleg merupakan kumpulan figur yang setia menjaga warisan dari leluhur bangsa ini, yakni bahasa adalah budi dan budi adalah bahasa.
Dengan demikian, para caleg yang berbahasa benar dan baik juga merupakan para caleg yang berbudi benar dan baik, dan para caleg yang berbudi benar dan baik merupakan para caleg yang berbahasa benar dan baik pula.
Gagasan di atas juga bermakna bahwa para celag diharapkan tidak hanya mengedepankan cita-cita fasih, tetapi juga kasih dalam berbahasa. Para caleg yang fasih berbahasa juga adalah para caleg yang memiliki kasih untuk kehidupan publik. Sebaliknya, para caleg yang memiliki kasih untuk kehidupan orang banyak juga merupakan para caleg yang fasih berbahasa.
Untuk menunjukkan persenyawaan antara budi dan bahasa para caleg mesti memiliki hubungan erat antara rekam jejak masa lalu dan bahasa kampanye. Di titik ini saat kampanye para caleg harus menyampaikan secara objektif prestasi yang digapainya pada masa lampau. Demikian pula para caleg harus membuka dengan jujur catatan buramnya pada masa lampau. Selain itu, para caleg perlu menjaga relasi antara jejak masa depan dan bahasa kampanye. Jejak masa depan itulah visi, misi, dan program kerja.
Di titik ini para caleg perlu memiliki visi, misi, dan program kerja yang terukur perwujudannya sehingga tidak berjarak dengan bahasa kampanye. Para caleg mesti memperhitungkan, misalnya, apakah realistis mengampanyekan pembebasan pajak kendaraan dan pemberlakuan SIM seumur hidup.
Apakah hal itu tidak menghilangkan pemasukan yang sangat penting bagi pembangunan? Apakah SIM tidak berhubungan dengan kondisi kesehatan pengguna kendaraan sehingga harus dicek atau diperpanjang secara berkala?
Eratnya budi dan bahasa dari para caleg adalah jaminan bagi lahirnya kepercayaan publik. Jika dua hal itu tidak sejalan, publik akan lebih percaya pada penyair yang berkata, "pantat ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia daripada mulut para caleg yang menjanjikan telur". *