Opini Pos Kupang

Caleg Menertibkan Bahasa di Ruang Publik

Walaupun berbeda secara substansial, hemat saya, kedua hal tersebut berhubungan melalui entitas bahasa.

Editor: Dion DB Putra
KOLASE POS-KUPANG.COM
ilustrasi 

Oleh Florianus Dus Arifian, M. Pd
Dosen STKIP St. Paulus Ruteng

POS-KUPANG.COM - Isu penertiban bahasa di ruang publik kian disoroti setelah Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI. Pada sisi lain, ruang publik sedang disesaki para caleg yang berjuang meraih simpati pemilih dalam rangka pemilu serentak tahun 2019.

Walaupun berbeda secara substansial, hemat saya, kedua hal tersebut berhubungan melalui entitas bahasa. Dalam hal ini, KBI menyerukan penertiban bahasa di ruang publik, sementara itu para caleg menghadirkan bahasa di ruang publik sebagai media kampanye.

5 Pemilik Zodiak Ini Selalu Tak Puas dengan Segala Hal dan Suka Mengeluh, Anda Bagaimana?

Drakor Clean With Passion For Now Rating Tertinggi di Episode 1, Malam ini Episode 2 Tayang

8 Fakta Jungkook BTS Yang Belum Pernah Terungkap Ini Bisa Bikin Kamu Nangis, Army Wajib Tahu Loh!

Dari hubungan tersebut para caleg diharapkan (diwajibkan) untuk berpartisipasi dalam menertibkan (membangun) bahasa di ruang publik. Hal ini didasari pertimbangan bahwa bahasa merupakan bagian dari identitas kemanusiaan.

Oleh karena itu, memperjuangkan kemanusiaan sebagai tema kampanye juga berarti turut menertibkan (membangun) bahasa. Namun, seperti apakah partisipasi para caleg dalam konteks itu?

Partisipasi Bentuk

Partisipasi para caleg dalam menertibkan bahasa di ruang publik, hemat saya, dapat diwujudkan melalui pencermatan terhadap aspek bentuk dari bahasa sebagai media kampanye.

Bentuk berkaitan dengan ekspresi bahasa yang ditangkap pancaindra, mengacu kepada berbagai penampakan atau rupa dari bahasa yang ditampilkan. Dalam hal ini berbagai penampakan bahasa dari para caleg di ruang publik perlu memenuhi prinsip benar dan baik.

Berbahasa dengan prinsip benar berarti para caleg menggunakan bentuk bahasa yang tepat berdasarkan teori, ketentuan, atau pedoman.

Bagaimana teori, ketentuan, atau pedoman menetapkan bentuk yang seharusnya dipakai bentuk itu pula yang wajib digunakan para caleg dalam menulis pesan pada stiker/kartu nama, baliho, baju, dan lain-lain. Tulisan pada baliho, misalnya, bukan "Saya menyukuri dukungan di periode sebelumnya" melainkan "Saya mensyukuri dukungan pada periode sebelumnya".

Berdasarkan konsep morfologi, fonem /s/ yang berbentuk digraf (dua huruf yang melambangkan satu fonem) pada kata "syukur" tidak meluluh dalam prefiksasi sehingga bentuk yang benar adalah "mensyukuri".

Selain itu, dari konsep sintaksis bentuk "di" tidak dipasangkan dengan entitas waktu sehingga bentuk yang benar bukan "di periode".

Demikian pun tulisan nama dan gelar pada baliho atau stiker, para caleg perlu menggunakan bentuk yang diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) terutama ketentuaan yang berkaitan dengan penggunaan huruf kapital dan tanda baca untuk memisahkan nama dan gelar serta gelar dengan gelar yang lainnya.

Berbahasa dengan prinsip baik berarti para caleg perlu menggunakan bentuk bahasa yang sesuai dengan konteks. Konteks berkaitan dengan tempat, waktu, orang, tujuan, alat, dan semacamya.

Dalam hal ini para caleg diharapkan untuk menggunakan bentuk bahasa yang sesuai dengan tempat dan waktu, orang yang dituju, intensi yang disampaikan, dan alat yang dipakai. Pohon-pohon hijau di pinggir jalan, misalnya, bukanlah wadah yang sesuai untuk menempelkan stiker atau baliho kampanye. Hal seperti ini justru kontra produktif dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Penggunaan bentuk bahasa yang benar dan baik sesungguhnya membawa manfaat ganda bagi para caleg. Dalam hal ini, pada satu sisi para celeg berhasil menyampaikan pesan kampanye dengan benar dan baik, pada sisi yang lain para caleg berpatisipasi dalam pembelajaran dan/atau pemerolehan bahasa bagi masyarakat terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa.

Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson (1995: 241) menegaskan bahwa ketika mempelajari bahasa, pemahaman anak-anak dipengaruhi habituasi penggunaan bahasa tulis di lingkungan sekitarnya.

Dalam hal ini simbol-simbol tertulis yang terdapat di ruang kolektif publik termasuk tulisan pada baliho, stiker atau kartu nama, dan baju yang dibagikan oleh para caleg pada musim kampanye mempengaruhi persepsi anak terhadap bahasa tulis yang sedang dipelajarinya secara formal.

Dengan menunjukkan dampak pemakaian bahasa di ruang kolektif publik terhadap pemerolehan dan/atau pembelajaran bahasa, saya tidak bermaksud untuk mengajak para caleg memasang baliho dan stiker atau kartu nama yang mengandung bentuk bahasa yang benar dan baik di lingkungan anak-anak. Aksi seperti ini tentu bertentangan dengan prinsip penggunaan bentuk bahasa yang baik.

Partisipasi Makna

Selain pada aspek bentuk, hemat saya, para caleg dapat berpartisipasi dalam menertibkan (membangun) bahasa di ruang publik dengan mencermati aspek makna bahasa yang digunakan sebagai media kampanye. Makna mengarah pada isi atau pesan yang melahirkan respon dalam pikiran dan perasaan pembaca atau pendengar setelah terpapar dengan bentuk bahasa.

Dari segi makna, para caleg diharapkan menghadirkan bahasa yang mengandung isi yang jujur di ruang kolektif publik. Hal ini berarti bahasa dari para caleg harus mengandung niat yang tulus untuk membangun kemaslahatan kehidupan kolektif publik.

Hal ini berarti pula bahasa yang digunakan para caleg bukanlah bahasa pragmatis nan instrumentalis, yakni bahasa yang digunakan semata-mata untuk kepentingan jangka pendek berupa perolehan suara para pemilih dalam jumlah yang tinggi. Bahasa semacam ini hanya menguntungkan para caleg, tetapi menodai ruang publik dengan kebohongan.

Pengedepanan isi bahasa yang tulus berarti para caleg menunjukkan kesatupaduaan antara budi dan bahasa, antara tingkah laku dan tutur kata. Dalam hal ini, mesti diinsafi bahwa para caleg merupakan kumpulan figur yang setia menjaga warisan dari leluhur bangsa ini, yakni bahasa adalah budi dan budi adalah bahasa.

Dengan demikian, para caleg yang berbahasa benar dan baik juga merupakan para caleg yang berbudi benar dan baik, dan para caleg yang berbudi benar dan baik merupakan para caleg yang berbahasa benar dan baik pula.

Gagasan di atas juga bermakna bahwa para celag diharapkan tidak hanya mengedepankan cita-cita fasih, tetapi juga kasih dalam berbahasa. Para caleg yang fasih berbahasa juga adalah para caleg yang memiliki kasih untuk kehidupan publik. Sebaliknya, para caleg yang memiliki kasih untuk kehidupan orang banyak juga merupakan para caleg yang fasih berbahasa.

Untuk menunjukkan persenyawaan antara budi dan bahasa para caleg mesti memiliki hubungan erat antara rekam jejak masa lalu dan bahasa kampanye. Di titik ini saat kampanye para caleg harus menyampaikan secara objektif prestasi yang digapainya pada masa lampau. Demikian pula para caleg harus membuka dengan jujur catatan buramnya pada masa lampau. Selain itu, para caleg perlu menjaga relasi antara jejak masa depan dan bahasa kampanye. Jejak masa depan itulah visi, misi, dan program kerja.

Di titik ini para caleg perlu memiliki visi, misi, dan program kerja yang terukur perwujudannya sehingga tidak berjarak dengan bahasa kampanye. Para caleg mesti memperhitungkan, misalnya, apakah realistis mengampanyekan pembebasan pajak kendaraan dan pemberlakuan SIM seumur hidup.

Apakah hal itu tidak menghilangkan pemasukan yang sangat penting bagi pembangunan? Apakah SIM tidak berhubungan dengan kondisi kesehatan pengguna kendaraan sehingga harus dicek atau diperpanjang secara berkala?

Eratnya budi dan bahasa dari para caleg adalah jaminan bagi lahirnya kepercayaan publik. Jika dua hal itu tidak sejalan, publik akan lebih percaya pada penyair yang berkata, "pantat ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia daripada mulut para caleg yang menjanjikan telur". *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved