Opini Pos Kupang

Perdagangan Orang dan Moratorium Setengah Hati Gubernur NTT

Kata itu dilontarkan Gubernur Viktor Laiskodat sesaat dirinya dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta.

Editor: Dion DB Putra
zoom-inlihat foto Perdagangan Orang dan Moratorium Setengah Hati Gubernur NTT
FB
Ilustrasi

Oleh Greg R. Daeng, S.H
Advokat HAM, Jubir AMPERA NTT

POS-KUPANG.COM - Tanggal 5 September 2018, publik Nusa Tenggara Timur (NTT), dihentakkan dengan kata "moratorium" yang disampaikan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).

Kata itu dilontarkan sesaat dirinya dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Gubernur NTT di Istana Negara Jakarta. Ketika itu, dengan tegas ia mengatakan selain perizinan tambang, moratorium juga akan diberlakukan terhadap pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT ke luar negeri.

Langkah ini juga diikuti dengan keputusan Gubernur VBL mencopot Kadis Nakertrans NTT dan mengancam mematahkan kaki pelaku perdagangan orang. Hal ini dinilai sebagian kalangan aktivis anti perdagangan orang di NTT sebagai sikap tegas Gubernur VBL memberantas kejahatan yang terkategori luar biasa (extra ordinary crime).

3 Zodiak Cewek ini Dikenal Pemarah, Cek Yuk Bagaimana Cara Menyikapinya!

Drakor Clean With Passion For Now Rating Tertinggi di Episode 1, Malam ini Episode 2 Tayang

8 Fakta Jungkook BTS Yang Belum Pernah Terungkap Ini Bisa Bikin Kamu Nangis, Army Wajib Tahu Loh!

Walau terkesan keluar dari pakem hukum administrasi dan nalar HAM, tetapi langkah itu lebih baik jika mau dibandingkan gaya kepemimpinan 10 tahun sebelumnya yang cukup acuh terhadap masalah perdagangan orang.

Artikel ini ditulis untuk menanggapi Keputusan Gubernur No.357/2018 sekaligus untuk bertanya apakah komitemen moratorium yang didengungkan oleh Gubernur VBL sungguh-sungguh sebuah komitmen, atau ini hanya langkah setengah hati.

Cacat Sosio-Legal

Sekian minggu publik menunggu apa bentuk nyata ucapan moratorium Gubernur, hingga keluar Keputusan Gubernur tanggal 14 November 2018.

Dalam Keputusan Gubernur No. 357 tentang Moratorium PMI asal Provinsi NTT ini, Gubernur menetapkan sepuluh poin yang jadi acuan pelaksanaan tata kelola PMI di NTT.

Harapan yang sudah terlanjur melambung, bisa dibilang kandas. Sebab 10 jurus jitu tersebut justru memiliki kecacatan serius baik secara substansi maupun strukturnya. Bisa dikatakan keputusan ini adalah suatu bentuk "illegal policy" dan berdasarkan pandangan ini maka ruang kritik perlu dibuka karena beberapa alasan.

Pertama, produk keputusan ini miskin konteks. Konteks realitas yang terjadi di NTT adalah masalah perdagangan orang. Semangat yang dibangun selama ini adalah memberantas perdagangan orang.

Namun, dalam keputusan setebal 3 halaman tersebut, justru tidak menampilkan satu kata pun tentang perdagangan orang dan cenderung menyempitkan persoalan pada urusan tata kelola PMI semata.

Bisa dikatakan Gubernur VBL dan jajarannya turut pada tekanan Apjati maupun Ombdusman Provinsi NTT, yang hanya menyempitkan kejahatan sistematis ini pada persoalan ketenagakerjaan dan sama sekali tidak membuka persoalan `perdagangan orang'.

Padahal, kalau mau dilihat dalam ketentuan pasal 1 angka 1 UU 21/2007 tentang PTPPO disebutkan bahwa kejahatan perdagangan orang dapat dilakukan dalam negara maupun antar negara.

Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat menjadi korban perdagangan orang sesungguhnya tidak hanya mereka yang menjadi PMI ke luar negeri, namun juga terhadap mereka yang menjadi pekerja migran antar daerah/wilayah di dalam negara. Contohnya, kasus di toko roti di Maumere (2015), kasus Rince Ngole asal Ndora (2018) dan kasus Susanti Wangkeng asal Mbay (2018).

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved