Opini Pos Kupang
Perdagangan Orang dan Moratorium Setengah Hati Gubernur NTT
Kata itu dilontarkan Gubernur Viktor Laiskodat sesaat dirinya dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta.
Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus perdagangan orang yang menjerat pekerja migran antar daerah asal NTT memiliki jumlah yang tidak sedikit. Kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bali, Pekanbaru, dan sekian pedalaman Kalimantan, dan Papua merupakan tempat tujuan bekerja dari para pekerja migran antar daerah.
Data dari J-RUK Kupang dan POKJA MPM, menyebutkan sepanjang Juni-Oktober 2018, ada 4 kasus perdagangan orang dengan korban pekerja migran antar daerah yang sedang diadvokasi di level kepolisian.
Kedua, produk keputusan ini miskin konsep. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, dalam proses melahirkan suatu produk hukum, selain memiliki relevansi dengan konteks masalah yang ada, syarat lain adalah harus memenuhi kualifikasi etika penjenjangan norma yang termaktub dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Artinya, aturan yang dibuat tersebut harus merujuk pada aturan yang lebih tinggi. Bentuk penjenjangan/hirarki aturan antara lain: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945); (2) Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; (3) Formell gesetz : Undang-Undang; dan (4) Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pertanyaanya, apakah pembentukan Keputusan Gubernur NTT Nomor 357 merujuk pada ketentuan penjenjangan norma di atas? Dalam konsideran menimbang, secara tersirat keputusan tersebut mengatakan 2 hal yakni, pertama, PMI sebagai sumber daya strategis untuk mengurangi pengangguran di NTT dan kedua, upaya perlinduggan HAM oleh negara (Pemprov NTT) kepada PMI.
Namun, pada bagian konsinderan mengingat, jusru tidak dicantumkan aturan-aturan (UU/PP) yang harusnya menjadi rujukan norma dari keputusan dimaksud. Sebagai contoh UU 39/1999 tentang HAM, UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, UU 2/2004 tentang PPHI, UU 11/2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang Hak EKOSOB, UU 12/2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang Hak SIPOL, dan UU 21/2007 tentang PTPPO. Hal ini belum termasuk dengan landasan hukum dari beberapa institusi pemerintah yang menjadi tembusan dari SK tersebut.
Selain itu, produk hukum ini juga tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai batas waktu keberlakuannya. Hal ini tentu akan menimbulkan multitafsir atas teks hukum yang ada.
Sebab perlu dicatat bahwa, konteks SK ini keluar dimaksudkan untuk penghentian sementara waktu keberangkatan PMI, bukan melarang orang/warga negara bermigrasi. Karena jika demikian, maka negara (Pemprov NTT) dalam hal ini sedang melakukan pelanggaran HAM (migrasi adalah hak).
Berdasarkan dua narasi ini, setidaknya cukup untuk menjelaskan bahwa Keputusan yang ditandatangani Gubernur VBL itu terkategori sebagai "illegal policy". Kata ilegal bukan diterjemahkan sebagai bentuk kebijakan yang tidak resmi, melainkan dimaksudkan pada hal ketidakselarasaan antara isi produk regulasi dengan konsep dan konteks masalah yang terjadi (perdagangan orang).
Moratorium Setengah Hati
Pada Februari 2014, publik NTT dikejutkan dengan kisah tragis yang menimpa 26 pekerja wanita/anak-anak asal NTT. Mereka menjadi korban penyekapaan, penganiayaan dan pelecehan seksual oleh Mohar dan kroninya, pelaku usaha sarang burung walet di Medan. Dua orang meninggal dunia, 1 orang lumpuh, dan yang lainnya mengalami trauma berat akibat perlakuan tidak manusiawi itu.
Belakangan diketahui ke-26 pekerja tersebut merupakan korban perdagangan orang yang direkrut oknum bernama Rebeca Ledoh. Setahun setelahnya, Rebeca divonis penjara selama 8 tahun 10 bulan.
Namun mirisnya, Mohar dan kroninya di Medan yang menjadi pelaku utama, sampai saat ini belum juga diproses secara hukum. Bahkan dengar kabar bahwa berkas kasusnya di Kepolisian Resort Medan sudah di- SP3-kan, meskipun kasus ini sudah `ada di tangan' Presiden Joko Widodo.
Ini kasus perdagangan orang dalam wilayah NKRI. Kasus ini menjadi trigger perlawanan rakyat terhadap masalah perdagangan di NTT hingga saat ini. Bahkan Julukan "Provinsi Juara Trafficking" yang keluar dari mulut elite negara (Jokowi dan Hanif Dakhiri) pada tahun 2014 silam, merupakan efek gema #Stop Bajual Orang NTT yang muncul bersamaan dengan kasus ini.
Kini empat tahun berselang, semangat baru -komitemen baru nyata ditunjukan pemimpin baru. Namun kelahiran Keputusan Gubernur NTT No. 357 harus disempurnakan lagi dengan baik secara holisitik.
Ketimpangan yang ada pada landasan hukum akan berakibat pada amburadulnya proses pengimpelmentasiaannya. Regulasi yang dibuat tanpa pemahaman konteks sosial dan tidak menjawab persoalan dengan sendirinya tidak berguna.