Breaking News

Opini Pos Kupang

Dalam Keremangan Aku Ingin Memelukmu, Aku Kalah

Dan berpotensi menjadi aktor, sekaligus orator untuk menggoda audiens melalui kata-kata, ekspresi, suara

Editor: Dion DB Putra

Oleh Marsel Robot
Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata LP2M Undana

POS-KUPANG.COM - Saat-saat seperti ini, di sini atau di sana, di hati atau di langit, terutama bila musim caleg (calon legislatif) menghampiri kita, maka berkas-berkas mimpi mulai mengendap dan segera dirapikan untuk diubah menjadi bongkahan kenyataan.

Yang paling vulgar terlihat semisal, si Randas (tetangga saya), Tengko Lekos (bapa mantu), Mbeki Renging (kenyadu), Uru Arat (ponakan), Poti Pong (musuh saya), Singe Sangen (mantan bawahan saya) atau Binci Bancan si tukang tambal itu, mendadak menjadi romantis, murah senyum, pandai bergurau, rajin menyapa, rajin keluar rumah, rajin berdoa, rajin ke pendoa.

Baca: Jadi Drama Korea Pertama yang Tayang di Youtube, Ini 4 Fakta Drakor Top Management

Baca: BTS Rebut 5 Dari 22 Penghargaan 2018 MBC PLUS x Genie Music Awards, Army Makin Bangga

Baca: Aries Romantis, Ramalan Zodiak Rabu, 7 November 2081

Baca: Liverpool Vs Red Star di Liga Champions 2018, Milan Pavkov Jadi Bintang Utama Skor 0-2

Dan berpotensi menjadi aktor, sekaligus orator untuk menggoda audiens melalui kata-kata, ekspresi, suara, busana, cara berdiri, cara bermain mata, dan jenis trik spesial lainnya seperti kopi bareng, sopi bareng, bisikan tengah malam atau serangan fajar di warung, di loby hotel, di gereja, di kuburan, atau di tempat mana saja yang memungkinkan serangan berpeluru kertas itu dapat dilakukan.

Saat-saat seperti ini pula, rakyat mendadak cengeng, ingin dibisiki tengah malam, rajin mengangguk, oportunis, selalu mendua hati, selalu ada kesempatan makan siang bersama dan ingin mendapatkan serangan fajar. Padahal, kalau direken-reken, rakyat mengalami penderitaan lebih masif. Sebab, retak sosial di musim caleg meluas dan akut.

Rakyat (pemilih) mengalami kerugian psikologi sosial tak terkira dan unlimited dari durasi waktu. Jika satu keluarga sebagian besar maju sebagai calon, pihak yang paling menderita siang dan malam adalah pemilih. Apa dia memilih bapa mantu, kenyadu atau anak mantu yang juga berasal dari satu keluarga? Pusing kan?

Akibatnya, usia legislatif atau pemimpin hanya lima tahun, tetapi putus tali kekeluargaan kadang seumur hidup.

Pasalnya memang berbeda. Menjadi anggota legislatif atau pemimpin tidak sekadar mendapatkan uang banyak, mendapatkan rumah dinas yang dibayar oleh rakyat yang mempunyai rumah reot, melainkan mendapatkan pengakuan, penghormatan.

Sangat manusiawilah kecenderungan seperti itu. Dalam konteks itulah, rumah tidak sekadar tempat bernaung dan menginap, tetapi wakil status sosial, sebuah mobil tidak sekadar alat transportasi menggantikan langkah kaki, melainkan sebuah gengsi atau wakil kecongkakan.

Padahal, semua itu tidak membuatnya lebih bermartabat, tidak membuatnya lebih kaya, tidak membuatnya lebih senang, tidak menambah kualitas kenyenyakan tidur malamnya, tidak membuatnya lebih romantik hubungan suami istri.

Sekali lagi, pasalnya memang berbeda. Ketika suatu jabatan diterima sebagai hamparan kenikmatan, maka jabatan menjadi candu. Karena itu, siapapun akan tergila-gila dan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara.

Saat-saat seperti itu, para perindu kekuasaan dan para pendamba jabatan sungguh membutuhkan doa, dukungan, penguatan dan jenis dukungan lain, termasuk berdiskusi di kelompok arisan, berdiskusi di keluarga hingga berdiskusi dengan mentor yang berpengalaman atau akademisi yang dipandang pikirannya dapat dijadikan anak tangga agar ia dapat mendaki dan menggala bintang (mewujudkan mimpi).

Dalam urusan romantika sosial itulah, saya dinimbrungkan oleh sahabat-sahabat hebat itu. Makhlum, sebentar lagi mereka turun gunung melakukan kampanye.

Sahabat-sahabat itu melakukan ritual yang berlagak akademik (pelatihan kader calon legislatif) mengadakan diskusi bertajuk "Strategi Komunikasi dalam Berkampanye." Saya bertugas merangsang dan beri semacam arasemen diskusi.

Permulaan diskusi terlihat testa (dahi) mereka berkilau oleh kobaran nafsu untuk menang. Cara bicara mereka meledak-ledak digempur hasrat mendapatkan jabatan semacam itu. Sebagian besar dari mereka mengakui sangat berpengalaman dalam kampanye, dan terutama pengalaman gagal berkali-kali.

Saya sungguh menyadari mereka sudah mendapat pengetahuan dan teori kampanye dari mentor top dan pakar mumpuni. Bahkan, tak sedikit dari mereka belajar sendiri (autodidak).

Berhubung peserta diskusi kebanyakan anak muda, maka pikiran saya perlahan melangkah masuk ke kawasan pemikiran mereka dengan frasa yang emosional, romantik biar lebih menyapa dan menyabda.

Kepada mereka saya mengatakan, kampanye tak lebih dari urusan merayu, terkadang dengan lagu mendayu di bawah keremangan biar pemilih jatuh dalam pangkuan kita.

Kampanye di bawah keremangan berkonotasi kepada audiens yang tidak sepenuhnya diketahui. Ia datang dari latar belakang berbeda (pendidikan, agama, suku, bahasa, ekonomi, sosial dan identitas lainnya), lebih-lebih pikiran dan perasaannya. Kita ingin memeluknya (mendapatkan dia) dalam keremangan itu. Namun, kita kalah, karena kita menggunakan kampanye hitam. Dalam rumus yang lebih melankolis, "dalam keremangan aku ingin memelukmu, tetapi aku kalah."

Tampak, lalu-lalang pemikiran begitu liar, asyik dan kadang tersedak oleh pertanyaan pendek yang satir. Anak muda yang tak tahan langsung berdiri dan berseru.

"Boleh saya tanya Pak". "Boleh". Kata saya. Biasalah, mulai dengan basa-basi. "Saya sangat berterima kasih atas kehadiran Bapak." Anak muda itu melanjutkan. "Begini Pak, saya sudah dua kali dicalonkan, dan ini yang ketiga kalinya. Saya butuh jawaban yang solutif dari Bapak, mana lebih efektif, kampanye hitam atau kampanye putih agar kita menang?"

Pertanyaan itu bagai menggunting jantung. Sungguh sebuah pertanyaan aktor lapangan yang berpengalaman gagal. Terasa keseluruhan materi diskusi susut pada pilihan jawaban yang ekstrim ini. Pertanyaan itu pula yang menafikan sejumlah eksplanasi dan teori tentang kampanye. Kali ini ia membutuhkan kemenangan.

Pertanyaan pendek itu yang mengikhtiarkan, misalnya bagaimana pendekatan sopi, kopi, dan doi dalam kampanye. Pertanyaan itu membukakan laci tentang strategi kampanye dari pintu ke pintu, serangan fajar yang menyenangkan, atau bisikan tengah malam yang menjanjikan.

Berusaha mengecoh anak muda itu dengan balik bertanya kepadanya. "Selama ini Anda melakukan kampanye hitam atau kampanye putih?" Ia juga mengacaukan pikiran saya.

"Saya pakai dua-duanya, hitam dan putih tergantung keadaan dan di mana saya melakukan itu". Saya menyerangnya kembali. "kalau dihitung-hitung, mana yang lebih banyak Anda gunakan, kampanye hitam atau kampanye putih?"

"Ah, saya tidak menghitung itu. Seperti menghitung tembakau di pasar rakyat" Imbuh pemuda dengan suara gemuruh. "Dalam hitungan saya, Anda lebih banyak menggunakan kampanye hitam, menjelekkan tokoh lain, bahkan cenderung menghina atau memfitnah." Kata saya mencoba menggusur gumpalan pikiran anak muda itu. Dia sontak, "dari mana Bapak tahu bahwa saya terlalu banyak melakukan kampanye hitam?"

"Ya karena Anda kalah. Orang yang melakukan kampanye hitam pasti kalah." Kata saya. Pemuda itu tampak berang dengan jawaban itu. Ia terus melihat sekeliling, mengamati orang di ruang itu seraya berkata, "Pak Tahu kan? Ahok justru kalah karena pihak lawan menggunakan kampanye hitam. Pandangan Bapak sangat keliru." Tegas anak muda itu. "Bukankah Ahok menggunakan kampanye hitam juga?"

Sekarang, mana yang Anda pilih, sekerat roti berisi perdamaian atau segudang daging berisi kebencian?" "Saya tidak memilih dua-duanya Pak. Jawaban pemuda ini seakan membongkar karang dialektika bahwa berpolitik bukanlah sekerat roti berisi perdamaian, tetapi sangat boleh jadi segudang daging berisi kebencian.

Dengan demikian, antagonistik sosial seakan diperlukan agar terjadi pencerahan sosial.

Senja turun di tengah hutan, angin tipis menggelinding waktu, saya diminta menghela beberapa pernyataan kunci hasil perjumpaan yang amat dialektis itu. Karena otoritas itulah, maka saya mengatakan bahwa kampanye hitam banyak ruginya.

Pertama, kampanye hitam itu memperlihatkan reaksi orang kalah dan kita bakal kalah lagi. Karena kita terkesan tidak mempunyai harga diri. Menaikkan kepercayaan dan ektabilitas dengan menghina atau mencaci maki orang lain, justru kita sedang menghina diri kita sendiri. Ketahuan bahwa kita calon yang tidak mempunyai gagasan berlian, tidak mempunyai pandangan yang revolutif atau program kerja yang solutif.

Kedua, secara psikologi sosial, kita hidup dalam tahanan (tekanan). Kita terus-menerus bertengkar dengan hati nurani. Lagi pula, kalau kita orang yang beriman, maka terus dikepung oleh rasa dosa yang menyapu bidang -bidang kudus hidup kita.

Lazimnya, karena tidak mempunyai keunggulan untuk dikompetisikan, lantas mengumbar dahak hoaks kepada masyarakat. Ketiga, kampanye hitam selalu mengundang antagonistik sosial. Hal itu membawa kegaduhan sosial yang dapat meretakkan tanah bangsa. Paling sial, apabila kita kalah, maka kita menjadi kompos sosial, diri kita tidak berharga.

Toh, sekali waktu, orang akan bertanya, apa yang Anda buat untuk rakyat selama menjadi anggota DPR atau menjadi pejabat? Apakah mobil mewah, rumah mega, kavling tanah di mana-mana, aset tak bergerak dan aset bergerak liar dan masif itu bisa dilegokan untuk rakyat?

Atau sebaliknya, semua itu didapatkan setelah Anda mendapatkan jabatan itu? Sejenis pertanyaan alkitabiah yang diajukan "ke dalam." Pada akhirnya, kita akan pergi sendirian, tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa, tanpa mawar di tangan menyeberangi kesunyian abadi.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved