Opini Pos Kupang
Sekolah, Solidaritas dan Kecerdasan
Menggagas sekolah bermutu tetap harus diperjuangkan, sedikit demi sedikit, untuk sebuah pembaharuan dan
Pastor Darmin mengutip beberapa ide pokok dari Eko Prasetyo dalam buku yang berjudul Orang Miskin dilarang Sekolah ( 2004) dengan mengklaim sebuah istilah yang sangat mengerikan: kanibalisasi dunia pendidikan.
Ketiga, introspeksi segenap komponen pendidikan agar bisa menjadi lebih bermutu, tanpa terjebak dalam sikap menyalahkan institusi mana pun. Ada gagasan restorasi dalam dunia pendidikan, ketika untuk meningkatkan mutu pendidikan bukan hanya tugas institusi agama.
Sekolah negeri pun harus bisa membenah diri untuk menghasilkan sekolah yang lebih bermutu sebagaimana diperjuangkan sekolah swasta. Apa yang bisa diharapkan dari sikap guru yang tidak mau mengembangkan kemampuan dirinya, merasa berpuas diri dengan kesejahteraan dan sertifikasi yang ada dan mengabaikan unsur profesionalitas dalam kinerjanya.
Ketika orang sangat mengagungkan sekolah-sekolah favorit dan primadona seperti seminari dan sekolah Katolik tua lainnya, perasaan kemanusiaan kita pun kemudian dihentakkan pada tuntutan belarasa dan solidaritas untuk melahirkan dan membimbing generasi muda yang beriman, cerdas dan berkarakater.
Paus Fransiskus dalam surat apostoliknya Evangelii Gaudium (EG) menyerukan perutusan kemanusiaan Gereja dengan pintu terbuka di tengah dunia yang dilanda globalisasi ketidakpedulian.
Tesis yang bisa dirumuskan secara lebih sederhana dalam tulisan ini adalah memperjuangkan solidaritas Gereja Pintu Terbuka sebagai gerakan bersama untuk memajukan pendidikan yang berkualitas di tengah jurang kemiskinan yang ekstrem.
Ada tiga pokok pikiran yang bisa dikembangkan dan diperjuangkan dalam konteks solidaritas kristiani. Pertama, belarasa, belaskasih dan kerahiman perlu diperjuangkan dalam penyelenggaraan persekolahan Katolik dan juga persekolahan negeri lainnya.
Jurang kemiskinan yang membentang nyata bisa menghadirkan pengalaman ketidakadilan dalam diri pelajar yang mampu dan tidak mampu secara finansial.
Melatih pelajar untuk berbelarasa dan berbelaskasih di tengah budaya kompetisi yang sehat adalah langkah untuk memutuskan rantai ketidakadilan dan juga mungkin pemberontakan kelak.
Kedua, pemangku kepentingan (stakeholder) persekolahan di NTT tidak boleh terbuai pada nama besar sekolah di masa lalu, melainkan meningkatkan mutu sekolah dengan kemampuan manajerial yang memadai. Tak bisa dipungkiri betapa seringkali banyak pemangku kepentingan persekolahan merasa mapan dan terjebak pada birokratisme yang berbelit-belit.
Ketiga, solidaritas mesti dimulai antar sekolah dalam beragam cara yang sederhana. Gereja dengan pintu terbuka bukanlah gerakan pasif apalagi teoretis belaka, melainkan gerakan yang dimulai kini dalam pengharapan dan semangat belaskasih yang mendalam.
Berjuang melawan stigmatisasi dalam dunia pendidikan menghadirkan optimisme bagi satuan pendidikan untuk semakin bergerak ke arah yang lebih baik. Stigmatisasi pelajar miskin tidak bisa cerdas dan sukses di sekolah yang tidak favorit memang menjadi beban tersendiri bagi pendidik dan pelajar itu sendiri.
Solidaritas melawan stigmatisasi mesti melampui sekat-sekat kepentingan ego-sektoral. Kemiskinan dan kesederhanaan bukanlah halangan untuk meraih kecerdasan dan kesuksesan dalam hidup.
Kekuatan karakter positif dalam diri pelajar seperti kerja keras dan kreativitas masih tetap dibutuhkan untuk menghadapi era zaman yang serba instan.
Justru banyak orang hebat lahir dari situasi yang terbatas dan terkebelakang, namun dengan tekad yang kuat untuk mau belajar, mereka akhirnya menjadi orang yang berhasil di kemudian hari. Penguatan pendidikan karakter di setiap sekolah mesti selalu diperjuangkan, ketika kecerdasan mesti diperjuangkan dengan baik. *