"Sekolah Sastra" Umbu Landu Paranggi, Begini Gebrakannya yang Perlu Anda Tahu
Penghargaan ini menandakan sebuah bentuk legitimasi dunia seni budaya Indonesia dalam hal ini sastra terhadap
Sebuah "sekolah sastra" yang praktis, efektif dan produktif. Dari aktivitas di kawasan Malioboro Yogya inilah, kelompok PSK kemudian memberi gelar kepada Umbu dengan "Presiden Malioboro" (ibid; Kakilangit, 117 .10).
Jika banyak sastrawan besar Indonesia terlahir dan berproses jadi penyair terkenal dari rahim Yogya misalnya Rendra, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Motinggo Busye, dan lain lain yang lebih suka berhijrah ke Jakarta, tidak demikian halnya dengan Umbu yang lebih memilih Denpasar.
Sebuah keputusan dengan dasar pertimbangan milieu (lingkungan) yang sangat ideal dan tepat. Karenanya, dia bersaksi dalam puisinya yang berjudul Ni Reneng (bait kedua), "....di sini, di pusaran jantung Bali/ ibu, biar bersimpuh rohku/pada kedua tapak tanganmu/... (ibid; Kakilangit, 117 .3).
Simbolisasi diksi "ibu" untuk sebuah Denpasar (Bali) menunjukkan keseluruhan pribadi dan kehidupan Umbu yang telah membumi di ibu pertiwi, pulau dewata. Di pulau "sejuta pura" ini, tak henti-hentinya Umbu menjadi guru "sekolah sastra".
Nama-nama sastrawan seperti Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, Putu Fajar Arcana, Tan Lioe Ie dan lain-lain lahir dari kerja keras seorang Umbu. Sejak tahun 2013, ia menghidupkan sebuah komunitas sastra di Denpasar, Bali dengan nama Komunitas Jatijagat Kampung Puisi.
Keteladanan di bidang seni dan budaya telah melekat pada pribadi Umbu sebagai "guru sastra". Kegigihan dalam bersaing dengan sastrawan-sastrawan besar Indonesia terbukti.
Sajak-sajaknya masuk rubrik remaja majalah Mimbar Indonesia asuhan Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin (1962). Selain itu, sajak-sajak Umbu sering muncul di sejumlah media sastra budaya dan surat kabar seperti Basis, Pusara, Kompas, Sinar Harapan, Mimbar/Tribun dan lain-lain (ibid; Kakilangit, 117 .14).
Umbu sebagai sastrawan yang berhasil justru ketika berada di luar NTT. Akankah generasi muda NTT seperti penyair Mario Lawi yang puisi-puisinya lolos dalam kategori Kompas, Tempo, Sinar Harapan menelusuri jejak Umbu dan kawan-kawan? Mengapa tidak! *