"Sekolah Sastra" Umbu Landu Paranggi, Begini Gebrakannya yang Perlu Anda Tahu

Penghargaan ini menandakan sebuah bentuk legitimasi dunia seni budaya Indonesia dalam hal ini sastra terhadap

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Pertanyaan menggelitik mengusik rasa ingin tahu. Mengapa dan bagaimana orang-orang NTT ini dan lain-lain mampu menembus ruang pergumulan dan pergaulan sastra Indonesia (nasional)?

Andai saja mereka tetap berkutat dan "meringkuk" dalam periuk bumi Nusa Tenggara Timur kecil (kosong) kemungkinan bisa mencapai titik puncak seperti sekarang.

Sebaliknya, tanpa faktor ke-nusatenggaratimur-an, mustahilkah mereka mampu menggapainya? Tesis ini setidaknya menggugat maraknya wacana dan studi sastra NTT dan beredarnya karya sastra putra-putri NTT berupa puisi, cerpen, novel, parodi, sajak.

Buku " Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai" (2017) oleh Yohannes Sehandi adalah cerminan yang kuat bahwa sastra ada di Nusa Tenggara Timur. Dan, sastra itulah (sastra etnik) yang menjadi bagian penting dari sastra nasional (Indonesia).

Hippolyte Taine (1828-1893), seorang pemikir, kritikus, sejarawan, penganut aliran positivisme asal Prancis mengatakan ada tiga faktor utama yang mendorong munculnya sebuah karya seni yaitu ras, milieu, dan momen (waktu).

Teori ini amat penting yang memberi efek terhadap seluk beluk kehidupan dan pertumbuhan sastra yang bersifat universal.

Ras (race), kata Taine, faktor kualitas daya pikir (nalar) dan karakter seseorang yang bersifat inherited (diturunkan sejak lahir); milieu (circumstance) adalah lingkungan yang membentuk, memodifikasi ras tadi; sedangkan momen (momentum), waktu, adalah momentum tradisi-tradisi budaya masa lampau dan sekarang `momentum of past and present cultural traditions.

The literature of a culture will show the most sensitive and unguarded displays of motive and the psychology of a people' (Encyclopaedia Britanica).

Jadi, sastra dalam bingkai budaya merupakan tampilan motivasi dan psikologi seseorang yang paling sensitif dan bebas pengekangan. Teori Taine ini, dalam pandangan penulis, mengena pada sastrawan asal NTT tersebut di atas yang, suka atau tidak suka, harus keluar dari kampung NTT.

"Yogyakarta menempa Umbu Landu Paranggi menjadi penyair" tulis Korrie Layun Rampan, sastrawan Indonesia kelahiran Samarinda, Kalimantan, dalam Majalah sastra Horison edisi XXXXI,2006, No. T3.3.

Presiden Malioboro

Di Yogya, Umbu, biasa disapa demikian, mendirikan grup "sekolah sastra". PSK (Persada Studi Klub) namanya. Beranggotakan 1.555 orang dan ia sendiri pembinanya.

Bergabung antara lain sastrawan-sastrawan yang kemudian terkenal seperti Ragil Suwarno Pragolapati, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Agus Dermawan T, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, dan lain lain. Sejak dekade 1960-an hingga 80-an, Yogya mirip sebuah kota sastra yang unik.

Titik kegiatan di Jalan Malioboro. Trotoar disulap jadi panggung terbuka untuk baca puisi. Di sana setiap anggota bebas memberi komentar. Memuji ataupun menghakimi. Jadi sebuah arena belajar untuk berkemampuan berdiskusi.

Diberi ruang dan waktu untuk menyerang tetapi juga mempertahankan ide. Tujuan akhir supaya terjadi persaingan kreativitas dan dari situlah karya-karya sastra (puisi/sajak) yang bermutu tersaring untuk ditampilkan dalam mingguan Pelopor Yogya asuhan Umbu.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved