Tahun Persekutuan, Tahun Politik, Pesan Penting untuk Keuskupan Ruteng

Selain berkaitan dengan agenda pastoral yang sifatnya gerejani, tema ini sangatlah kontekstual bagi masyarakat NTT

Editor: Dion DB Putra

Dengan sistem pemilu, setiap orang memiliki hak dan wewenang yang sama, diatur sistem yang sama untuk memperoleh kesempatan yang setara mendapatkan pemimpin yang disukai.

Demokrasi aslinya membuka ruang bagi rasionalitas dalam memilih. Demokrasi memungkinkan adu argumentasi dan kekuatan non fisik demi memenangkan pilihan tertentu.

Demokrasi adalah suatu uji dan perlombaan memenangkan simpati warga untuk memberikan suaranya bagi pemimpin tertentu. Demokrasi juga sekaligus menjadi ujian bagi tim sukses untuk mempromosikan calonnya sedemikian rupa agar menarik suara pemilih.

Pemilihan kepala daerah di era demokrasi adalah momen mentransformasi potensi-potensi konflik di zaman lama. Namun idealisme ini biasanya tidak selalu berjalan baik. Pemilu atau pilkada identik datangnya badai dan angin ribut.

Bila sebelumnya individu atau kelompok tertentu adem ayem, tenang dan menjalankan rutinitas kesehariannya secara wajar; di musim pilkada banyak yang berubah.

Aroma demokrasi ditandai musim saling menghujat, menjelek-jelekkan, musim kampanye hitam, menuduh, mencari-cari kesalahan orang lain, musim mengolok-olok, mengungkit-ungkit.

Pilkada ibarat musim bagi uang, musim munafik, memisahkan diri dari orang/kelompok lain, pamer identitas ekslusif, musim menyingkirkan. Pilkada menjadi masa menebar hoax, berita bohong, menanam kebencian, membagi dan menerima uang tidak halal.

Di musim ini hubungan antara orang menjadi sangat sensitif, apa-apa diukur dan dinilai dalam kaitannya dengan politik. Sentimen yang memungkinkan terjadinya perpecahan menguat.

Identitas agama, suku, asal, kabupaten, keluarga, dll yang semula dilihat sebagai kekayaan di bumi yang plural ini menjadi rentan digadai untuk untuk memecah belah. Persaudaraan semu bisa muncul dadakan.

Obrolan hangat persaudaraan di musim biasa, bisa berubah menjadi gosip politik yang pedas lagi memuakkan. Status manis, narsis, informatif atau sekadar lucu di media sosial, di musim ini bisa penuh aroma busuk politik saling menghujat.

Walaupun musim buruk ini tidak dilakukan atau menimpa semua pihak, namun dampak sosialnya sangat kuat. Eskalasi konflik antarwarga, wilayah, kelompok, keluarga, agama, suku, membahayakan kesatuan warga.

Pada tataran inilah, gagasan mengenai persekutuan menjadi sangat relevan. Persekutuan menjadi nilai mahal yang harus dijalankan. Apa konkretnya dalam tahun politik ini?

Jika umat di Keuskupan Ruteng mengartikan persekutuan sebagai kesatuan umat dalam hidup bersama yang dilandaskan iman, Sabda Allah, ritual agama, keadilan dan cinta kasih, sebagaimana diuraikan sebelumnya; menurut hemat kami, persekutuan masyarakat publik dan politis kiranya juga harus dilandasi oleh nilai-nilai yang sama dan serupa.

Tahun demokrasi dan politik adalah tahun berkumpul, bersua, berjumpa. Di dalamnya ada kesempatan berpikir, bernalar, berargumentasi, berinovasi guna mendapatkan gagasan, program, visi dan misi yang memajukan daerah ini.

Masyarakat NTT adalah warga beriman. Tahun politik bisa menjadi moment untuk bersekutu mencari "sabda" dan "kehendak Ilahi" yang harus dimiliki oleh calon pemimpin dan seluruh masyarakat yang bergulat membangun NTT atau kabupaten yang lebih adil, makmur dan sejahtera.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved