Polemik Putusnya Kerja Sama BPJS-RS Siloam Kupang: Awas Kalau Sakit
Mereka merayakan tahun baru dengan perasaan waswas jika sakit; di tengah terbatasnya akses fasilitas kesehatan yang
Jika pasien emergensi dilayani di RSU Siloam dan setelah stabil harus dikirim ke RSU WS Johannes atau RS lainnya, apakah kondisi ruangan dan fasilitas di sana cukup untuk menerima pasien-pasien ini.
Jika kondisinya tidak memungkinkan siapa yang harus dikorbankan oleh BPJS, pasien yang menungggu tanpa kepastian atau RSU Siloam yang harus menanggung risiko perawatan lanjutannya?
Walaupun aspek manajemen dan admistrasi penting buat BPJS, pertimbangan penyelamatan pasien dengan kasus penyakit kritis harus menjadi prioritas dalam akses pelayanan kesehatan. BPJS harus menyadari hal ini.
Dalam menilai standar pelayanan RSU Siloam, kriteria apa yang dipakai BPJS? Jika Tim Akreditasi Rumah Sakit bisa memberikan akreditasi Paripurna untuk RSU Siloam, standar apa yang dipakai BPJS Kesehatan Cabang Kupang dalam menilai Siloam?
Bagaimana dengan rumah sakit lainnya di Kota Kupang, jika RSU Siloam saja tidak memenuhi standar yang dipakai BPJS?
Penilaian dilakukan oleh Tim Kars komite akreditasi rumah sakit bagi sebuah rumah sakit sangat melelahkan rumit dan tidak mudah untuk menjadi Paripurna.
Karena itu, akan manjadi pertanyaan, apa sebernarnya kesalahan RSU Siloam yang ditemukan oleh BPJS yang tidak bisa difasilitasi untuk diperbaiki.
Di sini akuntabilitas dan reputasi BPJS dipertanyakan. JIka ada kekurangan dari RSU Siloam, masyarakat pemilik BPJS harus tahu secara jelas. BPJS harus secara transparan menjelaskannya kepada masyarakat.
Kasus antara BPJS Kesehatan Cabang Kupang dan RSU Siloam ini juga harus disikapi secara bijak. Mungkin ini saat yang tepat juga untuk memperbaiki standar pelayanan rumah sakit di Kota Kupang dan NTT, bukan hanya RSU Siloam.
BPJS Kesehatan juga mungkin bermaksud baik untuk bantu membenahi manajemen RSU Siloam agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat NTT, terutama di Kota Kupang.
Namun tetap harus dikedepankan prinsip bahwa membina bukan berarti menghukum. Karena korban pertama yang merasakan upaya pembinaan yang dilakukan BPJS adalah para pembayar iuran BPJS.
Mereka yang dengan sabar ataupun dengan amarah yang tertahan, hanya bisa menerima semua keputusan BPJS yang mengelola iuran mereka; tanpa mampu melihat "maksud baik" BJPS.
Posisi mereka tetap korban dan tetap harus membayar iuran tepat waktu. Walapun isu keterbatasan akses dan ketidakadilan masih menjadi pekerjaan rumah bersama pemerintah, BPJS dan semua elemen masyarakat yang peduli akan nasib rakyat NTT.
Ke depan, pemerintah daerah dan unsur masyarakat harus dilibatkan secara transparan oleh BPJS dalam menilai pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang ada. Dengan demikian, BPJS tidak akan disudutkan juga ada tindakan yang harus diambil terhadap fasilitas kesehatan tertentu. Sehingga, tindakan pembinaan yang dilakukan bisa dipikirkan bersama agar tidak mengorbankan masyarakat.
Semoga BPJS dan RSU Siloam memberikan pelajaran yang baik buat pembenahan pelayanan kesehatan di NTT dan sekali lagi, tidak mengorbankan masyarakat.*