Permainan dan Distorsi Full Day School

Tidak heran. Kombinasi menarik antara permainan dan pembelajaran, menghasilkan level kebahagiaan yang menakjubkan.

Editor: Dion DB Putra
Banten
Ilustrasi 

Bisa saja kita resah karena target kita menjejali anak dengan aneka muatan lokal yang nota bene mayoritas merupakan penjejalan pengetahuan akan terhalangi. Kita tak rela melihat anak-anak hidup gembira bermain.

Kita sepertinya jadi sedih melihat anak gembira, dan gembira melihat anak sedih, belum lagi sinyalemen karena latar belakang menteri yang Muhammadiyah, apapun ditolak, hal mana tentu ini sekadar asumsi.

Terhadap distorsi ini maka tawaran solusi adalah menggembalikan kegembiraan itu kepada siswa. Pertama, butuh alokasi waktu istirahat yang cukup antarjam pelajaran.

Siswa perlu difasilitasi merekuperasi tenaga dan kesiapan otak setelah terkuras selama sejam pelajaran. Alokasi waktu bermain ini yang diharapkan terwujud dalam pemberlakukan lima hari sekolah.

Kalau alokasi waktu secara signifikan menggeser banyak muatan lokal yang selama ini terkesan terlampau menjejali otak anak maka yang harus kita evaluasi adalah efektivitas penjejalan itu. Kita terajak untuk memberi ruang untuk `berisirahat secara pedagogis' ketimbang membebani. Secara psikologis anak yang tertekan kemudian akan minim kreativitas.

Kedua, terminologi Full Day School yang kita pakai bisa saja menyesatkan. Kita terlalu berasumsi bahwa selama 8 jam anak akan dijejali dengan aneka pengetahuan, hal mana tidak mungkin terwujud.

Kita masih jauh dari kelengkapan fasilitas belajar yang memungkinkan 8 jam itu hanya penuh penjejalan pengetahuan.

Kalau lima hari terwujud maka satu hal yang pasti, waktu yang ada akan dikemas agar anak dapat bermain secara optimal.

Permainan pun akan dikemas sedemikian sehingga potensi anak bisa terpantau dalam lingkup pendidikan dan mengapa tidak peranan olahraga akan sangat penting. Di sini potensi olahraga itu diharapkan menjadi sebuah hasil yang dinantikan.

Yang harus diperhatikan, sekolah perlu menjamin bahwa setengah waktu (3 -4 jam) itu harus dioptimalkan untuk kegiatan membaca (literasi), eksplorasi sains, dan matematika.

Melalui kegiatan membaca dari sumber edukatif, moralitas anak akan dikembangkan secara perlahan. Selain itu kemampuan matematis dan rasa ingin tahu mejelajah ilmu pengetahuan dimaksimalkan.

Ketiga, pemaknaan tentang permainan tidak mesti diikuti dengan mengadopsi aneka permainan dari luar hal mana juga penting tetapi terutama merangsang kreativitas guru untuk dapat menghidupkan permainan lokal yang dalam banyak daerah sudah hilang.

Leluhur kita terlah begitu kreatif menciptakan permainan dalam lingkupnya dengan sarat makna. Penulis pernah akrab dengan permainan kemiri yang mengakomodir ketelitian, analisis, paduan kekuatan dan sasaran, yang bisa tercapai akan memberikan keuntungan ekonomis (memperoleh kemiri).

Masih banyak model permainan lokal yang mesti dihidupkan kembali karena syarat makna dan kontekstual memungkinkan kita kuat secara lokal tetapi terus memandang dalam globalitas.*

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved