Permainan dan Distorsi Full Day School
Tidak heran. Kombinasi menarik antara permainan dan pembelajaran, menghasilkan level kebahagiaan yang menakjubkan.
Oleh: Robert Bala
Pengelola SKO San Bernardino (SMARD) Lembata -NTT
POS KUPANG.COM- Rangkaian protes terhadap pelaksanaan lima hari sekolah telah menuju antiklimaks.
Dengan penegasan Presiden tentang pembatalan Permendikbud No. 23 Tahun 2017, kita kembali ke enam hari belajar. Tetapi apakah protes yang sudah diakomodir itu bersifat substansial ataukah distorsif?
Tempat Permainan
Programme for International Student Assessment (PISA), menempatkan Singapura sebagai yang terbaik di dunia.
Di negara berpenduduk hampir 6 juta jiwa itu, kemampuan membaca, sains, dan berhitung diakui dunia. Juga PISA yang diinisiasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pasti mengedepankan korelasi antrara praksis pendidikan dan dunia nyata.
Meski demikian, merujuk pada mentalitas kita yang mengutamakan kegembiraan, dan tidak terbiasa berada di bawah tekanan, rujukan itu harus beralih ke Finlandia.
Memang di sana infrastruktur, dukungan utuh pemerintah, kesiapan guru, kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran sangat menonjol. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah tempat permainan dan rekreasi dalam pendidikan.
Hal itu dibenarkan Profesor Erno August Lehtinen. Dalam kunjungan ke Jakarta (DetikNews 18/10/16), guru besar pendidikan Universitas Turku, Finlandia, menekankan bahwa kunci utama keberhasilan pendidikan Finlandia karena anak-anak diberi ruang untuk bermain bebas.
Permainan yang dimaksud pada level paling sederhana identik dengan waktu istirahat. Di sana anak beristirahat 15 menit setelah 1 jam pelajaran. Pemikiran di baliknya, setelah tenaga dan pikiran terkuras selama sejam, siswa harus merekuperasinya.
Dalam nada yang sama, menurut Asociación Espanola de Fabricantes de Juegos dalam El Juego y El Juguete en la educación infantil (2000), permainan secara bebas juga sangat membantu perkembangan psikomotorik, sosial, emosional, dan bahkan intelektual.
Permainan juga menjadi bagian integral dalam pembelajaran. Anak belajar sambil bermain. Merujuk pada Taksonomi Bloom, R Dogbeh dan S.N'Diaye dalam Utilisation des Jeux et des jouets à des à des fins pédagogiques, diurai bahwa permainan yang dikemas secara baik akan sangat membantu mencapai maksud pembelajaran.
Jelasnya, permainan dapat membantu pengembangan siswa mulai dari level pengetahuan, pemahaman, penerapan, análisis, hingga tahapan yang lebih tinggi yakni síntesis, evaluasi, inovasi dan kreativitas.
Tidak heran. Kombinasi menarik antara permainan dan pembelajaran, menghasilkan level kebahagiaan yang menakjubkan. Menurut World Happiness Report 2017, Finlandia berada di urutan kelima negara paling bahagia di dunia.
Singapura yang terdepan dalam pendidikan berada di urutan ke-26 pratanda tekanan masih cukup dominan pada siswa. Indonesia ada urutan ke-81, dan menjadi terendah level kebahagiaan di ASEAN.
Menghadapi Kenyataan
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Tindakan paling mudah yang kerap menjadi pilihan adalah melarikan diri dari kenyataan. Sinyalemen distorsif ini bisa saja ada dalam tarik ulur pemberlakukan lima hari sekolah.
Bisa saja kita resah karena target kita menjejali anak dengan aneka muatan lokal yang nota bene mayoritas merupakan penjejalan pengetahuan akan terhalangi. Kita tak rela melihat anak-anak hidup gembira bermain.
Kita sepertinya jadi sedih melihat anak gembira, dan gembira melihat anak sedih, belum lagi sinyalemen karena latar belakang menteri yang Muhammadiyah, apapun ditolak, hal mana tentu ini sekadar asumsi.
Terhadap distorsi ini maka tawaran solusi adalah menggembalikan kegembiraan itu kepada siswa. Pertama, butuh alokasi waktu istirahat yang cukup antarjam pelajaran.
Siswa perlu difasilitasi merekuperasi tenaga dan kesiapan otak setelah terkuras selama sejam pelajaran. Alokasi waktu bermain ini yang diharapkan terwujud dalam pemberlakukan lima hari sekolah.
Kalau alokasi waktu secara signifikan menggeser banyak muatan lokal yang selama ini terkesan terlampau menjejali otak anak maka yang harus kita evaluasi adalah efektivitas penjejalan itu. Kita terajak untuk memberi ruang untuk `berisirahat secara pedagogis' ketimbang membebani. Secara psikologis anak yang tertekan kemudian akan minim kreativitas.
Kedua, terminologi Full Day School yang kita pakai bisa saja menyesatkan. Kita terlalu berasumsi bahwa selama 8 jam anak akan dijejali dengan aneka pengetahuan, hal mana tidak mungkin terwujud.
Kita masih jauh dari kelengkapan fasilitas belajar yang memungkinkan 8 jam itu hanya penuh penjejalan pengetahuan.
Kalau lima hari terwujud maka satu hal yang pasti, waktu yang ada akan dikemas agar anak dapat bermain secara optimal.
Permainan pun akan dikemas sedemikian sehingga potensi anak bisa terpantau dalam lingkup pendidikan dan mengapa tidak peranan olahraga akan sangat penting. Di sini potensi olahraga itu diharapkan menjadi sebuah hasil yang dinantikan.
Yang harus diperhatikan, sekolah perlu menjamin bahwa setengah waktu (3 -4 jam) itu harus dioptimalkan untuk kegiatan membaca (literasi), eksplorasi sains, dan matematika.
Melalui kegiatan membaca dari sumber edukatif, moralitas anak akan dikembangkan secara perlahan. Selain itu kemampuan matematis dan rasa ingin tahu mejelajah ilmu pengetahuan dimaksimalkan.
Ketiga, pemaknaan tentang permainan tidak mesti diikuti dengan mengadopsi aneka permainan dari luar hal mana juga penting tetapi terutama merangsang kreativitas guru untuk dapat menghidupkan permainan lokal yang dalam banyak daerah sudah hilang.
Leluhur kita terlah begitu kreatif menciptakan permainan dalam lingkupnya dengan sarat makna. Penulis pernah akrab dengan permainan kemiri yang mengakomodir ketelitian, analisis, paduan kekuatan dan sasaran, yang bisa tercapai akan memberikan keuntungan ekonomis (memperoleh kemiri).
Masih banyak model permainan lokal yang mesti dihidupkan kembali karena syarat makna dan kontekstual memungkinkan kita kuat secara lokal tetapi terus memandang dalam globalitas.*